Skip to main content

PENGGUNAAN HADITS LEMAH MENURUT MAYORITAS ULAMA

PENGGUNAAN HADITS LEMAH MENURUT MAYORITAS ULAMA




Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Dalam pandangan mayoritas ulama, hadits dhaif bisa digunakan untuk beberapa hal seperti menganjurkan beramal shalih atau memberikan ancaman terhadap sebuah dosa, juga dalam masalah keteladanan akhlaq dan cerita sejarah. 

Hadits dha’if atau lemah barulah tidak boleh digunakan dalam masalah hukum halal dan haram, apalagi dalam urusan aqidah.

Berikut ini sebagian saja perkataan para ulama dalam masalah ini :

Al imam Ibnu Mundzir rahimahullah berkata :

يخرج الإسناد الضعيف إذا لم يجد في الباب غيره، لأنَّه أقوى عنده من رأي الرجال

 “Diriwayatkan hadits yang sanadnya lemah jika tidak ditemukan dalam sebuah bab permasalahan kecuali hadits tersebut. Karena hadits lemah itu masih lebih kuat dari pendapat seorang ulama.”[1]

Al imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :

والحديث الضعيف أحب إلي من الرأي

 “Dan hadits yang lemah sekalipun masih lebih aku sukai dari pada pendapat seseorang.”[2]

Beliau juga berkata :

وإذا روينا عن النبي صلى الله عليه وسلم في فضائل الأعمال، وما لا يَضَعُ حُكْمًا ... تساهلنا في الأسانيد

 “Jika kami meriwayatkan dari Nabi shalallahu’alaihi wassalam dalam masalah fadhail a’mal, yang tidak berkaitan dengan perkara hukum ... maka kami melonggarkan dalam masalah sanad.”[3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :

فهذا هو الإمام أحمد يقول إذا جاء الحلال والحرام شددنا في الأسانيد؛ وإذا جاء الترغيب والترهيب تساهلنا في الأسانيد؛ وكذلك ما عليه العلماء من العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال....نظير هذا قول النبي صلى الله عليه وسلم في الحديث الذي رواه البخاري عن عبدالله بن عمرو: بلغوا عني ولو آية وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج

 “Karena inilah imam Ahmad bin Hanbal beliau berkata : ‘Jika dalam perkara halal dan haram maka kami memperketat dalam masalah sanad. Adapun dalam masalah anjuran agama dan ancaman dari berbuat dosa, maka kami melonggarkan dalam urusan sanad. Dan demikianlah para ulama yang membolehkan hadits lemah sebagai fadhilah a’mal.

Pendapat ini disandarkan kepada dalil sabda Nabi shalallahu’alaihi wassalam di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Ibnu ‘Amru : ‘Sampaikan dariku meski hanya satu ayat. Dan sampaikan riwayat israiliyah dan itu tidak apa-apa...”[4]

Abu Hatim rahimahullah berkata :

فهذا يكتب من حديثه الترغيب والترهيب، والزهد والآداب، ولا يحتج بحديثه في الحلال والحرا

 “Karena inilah boleh menuliskan hadits (lemah) dalam masalah menganjurkan atau menakut-nakuti. Juga dalam masalah zuhud dan adab, tapi tidak boleh dalam masalah halal dan haram.”[5]

أنَّ ضعيف الحديث أولى عنده من الرأي والقياس

Al imam Ibnu Hazm al andalusi rahimahullah berkata :

إن جميع الحنفية على أن مذهب إمامهم ‌أن ‌ضعيف ‌الحديث ‌أولى ‌عنده ‌من ‌الرأي ‌والقياس

“Sesungguhnya semua ulama Hanafiyah mereka di atas pendapat imam mereka yakni bahwa hadits lemah masih lebih tinggi di sisinya dari pendapat ulama ataupun qiyas.”[6]

Al Khatib al Baghdadi rahimahullah berkata :

ينبغي للمحدث أنْ يتشدَّدَ في أحاديث الأحكام التي يفصل بها بين الحلال والحرام... وأما الأحاديث التي تتعلق بفضائل الأعمال وما في معناها فيحتمل روايتها عن عامة الشيوخ

 “Sudah seharusnya hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum itu diperketat, yakni yang menjelaskan tentang perkara halal dan haram... adapun hadits dalam masalah yang berkaitan dengan keutamaan beramal dan yang semakna dengan itu maka dibolehkan meriwayatkan dari ulama secara umum.”[7]

Al Imam Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata :

خُذُوا هذه الرغائب وهذه الفضائل من المشيخة، فأما الحلال والحرام فلا تأخذوه إلاَّ عمن يعرف الزيادة فيه من النقص

“Ambilah riwayat tentang anjuran dan tentang keutamaan beramal dari guru manapun.  Adapun dalam masalah halal dan haram maka jangan engkau mengambil kecuali dari seseorang yang telah diketahui keutamaannya dan terjaganya dari kekurangan (dalam standar hadits).”[8]

Zakariya al Anbari rahimahullah berkata :

الخبر إذا وَرَدَ لم يُحَرِّم حلالاً، ولم يُحِل حرامًا، ولم يُوجِب حُكْمًا، وكان في ترغيب أو ترهيب أو تشديد أو ترخيص، وَجَبَ الإغماض عنه، والتساهل في رواته

 “Khabar jika riwayatnya bukan tentang halal dan haram, kewajiban dan hukum. Tapi tentang anjuran atau peringatan atau ancaman atau mendorong amal, maka hendaknya memberikan banyak toleransi dan memudahkan dalam riwayatnya.”[9]

Al imam Ibnu  Abidin al Hanafi rahimahullah berkata :

وقد تقرر أن ‌الحديث ‌الضعيف يجوز العمل به في الفضائل

“Dan telah tetap adanya bahwa hadits dha’if boleh untuk diamalkan dalam masalah keutamaan (beramal).”[10]

Al Imam Qulyubi al Hanafi rahimahullah berkata :

‌للعمل ‌بالحديث ‌الضعيف ‌في ‌فضائل ‌الأعمال

 “Karena hadits lemah itu boleh digunakan untuk fadhilah amal.”[11]

Al imam Kirmi al Hanbali rahimahullah berkata :

‌...لجواز ‌العمل ‌بالحديث ‌الضعيف ‌في ‌فضائل ‌الأعمال

“... Karena dibolehkan beramal dengan hadits yang lemah dalam masalah fadhail amal.”[12]

Al imam Muhyiddin an Nawawi rahimahullah berkata :

قال العلماء من المحدثين والفقهاء وغيرهم: يجوز ويستحب العمل في الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف، ما لم يكن موضوعًا، وأما الأحكام كالحلال والحرام والبيع والنكاح والطلاق وغير ذلك فلا يعمل فيها إلا بالحديث الصحيح أو الحسن

 “Para ulama dari kalangan ahli hadits, ahli fiqih dan dari yang lainnya berpendapat bahwa boleh dan bahkan disukai menggunakan hadits lemah dalam masalah menganjurkan amal, mendorong dalam kebaikan atau menakut-nakuti. 

 Selama itu bukan hadits palsu. Adapun untuk perkara hukum seperti halal, haram, jual beli, nikah, cerai dan yang semisalnya, maka tidak boleh menggunakan kecuali hadits shahih atau hasan.”[13]

Bahkan sang imam dalam hal ini mengklaim adanya ijma’ ulama :

اتفق العلماءُ ‌على ‌جواز ‌العمل ‌بالحديث ‌الضعيف في فضائل الأعمال

 “Telah bersepakat para ulama atas bolehnya menggunakan hadits lemah dalam perkara fadhilah amal.”[14]

وقد اتفق الأئمة من المحدثين والفقهاء وغيرهم كما ذكره النووي وغيره على جواز العمل بالحديث الضعيف في الفضائل والترغيب والترهيب، لا في الأحكام ونحوها ما لم يكن شديد الضعف

 “Para imam dari kalangan ahli hadits dan ahli fikih telah sepakat, sebagaimana yang disebutkan juga oleh Imam an Nawawi dan lainnya, tentang kebolehan beramal dengan hadits dhaif dalam hal fadhail (keutamaan-keutamaan), anjuran kebaikan dan ancaman keburukan. 

Tidak dalam perkara yang berkaitan dengan hukum halal dan haram, selama tingkat kedhaifannya tidak terlalu parah.”

 Al imam Ar Ru’aini al Maliki rahimahullah juga mengklaim adanya ijma’ :

‌فقد ‌اتفق ‌العلماء ‌على ‌جواز ‌العمل ‌بالحديث ‌الضعيف ‌في ‌فضائل ‌الأعمال ‌واغتناما ‌للثواب ‌الوارد

 “Dan telah bersepakat para ulama atas bolehnya mengamalkan hadits yang lemah dalam masalah fadhail amal dan untuk meraih pahala dari sebuah amal shahih.”[15]

 📜 Wallahu a’lam ©️AST
______________
[1] Muqadimah Ibn Shalah hal. 32
[2] Fath al Mughits (1/109)
[3] Madkhal ilal Iklil hal. 13
[4] Majmu’ Fatawa (18/60)
[5] Ilmu al Rijal hal. 58
[6] Marqat al Mafatih (3/846)
[7] Jami’ li Akhlaq ar Rawi (2/90)
[8] Al Jami’ (2/91)
[9] Al Kifayah hal. 163
[10] Hasyiah Ibnu Abidin (1/459)
[11] Hasyiah al Qulyubi (1/64)
[12] Ghayah al Muntaha (1/202)
[13] Al Adzkar hal. 47
[14] Arba’in Nawawi hal. 42
[15] Mawahib al Jalil (1/17)



𝗦𝗬𝗔𝗥𝗔𝗧 𝗗𝗜𝗔𝗠𝗔𝗟𝗞𝗔𝗡𝗡𝗬𝗔 𝗛𝗔𝗗𝗜𝗧𝗦 𝗗𝗛𝗔’𝗜𝗙

_Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq_

Kebolehan mengamalkan hadits dha’if tentu saja tidaklah bersifat mutlak, namun dengan syarat dan ketentuan yang harus diperhatikan. Berkata Syihabudin Muhammad bin Ahmad al Khuwayi asy Syafi’i rahimahullah :

 وقُيِّدَ قولُ الجمهور بثلاثة قيود:أن لا ‌يكون ‌الضعف ‌شديداً .أن يكون أصل العمل الذي ذكر فيه الترغيب والترهيب ثابتاً.أن لا يعتقد أن النبي صلّى الله عليه وسلّم قاله

 “Jumhur ulama telah membuat ketetapan tiga hal (agar hadits dha’if bisa diamalkan), yaitu : Hendaknya keadaannya tidak terlalu lemah, lalu amal yang disebutkan adalah berdasarkan hadits shahih, dan selanjutnya tidak memastikan hadits itu dari Nabi shalallahu’alaihi wassalam.”[1]

1️⃣. 𝗞𝗲𝗹𝗲𝗺𝗮𝗵𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝘁𝗲𝗿𝗹𝗮𝗹𝘂 𝗽𝗮𝗿𝗮𝗵

Al imam Suyuthi rahimahullah berkata :

أن يكون الضعف غير شديد فيخرج من انفرد من الكذابين والمتهمين بالكذب ومن فحش غلطه نقل العلائي الاتفاق عليه

 “Hadits yang diriwayatkan hanya oleh satu perawi yang dikenal berbohong atau diduga pembohong, begitu juga hadits dari rawi yang sangat banyak kekeliruannya tidak dapat diamalkan. Imam al ‘Alla’i menukil bahwa syarat pertama ini disepakati oleh para ulama.”[2]

Keterangan yang sama juga disebutkan oleh imam Syathibi[3] dan Abul Hasan al Mubarakfury.[4]

2️⃣. 𝗗𝗶𝗮𝗺𝗮𝗹𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗺𝗮𝘀𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗳𝗮𝗱𝗵𝗮𝗶𝗹 𝗮’𝗺𝗮𝗹 𝗱𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗲𝗺𝗶𝘀𝗮𝗹

Telah jelas di bahasan sebelumnya bahwa penggunaan hadits dha’if bukanlah untuk menetapkan sebuah hukum, tapi untuk hal yang sifatnya anjuran agama. Berkata al imam Ramli rahimahullah berkata :

وعلم أيضا أن المراد الأعمال وعلم أيضا أن المراد بفضائل الأعمال الترغيب والترهيب وفي معناها القصص ونحوها

“Dan dapat diketahui dari penjelasan yang telah lalu bahwa yang dimaksud fadhailul amal adalah anjuran dan ancaman pada suatu amal, juga kisah-kisah, dan hal  yang semisalnya.”[5]

Bahkan tidak ada kewajiban menjelaskan kedha’ifan sebuah hadits jika itu hanya berkaitan dengan kisah-kisah untuk diambil hikmahnya, selama tentunya kelemahannya tidak terlalu parah atau berstatus sebagai hadit palsu.

al imam Ibnu Shalah berkata :

قد أجاز بعض العلماء رواية الحديث الضعيف من غير بيان ضعفه بشروط: أولا أن يكون الحديث في القصص أو المواعظ أو فضائل الأعمال أو نحو ذلك مما لا يتعلق بصفة الله والعقائد والا بالحلال والحرام وسائر الأحكام الشرعية وأن لا يكون الحديث موضوعا أو ضعيف شديد الضعف

 “Sebagian ulama telah membolehkan untuk meriwayatkan hadits dhaif tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan beberapa syarat diantaranya hadits tersebut berisi kisah, nasihat-nasihat, atau keutamaan amalan, dan tidak berkaitan dengan sifat Allah, akidah, ketetapan halal haram, berkaitan seluruh hukum syariat, dan keadaannya bukan hadits maudhu’, dan kelemahannya tidak terlalu kuat.”[6]

3️⃣. 𝗧𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗺𝗲𝗺𝗮𝘀𝘁𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗺𝗲𝘆𝗮𝗸𝗶𝗻𝗶 𝗶𝘁𝘂 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗥𝗮𝘀𝘂𝗹𝘂𝗹𝗹𝗮𝗵

Syarat ketiga ini dinyatakan oleh sebagian ulama, yakni ketika seseorang membawakan hadits lemah atau mengamalkannya, ia tidak boleh mengkaitkan hal itu dengan Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam. Karena memang secara dugaan dan kaidah ilmiah tidak memenuhi syarat untuk dinisbahkan kepada sang Nabi.

Namun syarat ini tidak disepakati oleh ulama. Hanya sebagian saja yang menetapkannya. Berkata al imam Ibnu Atsir rahimahullah :

‌أن ‌لا ‌يعتقد ‌عند ‌العمل ‌به ‌ثبوته لئلا ينسب إلى النبي صلى الله عليه وسلم ما لم يقله

 “Dan hendaknya tidak mengkaitkan ketika mengamalkannya ini dari beliau shalallahu’alaihi wassalam. Supaya tidak mengalamatkan sesuatu kepada Nabi apa yang tidak beliau katakan.”[7]

Al imam Suyuthi rahimahullah juga menyatakan hal yang sama :

أن لا يعتقد عند العمل به ثبوته، بل يعتقد الاحتياط. ‌هذان ‌ذكرهما ‌ابن ‌عبد ‌السلام ‌وابن ‌دقيق ‌العيد

 “Tidak mengkaitkan ketika mengamalkannya ini dari beliau shalallahu’alaihi wassalam. Dua syarat terakhir ini disebutkan oleh Imam Izzudin bin Abdissalam dan Ibn Daqiq Al‘Id.”[8]

Wallahu a’lam©️AST
______________
[1] Nidzam Ulum al Hadits hal. 119
[2] Tuhfatul Abrar hal. 25
[3] Al I’thisham (1/125)
[4] Marqat al Mafatih (1/396)
[5] Fatawa ar Ramli (4/383)
[6] Irsyad ath Thulab (1/270)
[7] Jami’ al Ushul (1/109)
[8] Tadrib ar Rawi (1/351)

Comments