FENOMENA RUWAIBIDHAH DI AKHIR ZAMAN
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Dahulu, orang-orang berilmu sangat takut jika harus berfatwa dalam masalah agama. Itu mengapa kita mendengar riwayat ucapan yang terkenal dari sayidina Abu Bakar Shidiq radhiyallahu'anhu :
أَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي، وَأَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي، إِنْ قُلْتُ فِي آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ بِرَأْيِي، أَوْ بِمَا لَا أَعْلَمُ
"Bumi mana yang akan aku pijak, dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku berkata tentang ayat dari kitabullah dengan pendapatku, atau dengan apa yang tidak aku punyai ilmunya ?”
Begitu juga para ulama -ulama klasik pada masa itu, sangat berhati-hati dalam menyampaikan hukum, padahal mereka sebenarnya adalah lautannya ilmu.
Imam Atha' bin Abi Rabah rahimahullah pernah ditanya tentang sebuah masalah, dan beliau menjawab: "Aku belum pernah mendengar masalah itu dari guru-guruku."
Penanya tadi berkata : "Tidakkah engkau mau mengutarakan pendapat pribadimu ?"
Sang imam menjawab tegas :
إني أستحي من اللَّه أن يدان فِي الأرض برأيي
"Sungguh aku malu kepada Allah, jika orang-orang di muka bumi ini beragama dengan pendapatku."
Hal yang sama pernah terjadi pada imam Malik rahimahullah. Sang imam ditanya tentang sebuah permasalahan fiqih, namun beliau menjawab belum menguasai masalah tersebut.
Sang penanya terus mendesak, hingga berkata : “Tolonglah aku wahai imam, aku telah melakukan perjalanan jauh agar bisa bertanya kepadamu tentang masalah ini. Apa jawabanku jika aku kembali ke negeriku dan orang-orang bertanya tentang masalah itu."
Imam Malik pun menegaskan :
فإذا رجعت إلي مكانك وموضعك فأخبرهم أني قلت لك: لا أحسنها
“Jika engkau kembali ke negerimu, kabarkan pada masyarakat di sana bahwa aku berkata kepadamu: 'aku tidak mengerti masalah tersebut dengan baik.”
Dalam riwayat yang lain, pernah diajukan kepada imam Malik 100 pertanyaan, dan beliau hanya menjawab sebagian kecilnya saja.
Lalu ada yang berkata kepadanya : "Engkau tidak menjawab semuanya, padahal hanya pertanyaan ringan lagi mudah ?"
Beliau pun menjawab :
لَيْسَ فِي العِلْمِ شَيْءٌ خَفِيْفٌ، أَمَا سَمِعتَ قَوْلَ اللهِ تعالى: إنَّا سَنُلْقِي عَلَيكَ قولاً ثَقيلاً، فَالعِلمُ كُلُّه ثقِيلٌ، وخَاصةً مَا يُسأَل عَنهُ يومَ القِيامةِ
“Tidak ada ilmu agana yang ringan. Tidakkah Anda mendengar firman Allah ta’ala ‘Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat’ (QS. Al-Muzzammil : 5).
Semua ilmu agama adalah berat, terlebih yang akan ditanya pada hari kiamat.”
Lalu bandingkan mereka dengan fenomena yang terjadi hari ini. Sangat jauh berbeda. Di mana syahwat orang untuk bicara agama begitu kuat. Tak perlu ilmu, apalagi ketakwaan.
Cukup modal gelar, atau keterkenalan, atau aksesoris keagamaan. Seseorang bisa berkata tentang halal dan haram.
Menurut saya...
Menurut hemat saya...
Menurut pengamatan saya...
Kalau saya melihatnya itu haram...
Saya sih melihatnya boleh-boleh saja...
Subhanallah. Sudahlah fakir ilmu, miskin juga rasa malu. Pantas sebagian ulama mengatakan : "Orang yang paling nekad berfatwa, adalah yang paling berani untuk masuk neraka...."
Ini baru namanya masuk neraka lewat jalur "prestasi."