Garuda Suddenly Generates Rp 57 Trillion Jumbo Profit, How come?
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk has just released a net profit report of USD 3.8 billion or the equivalent of IDR 56.9 trillion (assuming an exchange rate of IDR 14,975 per US dollar) throughout 2022 (rounded up to IDR 57 trillion).
The GIAA-coded issuer's net profit performance was successfully achieved after facing the Covid-19 pandemic period which hit the company's finances. Garuda Indonesia's main director, Irfan Setiaputra, said that Garuda Indonesia's net profit was the largest in history.
"Throughout 2022 we recorded a net profit of US$3.8 billion after 3 consecutive years, both during the pandemic and one year before the pandemic. This is the biggest profit achievement the company has ever achieved in history," he said at the Garuda Indonesia Public Expose, quoted on Thursday (1/6/2023).
Behind the profit of IDR 57 trillion
As a comparison, Garuda Indonesia's profit even beat Pertamina. This BUMN, which is included in the list of the largest assets in Indonesia, managed to make a profit of IDR 56.6 trillion.
Other state-owned companies with the largest assets, Telkom and PLN, recorded profits of IDR 26.86 trillion and IDR 14.4 trillion in 2022, respectively.
For people who are unfamiliar with the company's financial reports, Garuda Indonesia's huge profit of IDR 56.9 trillion certainly raises questions.
Moreover, this state-owned airline has been plagued with mounting debts and often records losses. For example, in the first quarter of 2023 alone, Garuda recorded a loss of IDR 1.61 trillion.
What must be understood, Garuda's skyrocketing profits occurred due to debt restructuring income with the approval of the Peace Agreement in the Postponement of Debt Payment Obligations (PKPU) process.
This means that the skyrocketing profits or profits of the company are not solely due to the company's slick performance, but because the company has recorded unrealized revenue.
As in the first semester of 2022, Garuda also claims to have made a net profit of IDR 57 trillion. The profit was also contributed from debt restructuring income.
In simpler language, Garuda Indonesia's profit of IDR 56.9 trillion is just a figure on paper. In accounting records, this term is called book profit or book profit.
Book profit is a type of profit that is recorded in the books, but some of the income has actually not been realized. Book profit recording is indeed common for many companies in accordance with applicable accounting principles, especially accrual-based accounting.
Profit itself is calculated from the company's income which is then reduced by all company expenses. Garuda's skyrocketing profits, of course, occurred because it contributed to skyrocketing revenue.
In Garuda's case, a profit of IDR 57 trillion arose due to homologation in PKPU. Homologation is the agreement between the debtor and creditor to end bankruptcy.
Where after the existence of PKPU, there is a reversal of liabilities or debt into company income. In other terms, Garuda Indonesia's skyrocketing profits arose because unpaid debts were then recorded as company income after the existence of PKPU.
The reversal of debt into income is recognized in the accounting records, this is understandable because Garuda Indonesia, which should have recorded debt and interest payments as expenses in the financial statements, then decided that it was not necessary to pay it because the creditors were willing to reconcile. accordance with the proposal submitted by the company.
Garuda Indonesia Finance
Apart from the sharp increase in profit claims, Garuda Indonesia also claims to have strengthened the fundamentals of business performance by successfully reducing total fixed expenses or fixed costs in 2022 to 73.9 percent compared to 2019.
Irfan said, the reduction in fixed costs was mostly driven by the reduction in aircraft rental costs and the application of cost leadership in various operating expenses based on fixed costs.
On the other hand, during 2022, the state-owned airline will also reduce its minimum cost of revenue to 9 percent from the previous 27 percent.
Then, average revenue per aircraft was recorded at 26,100, and a fixed cost to revenue of 30.62 percent.
Meanwhile, Garuda Indonesia's total assets are currently US$4.14 billion, followed by liabilities of US$4.8 billion. Then the total equity was recorded at minus 653 million US dollars.
Irfan stated, for this year, the company is targeting an increasingly solid performance. This starts from increasing Ebitda, operating income, and increasing revenue through strengthening and restoring the fleet.
"We will also strengthen corporate governance," he concluded.
Garuda Tiba-tiba Cetak Laba Jumbo Rp 57 Triliun, Kok Bisa?
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk baru saja merilis laporan laba bersih sebesar 3,8 miliar dollar AS atau setara Rp 56,9 triliun (asumsi kurs Rp 14.975 per dollar AS) di sepanjang 2022 (dibulatkan menjadi Rp 57 triliun).
Kinerja laba bersih emiten berkode GIAA itu berhasil dicapai setelah menghadapi periode pandemi Covid-19 yang memukul keuangan perseroan. Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menyebut, laba bersih Garuda Indonesia tersebut merupakan yang terbesar sepanjang sejarah.
"Sepanjang 2022 kami mencatatkan laba bersih 3,8 milliar dolar AS setelah 3 tahun berturut-turut, baik itu selama pandemi maupun satu tahun sebelum pandemi. Ini merupakan capaian laba terbesar yang pernah diraih perseroan sepanjang sejarah," ujarnya dalam Public Expose Garuda Indonesia, dikutip pada Kamis (1/6/2023).
Di balik laba Rp 57 triliun
Sebagai perbandingan saja, laba Garuda Indonesia ini bahkan mengalahkan Pertamina. BUMN yang masuk deretan aset terbesar di Indonesia itu berhasil mencetak laba Rp 56,6 triliun.
Perusahaan pelat merah lainnya dengan aset terbesar, Telkom dan PLN, labanya pada 2022 tercatat masing-masing Rp 26,86 triliun dan Rp 14,4 triliun.
Bagi masyarakat yang masih awam terkait laporan keuangan perusahaan, laba jumbo Garuda Indonesia sebesar Rp 56,9 triliun tentu menimbulkan tanda tanya.
Terlebih, maskapai pelat merah ini selama ini masih didera dengan utang yang menggunung dan masih sering mencatatkan kerugian. Sebagai contoh, pada kuartal I 2023 saja, Garuda mencatat kerugian sebesar Rp 1,61 triliun.
Yang harus dipahami, laba Garuda yang melejit tersebut terjadi karena adanya pendapatan restrukturisasi utang dengan disetujuinya Perjanjian Perdamaian dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Artinya, laba atau untung perseroan yang meroket tersebut bukan semata karena kinerja apik perusahaan, namun karena perusahaan mencatatkan pendapatan yang belum direalisasikan.
Sebagaimana pada semester I 2022, Garuda juga mengklaim meraup laba bersih sebesar Rp 57 triliun. Laba tersebut juga disumbang dari pendapatan restrukturisasi utang.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, laba Garuda Indonesia sebesar Rp 56,9 triliun hanya merupakan angka di atas kertas belaka. Dalam pencatatan akuntansi, istilah ini disebut dengan laba buku atau book profit.
Book profit adalah jenis laba yang dicatatkan dalam pembukuan, tetapi sebagian pendapatan sebetulnya belum terealisasi. Pencatatan book profit memang sudah lazim dilakukan banyak perusahaan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku, terutama pembukuan akuntansi berbasis akrual.
Laba sendiri dihitung dari pendapatan perusahaan yang dikemudian dikurangi dengan seluruh beban perusahaan. Laba Garuda yang melejit itu tentunya terjadi karena disumbang pendapatan yang juga meroket.
Dalam kasus Garuda, laba sebesar Rp 57 triliun muncul karena adanya homologasi dalam PKPU. Homologasi adalah persetujuan debitur dan kreditur untuk mengakhiri kepailitan.
Di mana setelah adanya PKPU, maka ada pembalikan liabilitas atau utang menjadi pendapatan perusahaan. Dalam istilah lain, meroketnya laba Garuda Indonesia muncul karena utang yang belum bisa dibayarkan kemudian dicatatkan sebagai pendapatan perusahaan setelah adanya PKPU.
Pembalikan utang menjadi pendapatan diakui dalam pencatatan akuntansi, hal ini bisa dimaklumi karena Garuda Indonesia yang seharusnya mencatat pembayaran utang dan bunga sebagai beban dalam laporan keuangan, kemudian diputuskan tidak perlu membayarnya karena para kreditur bersedia untuk berdamai sesuai dengan proposal yang diajukan perusahaan.
Keuangan Garuda Indonesia
Selain klaim laba yang meningkat tajam, Garuda Indonesia juga mengklaim telah melakukan penguatan fundamental kinerja usaha dengan berhasil menurunkan total pengeluaran tetap atau fixed cost selama 2022 menjadi sebesar 73,9 persen dibandingkan 2019.
Irfan menuturkan, penurunan fixed cost itu mayoritas didorong oleh penurunan biaya sewa pesawat dan penerapan cost leadership di beragam pengeluaran operasi yang berbasis fixed cost.
Di sisi lain, selama 2022, maskapai pelat merah tersebut juga menurunkan least cost of revenue atau biaya pendapatan menjadi sebesar 9 persen dari sebelumnya 27 persen.
Kemudian, average revenue per aircraft tercatat sebesar 26.100, serta fixed cost to revenue sebesar 30,62 persen.
Adapun total aset Garuda Indonesia saat ini sebesar 4,14 miliar dollar AS yang diikuti liabilitas sebesar 4,8 miliar dollar AS. Lalu total ekuitas tercatat minus 653 juta dollar AS.
Irfan menyatakan, untuk tahun ini, perusahaan menargetkan kinerja yang semakin solid. Hal itu mulai dari kenaikan Ebitda, pendapatan usaha, dan peningkatan revenue melalui penguatan dan restorasi armada.
"Kami juga akan menguatkan tata kelola perusahaan," pungkasnya.
Comments