Tahlilan Apakah Bid'ah?

𝗧𝗔𝗛𝗟𝗜𝗟𝗔𝗡 𝗔𝗣𝗔𝗞𝗔𝗛 𝗕𝗜𝗗'𝗔𝗛 ?


Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Kita telah menyelesaikan bahasan tentang hukum mengirim pahala dari beberapa jenis ibadah kepada orang yang meninggal dunia di tulisan-tulisan  sebelumnya. Mulai dari yang disepakati kebolehannya hingga yang diperbedapendapatkan oleh para ulama.

Lalu timbul pertanyaan, bagaimana jika kirim pahala kepada mayit itu baik yang dalam rupa doa, sedekah dzikir atau bacaan Qur’an diformat dalam bentuk sebuah rangkaian ibadah tertentu dan dilaksanakan di waktu-waktu tertentu.

Apakah ini diperbolehkan ? Seperti acara tahlilan kematian yang umum dilakukan oleh kebanyakan masyarakat Islam di Indonesia.
Jawabannya secara umum kita dapati ada dua pendapat : Antara yang melarang karena dianggap sebagai perbuatan bid’ah karena tidak dicontohkan oleh Nabi ﷺ dengan yang membolehkan dengan beberapa alasan yang nanti akan segera kita ketahui.

𝗔.𝗞𝗮𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴
Jangankan kelompok pendapat yang menyatakan tidak bolehnya mengirimkan bacaan al Qur’an kepada orang yang telah meninggal dunia, kalangan pengikut pendapat yang membolehkan saja, banyak yang menganggap kegiatan kumpul-kumpul di rumah orang yang meninggal sebagai perbuatan yang terlarang. Ada yang tegas mengharamkan, namun ada yang hanya memakruhkan.
Menurut kalangan ini, benar bahwa para ulama telah ijma’ akan kebolehan mendoakan dan bersedekah untuk mayit. Begitu juga sebagian ulama menfatwakan sampainya bacaan al Qur’an, namun ini semua tidak bisa menjadi legalitas untuk sebuah ibadah yang jelas tidak diajarkan oleh Nabi yang bernama tahlilan.
Karena itu kemudian pengusung pendapat pertama ini menyampaikan dalil, alasan dan penjelasannya tentang tidak disyariatkannya doa sedekah dan bacaan Qur’an untuk mayit dalam bentuk acara tertentu sebagai berikut :

𝟭. 𝗧𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗮𝗱𝗮 𝗰𝗼𝗻𝘁𝗼𝗵𝗻𝘆𝗮 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗡𝗮𝗯𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗴𝗲𝗻𝗲𝗿𝗮𝘀𝗶 𝘀𝗲𝘁𝗲𝗹𝗮𝗵𝗻𝘆𝗮
Fakta yang tidak terbantahkan tentunya bahwa kegiatan tahlilan tidak pernah diadakan oleh para shahabat, ulama salaf apalagi oleh Nabi ﷺ. Padahal mereka juga punya orang tua, saudara, karib kerabat, dan lainnya yang wafat meninggalkan mereka.
Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak pernah ada satupun riwayat yang menyebutkan aktivitas tahlilan dari generasi terdahulu itu. Karena itulah, kalangan ini kemudian tegas menyimpulkan ini adalah jenis ibadah baru yang diada-adakan yang masuk kategori bid’ah dhalalah.

𝟮. 𝗣𝗲𝗿𝗯𝘂𝗮𝘁𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗯𝗲𝗻𝗰𝗶
Berkumpul di rumah duka berhari-hari bahkan hingga tujuh hari, selain tidak ada contohnya juga dipandang hanya akan menambah kesedihan keluarga yang berduka. Apalagi jika sampai berhari-hari, justru itu akan melekatkan kenangan kesedihan keluarga mayit.
Dalam sebuah atsar dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu diriwayatkan bahwa beliau berkata :
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ
“Kami menganggap berkumpul di tempat keluarga jenazah yang tertimpa musibah dan mereka membuat makanan termasuk dari perbuatan meratap.” (HR. Ahmad)
Al imam Syafi’i rahimahullah berkata :
وأكره المأتم، وهي الجماعة، وإن ‌لم ‌يكن ‌لهم ‌بكاء فإن ذلك يجدد الحزن، ويكلف المؤنة مع ما مضى فيه من الأثر
“Dan aku membenci perbuatan al ma’tim yaitu berkumpulnya orang-orang di rumah keluarga duka meskipun mereka tidak menangis. Karena hal ini hanya memperbarui kesedihan, dan membebani pembiayaan, padahal kesedihan itu sudah hampir berlalu dari mereka yang sedang berduka….”
Imam Nawawi rahimahullah berkata :
‌ لأن التعزية لتسكين قلب المُصاب... فلا يجدّد له الحزن، هكذا قال الجماهير من أصحابنا
“Karena tujuan dari ta’ziah adalah untuk menenangkan hati orang yang terkena musibah... maka jangan diperbarui lagi kesedihannya. Dan inilah pendapat mayoritas dari shahabat-shahabat kami.”[1]

𝟯. 𝗕𝗲𝗿𝘁𝗲𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘀𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵
Dalam hadits, yang diperintahkan itu para tetangga yang seharusnya memberi makan kepada keluarga yang sedang berduka, bukan malah dibalik mereka yang harus dibuat sibuk memberi makan kepada para tetangga dan pelayat yang datang.
Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata :
‌وأحب ‌لجيران ‌الميت ‌أو ‌ذي ‌قرابته ‌أن ‌يعملوا ‌لأهل ‌الميت في يوم يموت، وليلته طعاما يشبعهم فإن ذلك سنة، وذكر كريم، وهو من فعل أهل الخير قبلنا، وبعدنا لأنه لما «جاء نعي جعفر قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - اجعلوا لآل جعفر طعاما فإنه قد جاءهم أمر يشغلهم» أخبرنا الربيع قال أخبرنا الشافعي قال أخبرنا ابن عيينة عن جعفر عن أبيه عبد الله بن جعفر قال «جاء نعي جعفر فقال رسول الله اجعلوا لآل جعفر طعاما فإنه قد جاءهم أمر يشغلهم
“Dan yang aku sukai adalah jika para tetangga mayit atau para kerabatnya yang membuat makanan bagi keluarga yang sedang berduka untuk mengenyangkan mereka pada hari kematian si mayit. Ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami.
Hal ini (berdasarkan dalil) tatkala datang khabar tentang kematian Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.”[2]
Dan imam Nawawi rahimahullah berkata :
قال صاحب الشامل وغيره ‌وأما ‌إصلاح ‌أهل ‌الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة
“Penulis kitab as Syaamil dan yang lainnya berkata : “Adapun jika keluarga yang meninggal dunia membuat makanan dan mengumpulkan orang-orang untuk makan makanan tersebut maka tidak dinukilkan sama sekali dalilnya, dan hal ini merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disukai.”[3]
Syaikh Wahbah Zuhaili rahimahullah berkata :
أما صنع أهل البيت طعاماً للناس، فمكروه وبدعة لا أصل لها؛ لأن فيه زيادة على مصيبتهم، وتشبهاً بصنع أهل الجاهلية
“Adapun keluarga mayit yang membuat makanan untuk orang-orang, maka ini dimakruhkan dan termasuk perbuatan bid’ah yang tidak ada tuntunannya. Hal ini akan menambah beratnya musibah keluarga yang berduka. Dan mirip dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah.”[4]

𝟰. 𝗣𝗮𝗿𝗮 𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮 𝘁𝗲𝗹𝗮𝗵 𝗯𝗮𝗻𝘆𝗮𝗸 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗿𝗮𝗱𝗶𝘀𝗶 𝗶𝗻𝗶
Kalangan ini juga mengangkat beberapa fatwa para mufti dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyyah dan juga dari madzhab lain tentang buruknya kebiasaan kumpul-kumpul dan makan di tempat kematian. Berikut diantaranya :
Syaikh ad Dimyathi asy Syafi’i ketika ditanya tentang hal ini beliau memberikan jawaban :
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر
“Benar bahwasanya apa yang dilakukan oleh masyarakat berupa berkumpul di keluarga orang yang meninggal dan pembuatan makanan merupakan bid’ah yang munkar yang pemerintah diberi pahala atas pelarangannya ….”[5]
Beliau juga berkata :
‌ولا ‌شك ‌أن ‌منع ‌الناس ‌من ‌هذه ‌البدعة ‌المنكرة ‌فيه ‌إحياء ‌للسنة... فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما
“Tidak diragukan lagi bahwa melarang orang-orang dari perbuatan bid’ah tercela ini akan menghidupkan sunnah. Karena banyak orang telah memberat-beratkan diri untuk membuat acara yang sebenarnya dilarang itu.”[6]
Berkata al imam Ibnu Abidin al Hanafi rahimahullah :
ويكره اتخاذ الضيافة من الطعام من أهل الميت ‌لأنه ‌شرع ‌في ‌السرور ‌لا ‌في ‌الشرور، وهي بدعة مستقبحة
“Dan dibenci bagi keluarga orang yang meninggal untuk menjamu tamu berupa makanan karena acara makan - makan itu adalah di saat sedang bergembira, bukan berduka. Dan ini adalah perkara bid’ah yang buruk.”[7]

𝗕. 𝗞𝗮𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵𝗸𝗮𝗻
Sedangkan sebagian ulama menganggap bahwa berkumpulnya orang-orang di rumah duka kemudian dalam rangka takziyah, mendoakan, membacakan al Qur’an dan adanya sedekah makanan bukanlah perkara yang dilarang.
Sebab selain dasar amalan ini dibolehkan, perkumpulan seperti itu bukanlah bagian dari ritual ibadah, tapi hanya sebagai tehnik dari ibadah itu sendiri.
Berikut diantara penjelasan dan jawaban dari kelompok yang membolehkan acara tahlilan ini.

𝟭. 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗹𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻𝗹𝗮𝗵 𝗺𝗮𝗸𝗮𝗻-𝗺𝗮𝗸𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮
Menurut kalangan ini, tidak ada larangan makan-makan di rumah keluarga yang sedang berduka. Yang dilarang adalah ketika si tuan rumah dibuat repot menyediakan makanan untuk tamu yang datang bertakziyah. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ :
اِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far (saat meninggal), karena sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu Dawud)
Sedangkan dalam praktiknya, yang menyediakan makanan tahlilan adalah dari para tetangga, bukan keluarga yang berduka. Begitu juga makanan itu bersumber dari sumbangan orang-orang yang bertakziyah.
Dan ketika makanan itu dimasak dan dimakan oleh orang-orang yang datang untuk berdzikir dalam acara tahlilan, ia malah bernilai sedekah dari keluarga untuk si mayit.
Karenanya imam Syafi’i rahimahullah dalam ucapannya mengatakan :
‌وأحب ‌لجيران ‌الميت ‌أو ‌ذي ‌قرابته ‌أن ‌يعملوا ‌لأهل ‌الميت في يوم يموت
“Dan aku menyukai jika para tetangga dari orang yang meninggal atau para kerabatnya yang membuat makanan bagi keluarga mayit. Yakni makanan yang mengenyangkan mereka pada hari kematian tersebut.”[8]
Al imam Ibnu Qudamah setelah menfatwakan makruhnya tuan rumah yang berduka menjamu orang yang bertakziyah, beliau menjelaskan lebih lanjut :
‌وإن ‌دعت ‌الحاجة ‌إلى ‌ذلك ‌جاز؛ فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة، ويبيت عندهم، ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
“Jika hal itu diperlukan, maka dibolehkan (menjamu tamu saat berduka). Karena barangkali yang datang untuk menjenguk mayit ada yang berasal dari kota atau tempat yang jauh dan menginap di tempat tersebut, maka tidak mungkin kecuali menyediakan makanan untuk mereka.“[9]
Sehingga larangan dalam masalah makan-makan ini bukanlah sebuah keharaman yang sifatnya keras, tapi hanya dimakruhkan. Dan bahkan sifat kemakruhannya bisa berubah menjadi mubah dengan kondisi-kondisi  yang telah disebutkan di atas.
READ MORE

𝟮. 𝗗𝗮𝗹𝗶𝗹 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵𝗻𝘆𝗮 𝗺𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗶 𝘁𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁 𝗱𝘂𝗸𝗮
Ada beberapa riwayat yang justru menyebutkan bahwa para shahabat dahulu juga melakukan aktivitas memasak, makan dan minum di tempat orang yang meninggal dunia, diantaranya :
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فِي جِنَازَةٍ،... فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ، فَجَاءَ فَجِيءَ ‌بِالطَّعَامِ ‌فَوَضَعَ ‌يَدَهُ، ‌ثُمَّ ‌وَضَعَ ‌الْقَوْمُ
“Kami keluar bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu penguburan jenazah... Ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum mengundang Nabi ﷺ untuk datang kerumahnya, beliau pun menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan.
Lalu Nabi menaruh tangan beliau di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanya pun makan.” (HR. Abu Daud)
أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلَّا أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ

“Bahwa bila ada orang dari keluarganya (Aisyah) yang meninggal maka para wanita pun berkumpul, kemudian mereka pergi kecuali keluarganya dan orang-orang terdekat. Lalu Aisyah memerintahkan untuk mengambil periuk yang terbuat dari batu dan diisi dengan talbinah (makanan dari tepung dan kurma).
Lalu dimasaklah makanan tersebut, kemudian dibuat bubur dan dituangkanlah makanan tersebut diatasnya. Lalu (Aisyah) berkata; "Makanlah ia, karena sungguh saya telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Makanan yang terbuat dari tepung dan kurma tersebut penyejuk bagi hati yang sakit dan dapat menghilangkan sebagian kesedihan."
جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ فَجَاءَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ فَأَكَلْنَا وَشَرَبْنَا وَمَاتَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَأَكَلْنَا وَشَرَبْنَا . أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِنْ هَذَا الطَّعَامِ فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ فَأَكَلُوْا فَعَرَفْتُ تَأْوِيْلَ قَوْلِهِ
“Ketika para shahabat telah kembali dari pemakaman, disiapkan untuk mereka hidangan, namun mereka terdiam karena mereka merasa sedih. Kemudian Abbas bin Abdul Muthallib datang dan berkata : Wahai manusia, sungguh Rasulullah ﷺ telah wafat, maka kita makan dan minum.
Abu Bakar telah wafat, maka kita makan dan minum. Wahai manusia makanlah hidangan ini! Kemudian Abbas menjulurkan tangannya ke arah makanan, dan orang-orang juga turut memakannya.”[10]

𝟯. 𝗕𝗲𝗿𝗸𝘂𝗺𝗽𝘂𝗹 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗷𝘂𝗺𝗹𝗮𝗵 𝗵𝗮𝗿𝗶 𝘁𝗲𝗿𝘁𝗲𝗻𝘁𝘂 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗶𝗱’𝗮𝗵
Ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa kaum salaf terdahulu juga melakukan takziyah atau kumpul-kumpul dalam bilangan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari dan hari lainnya. Berikut beberapa riwayat yang diangkat oleh pendukung pendapat kedua ini :
Berkata imam Thawus rahimahullah :
‌ان ‌الموتى ‌يفتنون ‌في ‌قبورهم ‌سبعا ‌فكانوا ‌يستحبون ‌ان ‌يطعم ‌عنهم ‌تلك ‌الايام
"Sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama 7 hari. Maka mereka dahulu (para shahabat) suka untuk memberi makanan pada 7 hari tersebut.”[11]
Imam ath Thahawi al Hanafi rahimahullah berkata :
ويستحب أن يتصدق على الميت بعد الدفن إلى سبعة أيام كل يوم بشيء مما تيسر
“Dan dianjurkan untuk bersedekah untuk mayit setelah ia dikuburkan hingga tujuh hari dengan sesuatu apapun yang dimudahkan untuk disedekahkan.”[12]

𝟰. 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗸𝗵𝘂𝘀𝘂𝘀𝗮𝗻 𝘄𝗮𝗸𝘁𝘂 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻𝗹𝗮𝗵 𝗯𝗶𝗱’𝗮𝗵
Menolak amalan yang disepakati kebolehannya, hanya karena dikhususkan pada waktu tertentu tidaklah bisa diterima. Karena nyatanya kaum salaf terdahulu melakukan sebuah ibadah yang disyariatkan secara umum tapi mereka lakukan dalam waktu yang khusus.
Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits-hadits shahabat yang merutinkan sebuah ibadah, beliau berkata :
دلالة ‌على ‌جواز ‌تخصيص ‌بعض ‌الأيام ‌ببعض ‌الأعمال ‌الصالحة والمداومة على ذلك
“Ini menjadi dalil bolehnya mengkhususkan sebagian hari untuk beramal dengan sebagian amal-amal shalih secara rutin dalam mengerjakannya.”[13]

𝟱. 𝗔𝗺𝗮𝗹𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗸𝗲𝗿𝗷𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗸𝗮𝘂𝗺 𝗺𝘂𝘀𝗹𝗶𝗺𝗶𝗻 𝘀𝗲𝗷𝗮𝗸 𝗱𝗮𝗵𝘂𝗹𝘂
Pemegang pendapat ini membantah jika kegiatan tahlilan yang diadakan di hari-hari tertentu itu bersumber dari ajaran Hindu Budha, karena ada beberapa riwayat yang jelas menyebutkan kaum muslimin sejak kurun waktu yang lama juga melakukannya.
Berkata Imam Suyuthi rahimahullah :
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول ِ
“Sesungguhnya, kebiasaan baik memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai di Makkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan kebiasaan ini diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu shahabat.”[14]
Ibnu Umar rahiyallahu’anhu berkata :
أن المؤمن يفتن سبعا والمنافق أربعين صباحا
“Seorang mukmin diuji dikuburnya selama 7 hari sedangkan munafik 40 hari.”[15]
والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة أيام أو أكثر أو أقل وتقييده ببعض الأيام من العوائد فقط كما أفتى بذلك السيد أحمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام العشرين وفي الأربعين وفي المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت
“Bersedekah untuk mayit dalam syariat adalah perkara yang dianjurkan. Sedekah tersebut tidak terikat dengan hari ketujuh atau lebih atau kurang. Adapun mengaitkan sedekah dengan sebagian hari adalah merupakan bagian dari adat saja, sebagaimana apa yang difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan.
Dan telah berjalan kebiasaan diantara orang-orang yaitu bersedekah untuk mayit pada hari ketiga dari kematiannya dan pada hari ketujuh, dan pada sempurnanya kedua puluh, ke empat puluh dan ke seratus. Setelah itu dilaksanakanlah haul setiap tahun pada hari kematiannya.”[16]
Bahkan salah seorang ulama Malikiyah Ahmad bin Ghanim juga menfatwakan :
وأما ما يصنعه أقارب الميت من الطعام وجمع الناس عليه فإن كان لقراءة قرآن ونحوها مما يرجى خيره للميت فلا بأس به، وأما لغير ذلك فيكره
“Adapun makanan yang dibuat oleh kerabatnya keluarga mayit dengan mengumpulkan orang-orang bila tujuannya untuk membaca al Qur’an dan yang semisalnya (seperti dzikir), maka itu termasuk perkara yang diharapkan bisa memberi kebaikan kepada mayit, maka hal itu tidak mengapa. Adapun bila tujuannya bukan untuk itu (seperti hanya ngobrol ngalur ngidul) maka itu dimakruhkan.”[17]
READ MORE

𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻
Masalah ini dalam pandangan kebanyakan ulama adalah ranah khilaf mu’tabarah (area perbedaan cabang agama yang lazim dan umum terjadi). Tak selayaknya untuk kita ributkan terlalu mendalam apalagi hingga saling melempar tudingan dan julukan yang buruk antara sesama muslim.
Bagi pihak yang mendapati penyimpangan dalam praktek tahlilan, alangkah lebih santunnya untuk focus mengkoreksi kesalahannya. Bukan dengan cara gebyah uyah alias pukul rata semuanya divonis bid’ah.
Selain tidak akan menyelesaikan masalah, juga akan menguras enargi kita meributkan hal-hal furu’ terus menerus. Sedangkan masih banyak perkara usul dan masalah-masalah umat lainnya yang harus lebih diprioritaskan.
📜 Wallahu a'lam.


Tahlilan Is Bid'ah


By: Ahmad Syahrin Thoriq


We have finished the discussion about the law of sending rewards from several types of worship to people who died in previous writings. Starting from what is agreed upon permissibility to what the scholars differ in opinion. 


Then the question arises, what if sending a reward to the deceased, whether in the form of prayer, alms of remembrance or recitation of the Qur'an, is formatted in the form of a certain series of worship and carried out at certain times. 


Is this allowed? Such as the ceremony of death tahlilan which is commonly carried out by most Muslim communities in Indonesia. 

In general, the answer is that we find two opinions: Between those who forbid it because it is considered an act of bid'ah because it was not exemplified by the Prophet ﷺ and those who allow it for several reasons which we will soon find out. 


𝗔.𝗞𝗮𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴

Not to mention the opinion groups which state that it is not permissible to send readings from the Koran to people who have died, among the followers of the opinion that allow it, many consider gatherings at the house of the deceased as a forbidden act. There are those who strictly forbid it, but there are those who only make it illegal. 

According to these circles, it is true that the scholars have agreed on the permissibility of praying and giving alms for dead bodies. Likewise, some scholars have stated that the reading of the Qur'an has arrived, but all of this cannot be legality for a worship that was clearly not taught by the Prophet named tahlilan. 

Because of that, the proponents of this first opinion conveyed their arguments, reasons and explanations regarding the non-lawful prayer of alms and recitation of the Qur'an for dead bodies in the form of certain events as follows:

𝟭. 𝗧𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗮𝗱𝗮 𝗰𝗼𝗻𝘁𝗼𝗵𝗻𝘆𝗮 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗡𝗮𝗯𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗴𝗲𝗻𝗲𝗿𝗮𝘀𝗶 𝘀𝗲𝘁𝗲𝗹𝗮𝗵𝗻𝘆𝗮

The undeniable fact is of course that the tahlilan activities were never held by the companions, salaf scholars let alone by the Prophet ﷺ. Even though they also have parents, siblings, close relatives, and others who died leaving them. 

Never mind the 3rd, 7th, 40th, 100th, 1000th and even one day there is never a single history that mentions the tahlilan activities of the previous generation. Because of this, these circles then firmly concluded that this was a new type of worship that was made up that was included in the heresy category of dhalalah. 


𝟮. 𝗣𝗲𝗿𝗯𝘂𝗮𝘁𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗯𝗲𝗻𝗰𝗶

Gathering at the funeral home for days or even up to seven days, apart from not having an example, is also seen as only adding to the grief of the grieving family. Especially if it lasts for days, it will embed the sad memories of the family of the deceased. 

In an atsar from Jabir bin Abdillah radhiyallahu'anhu it is narrated that he said:

كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ

"We consider gathering at the place of the family of the deceased and they make food as part of the act of mourning." (Narrated by Ahmad)

Al Imam Shafi'i Rahimahullah said:

وأكره المأتم ، وهي الجماعة ، وإن ‌لم ‌يكن ‌لهم ‌بكاء فإن ذلك يجcon الحزن ، ويكلف المؤنة ما ما مضى

"And I hate the actions of al ma'tim, namely the gathering of people at the funeral family's house even though they are not crying. Because this only renews grief, and burdens the cost, even though the grief has almost passed from those who are grieving….”

Imam Nawawi Rahimahullah said:

‌ لأن التعزية لتسكين قلب المُصاب... فلا يجدّد له الحزن، هكذا قال الجماهير من أصحابنا

"Because the purpose of ta'ziah is to calm the hearts of people who have been affected by a disaster... so don't renew their sadness. And this is the opinion of the majority of our companions.”[1]


𝟯. 𝗕𝗲𝗿𝘁𝗲𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 sunah

In the hadith, what is ordered is that the neighbors should feed the grieving family, not instead they should be kept busy feeding the neighbors and mourners who come. 

Al Imam Asy Syafi'i Rahimahullah said:

‌وأحب ‌لجيران ‌الميت ‌أو ‌ذي ‌قرابته ‌أن ‌يعملوا ‌لأهل ‌الميت في يوم يموت، وليلته طعاما يشبعهم Prophet Muhammad SAW اجعلوا لآل جعفر طعاما فإنه قد جاءهم أمر يشغلهم» أخبرنا الربيع قال أخبرنا الشافعي قالGod bless you اءهم أمر يشغلهم

“And what I like is if the neighbors of the deceased or his relatives make food for the bereaved family to fill them on the day of the death of the deceased. This is a sunnah and a form of kindness, and it is the deeds of good people before us and after us. 

This is (based on the argument) when news came about Ja'far's death, the Prophet sallallaahu 'alaihi wasallam then said, "Make food for Ja'far's family, because things have come to them that preoccupy them."[2]

And Imam Nawawi Rahimahullah said:

قال صاحب الشامل وغيره ‌وأما ‌إصلاح ‌أهل ‌الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة

"The author of the book as Syaamil and others said: "As for the family who died making food and gathering people to eat the food, then there is no argument at all, and this is an act of bid'ah which is disliked."[3] ]

Shaykh Wahbah Zuhaili Rahimahullah said:

God bless you لأن فيه زيادة على مصيبتهم, وتشبهاً بصنع أهل الجاهلية

"As for the family of the deceased who makes food for people, then this is disallowed and includes acts of heresy for which there is no guidance. This will add to the severity of the grief of the grieving family. And similar to what the ignorant people did.”[4]

𝟰. 𝗣𝗮𝗿𝗮 𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮 𝘁𝗲𝗹𝗮𝗵 𝗯𝗮𝗻𝘆𝗮𝗸 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗿𝗮𝗱𝗶𝘀𝗶 𝗶𝗻𝗶

This group also raised several fatwas from the muftis from the Hanafiyah, Syafi'iyyah and also from other schools of thought regarding the bad habit of gathering and eating at the place of death. Here are some of them:

Shaykh ad Dimyathi asy Syafi'i when asked about this he gave the answer:

Peace be upon you

"It is true that what the community does in the form of gathering at the families of the deceased and making food is an evil bid'ah which the government is rewarded with forbidding it…."[5]

He also said:

‌ولا ‌شك ‌أن ‌منع ‌الناس ‌من ‌هذه ‌البدعة ‌المنكرة ‌فيه ‌إحياء ‌للسنة... فإن الناس يتكلفون تكلفا ك ثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما

“There is no doubt that forbidding people from this despicable act of heresy will revive sunnah. Because many people have burdened themselves to make events that are actually prohibited.”[6]

Said al Imam Ibn Abidin al Hanafi Rahimahullah:

Beloved by Allah

"And it is despised for the family of the deceased to serve guests food because eating is when they are happy, not grieving. And this is a case of bad heresy.”[7]
READ MORE

𝗕. 𝗞𝗮𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵𝗸𝗮𝗻

Meanwhile, some scholars consider that gathering people at the funeral home for the purpose of takziyah, praying, reciting the Qur'an and giving alms of food is not something that is prohibited. 

Because apart from the basis for this practice being permissible, such gatherings are not part of the worship ritual, but only as a technique of the worship itself. 

The following are among the explanations and answers from the group that allows this tahlilan event. 

𝟭. 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗹𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻𝗹𝗮𝗵 𝗺𝗮𝗸𝗮𝗻-𝗺𝗮𝗸𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮

According to these circles, there is no prohibition on eating at the grieving family's home. What is prohibited is when the host is bothered to provide food for guests who come to pray. As the Prophet ﷺ said:

??? 

"Make food for Ja'far's family (when he dies), because in fact a matter has come to them that preoccupies them." (Narrated by Abu Dawud)

Meanwhile, in practice, it is the neighbors who provide the tahlilan food, not the bereaved family. Likewise, the food comes from donations from people who are takziyah. 

And when the food is cooked and eaten by people who come to pray at the tahlilan event, it is actually worth alms from the family for the deceased. 

Therefore Imam Syafi'i Rahimahullah in his speech said:

‌وأحب ‌لجيران ‌الميت ‌أو ‌ذي ‌قرابته ‌أن ‌يعملوا ‌لأهل ‌الميت في يوم يموت

“And I like it when the neighbors of the deceased or relatives make food for the deceased's family. Namely the food that satisfies them on the day of death.”[8]

Al Imam Ibnu Qudamah, after explaining that it is makruh for the grieving host to entertain people who are takziyah, he explained further:

‌وإن ‌دعت ‌الحاجة ‌إلى ‌ذلك ‌جاز؛ فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة، ويبيت عندهم، ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه

“If it is necessary, then it is permissible (entertaining guests while grieving). Because perhaps those who come to visit the dead come from cities or faraway places and are staying at that place, it is impossible except to provide food for them.”[9]

So that the prohibition on eating is not a strict prohibition, but only annihilated. And even the nature of its disobedience can turn into mubah with the conditions mentioned above. 

𝟮. 𝗗𝗮𝗹𝗶𝗹 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵𝗻𝘆𝗮 𝗺𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗶 𝘁𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁 𝗱𝘂𝗸𝗮

There are several narrations which actually state that the Companions also carried out cooking, eating and drinking activities at the place of the deceased, including:

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فِي جِنَازَةٍ،... فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ، فَج َاءَ فَجِيءَ ‌بِالطَّعَامِ ‌فَوَضَعَ ‌يَدَهُ، ‌ثُمَّ ‌وَضَعَ ‌الْقَوْمُ

"We went out with the Prophet ﷺ in a funeral... When it was finished, a messenger came from the wife of the deceased inviting the Prophet ﷺ to come to his house, he accepted the invitation and we were with him, then served food. 

Then the Prophet put his hand on the food, we put our hands on the food and all of them ate." (Narrated by Abu Dawud)

أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّ قْنَ إِلَّا أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُن ِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُ ولَO Allah, the Most High, the Most High


“That if someone from her family (Aisyah) dies, the women gather together, then they leave except for her family and those closest to her. Then Aisyah ordered to take a pot made of stone and filled with talbinah (food from flour and dates). 

Then the food is cooked, then porridge is made and the food is poured over it. Then (Aisyah) said; "Eat it, because indeed I have heard the Messenger of Allah ﷺ say: "Food made from flour and dates is soothing for a sick heart and can relieve some of the sadness."

God bless you God bless ﷺ فَأَكَلْنَا وَشَرَبْنَا وَمَاتَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَأَكَلْنَاوَشَرَبْنَا . Amen وْا فَعَرَفْتُ تَأْوِيْلَ قَوْلِهِ

"When the Companions had returned from the funeral, a meal was prepared for them, but they were silent because they felt sad. Then Abbas bin Abdul Muttalib came and said: O people, the Messenger of Allah ﷺ has died, so we eat and drink. 

Abu Bakr had died, so we ate and drank. O people, eat this dish! Then Abbas stretched out his hand towards the food, and the people also ate it.”[10]

𝟯. 𝗕𝗲𝗿𝗸𝘂𝗺𝗽𝘂𝗹 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗷𝘂𝗺𝗹𝗮𝗵 𝗵𝗮𝗿𝗶 𝘁𝗲𝗿𝘁𝗲𝗻𝘁𝘂 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗶𝗱’𝗮𝗵

There are several narrations which state that the former Salaf also carried out takziyah or gatherings for three days, seven days, forty days and other days. Here are some narrations raised by supporters of this second opinion:

Imam Thawus Rahimahullah said:

‌ان ‌الموتى ‌يفتنون ‌في ‌قبورهم ‌سبعا ‌فكانوا ‌يستحبون ‌ان ‌يطعم ‌عنهم ‌تلك ‌الايام

"Verily, those who die get a test in their graves for 7 days. So they used to (the Companions) like to give food on those 7 days."[11]

Imam ath Thahawi al Hanafi Rahimahullah said:

ويستحب أن يتصدق على الميت بعد الدفن إلى سبعة أيام كل يوم بشيء مما تيسر

"And it is recommended to give charity for the deceased after he has been buried for up to seven days with anything that is easy to give in charity."[12]


𝟰. 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗸𝗵𝘂𝘀𝘂𝘀𝗮𝗻 𝘄𝗮𝗸𝘁𝘂 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻𝗹𝗮𝗵 𝗯𝗶𝗱’𝗮 𝗵

Rejecting a practice that is agreed permissible, just because it is specified at a certain time is not acceptable. Because in fact the earlier salaf did a worship that was prescribed in general but they did it in a special time. 

Ibn Hajar when explaining the hadiths of companions who routinely worship, he said:

God bless you

"This is the argument for the permissibility of devoting part of the day to charity with some good deeds regularly in doing it."[13]

𝟱. 𝗔𝗺𝗮𝗹𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗸𝗲𝗿𝗷𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗸𝗮𝘂𝗺 𝗺𝘂𝘀𝗹𝗶𝗺𝗶𝗻 𝘀𝗲𝗷𝗮𝗸 𝗱𝗮𝗵𝘂𝗹𝘂

Holders of this opinion argue that the tahlilan activities which are held on certain days originate from Hindu-Buddhist teachings, because there are several clear narrations that mention that Muslims have been doing it for a long time. 

Imam Suyuthi Rahimahullah said:

God bless you ا خلفا عن سلف الى الصدر الأول ِ

“In fact, the good custom of giving food alms for seven days is an act that continues to be valid until Mecca and Medina. What is clear is that this habit has never been abandoned since the time of the Companions until now, and this custom was taken from the Salaf scholars since the first generation, namely Companions."[14]

Ibn Umar rahiyallahu'anhu said:

أن المؤمن يفتن سبعا والمنافق أربعين صباحا

"A believer is tested buried for 7 days while a hypocrite 40 days."[15]

والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة أيام أو أكثر أو أقل وتقييده ببعض الأيام من العوائد فقط كما أفتى بذلك السيد أحمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام العشرين وفي الأربعين وفي الما ئة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت

“To give alms for the dead in the Shari'a is something that is recommended. The alms are not tied to the seventh day or more or less. As for associating alms with part of the day is only part of custom, as what Sayyid Ahmad Dahlan stated. 

And it has been customary among people to give alms for the deceased on the third day after his death and on the seventh day, and on the twentieth, fortieth and hundredth completion. After that haul is held every year on the day of his death.”[16]

Even one of the Malikiyah scholars, Ahmad bin Ghanim, also stated:

وأما ما يصنعه أقارب الميت من الطعام وجمع الناس عليه فإن كان لقراءة قرآن ونحوها مما يرجى خيره للميت فلا بأس به، وأم ا لغير ذلك فيكره

"As for food made by relatives of the deceased's family by gathering people, if the purpose is to read the Qur'an and the like (such as dhikr), then that is something that is expected to benefit the deceased, then there is nothing wrong with that. Meanwhile, if the purpose is not for that (such as just chatting nonchalantly) then it is disallowed."[17]


𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻
Conclusion
inference
finding
illation
consequence
rider

This problem in the view of most scholars is the realm of mu'tabarah khilaf (the area of ​​differences in religious branches that are common and common). We shouldn't make a fuss about it too deeply, let alone throwing accusations and bad nicknames at each other among fellow Muslims. 

For those who find irregularities in the practice of tahlilan, it would be more polite to focus on correcting their mistakes. Not in a gebyah uyah way, alias, on average, all of them were sentenced to bid'ah. 

Apart from not solving the problem, it will also drain our energy by fussing over 'furu' things continuously. Meanwhile, there are still many proposals and problems of other people that must be prioritized. 

📜 Wallahu a ' lam. 




_________
[1] Al Adzkar hal.269
[2] Al umm (1/317)
[3] Majmu’ Syarah al Muhadzdzab (5/320)
[4] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/1578)
[5] I’anah ath Thalibin (2/165)
[6] I’anah ath Thalibin (2/165)
[7] Hasyiah Ibnu Abidin (2/240
[8] Al Umm (1/137)
[9] Al Mughni (2/410)
[10] Mathalib al ‘Aliyah (5/328)
[11] Shifatus Shafwah (1/454)
[12] Hasyiah ath Thahawiyah hal. 617
[13] Fath al Bari (3/69)
[14] Al Hawi al Fatawa (2/234)
[15] Syarah Suyuthi ‘ala Muslim (2/491)
[16] Nihayatuz Zain (1/281)
[17] Fawakih ad Diwani (2/668)


Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post