HUKUM MENCARI HARI BAIK
Kiyai, apa hukumnya menentukan tanggal acara dan pernikahan sesuai kalender jawa atau china katanya mencari hari baik ?
Jawaban
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Di sebagian masyarakat, ketika mereka akan menyelenggaraka
Bila mencari hari atau menentukan hari itu karena pertimbangan yang rasional semisal menunggu musim panen, menanti datangnya saat liburan atau menghindari musim penghujan demi kelancaran acara, maka ini termasuk memilih hari yang hukumnya boleh dan tidak termasuk kategori kasus memilih ‘hari baik’ sebagaimana yang umumnya dipahami orang banyak.
Demikian juga memilih hari atau waktu yang disandarkan kepada dalil syar’i, maka hukumnya juga boleh. Semisal memilih bulan Syawal untuk menyelenggaraka
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي، وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تَدْخُلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ
“Rasulullah ﷺ menikahiku di bulan Syawal, dan mengadakan malam pertama denganku di bulan Syawal. Manakah istri beliau yang lebih mendapatkan perhatian beliau selain aku ?”
Salah seorang perawi mengatakan, “Aisyah menyukai jika suami melakukan malam pertama di bulan Syawal.” (HR. Muslim)
Rasulullah ﷺ ketika menikahi Aisyah di bulan Syawal kala itu bertujuan untuk membantah keyakinan orang Arab Jahiliyyah yang meyakini bahwa bulan Syawal tidak baik digunakan sebagai bulan pernikahan.[1]
Al Imam Nawawi rahimahullah ketika mengomentari hadits diatas berkata :
وقصدت عائشة بهذا الكلام رد ما كانت الجاهلية عليه وما يتخيله بعض العوام اليوم من كراهة التزوج والتزويج والدخول في شوال وهذا باطل لا أصل له وهو من آثار الجاهلية كانوا يتطيرون بذلك
“Tujuan Aisyah mengatakan demikian adalah sebagai bantahan terhadap keyakinan jahiliah dan khurafat yang beredar di kalangan masyarakat awam pada waktu itu, bahwa dimakruhkan menikah atau melakukan malam pertama di bulan Syawal.
Ini adalah keyakinan yang salah, yang tidak memiliki landasan. Bahkan, keyakinan ini merupakan peninggalan masyarakat jahiliyah yang meyakini adanya kesialan menikah di bulan Syawal.”[2]
Mencari hari baik
Sedangkan Kasus yang terjadi di sebagian masyarakat, mereka mencari hari baik dengan perhitungan yang disandarkan kepada ilmu kejawen, perbintangan, hal-hal yang berbau khurafat bahkan kepercayaan agama lain.
Sebagian orang diyakini memiliki kemampuan bisa menghitung dan memaknai tanggal, bulan, weton, dan sebagainya, padahal semuanya tidak memiliki dasar ilmiah apalagi dalil agama.
Boleh jadi itu hasil bisikan syetan atau bahkan sekedar kebetulan, ilmu gothak – gathik – gathuk (cok gali cok, digali-gali cocok).
Dan mencari hari dengan cara seperti ini disepakati haramnya oleh para ulama, karena termasuk bentuk ramalan dan tathayur atau Thiyarah yang diharamkan bahkan bisa menjatuhkan pelakunya kepada dosa kesyirikan. Naudzubillah.
1. Haramnya ramalan
Ulama menjelaskan bahwa hukum ramalan bukan hanya sekedar haram, bahkan lebih daripada itu, ia adalah bentuk kesyirikan yang bisa menghapus amal shalih yang sudah dikerjakan seseorang.[3]
Dalam hadits disebutkan :
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Siapa yang mendatangi peramal, kemudian bertanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak akan diterima selama 40 hari.” (HR. Ahmad)
2. Haramnya thiyarah
Kepercayaan ini oleh sebagian ulama disebut dengan istilah thiyarah. Yaitu perasaan takut mendapat sial bila melakukan suatu even pada hari yang dipercaya sebagai hari sial.
Dan mengenai Thiyarah bersepakat seluruh ulama dan ahlu tauhid hukumnya haram, hal ini didasarkan kepada hadits-hadits yang sangat banyak diantaranya Rasulullah ﷺ bersabda :
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، ثلاَثًا
“Tiyarah adalah syirik, tiyarah adalah syirik (beliau ucapkan tiga kali)..” (HR. Abu Dawud)
Dalam hadits lain : “Barangsiapa mengurungkan hajatnya karena thiyarah (merasa sial dengan sesuatu), berarti telah syirik.” (HR Ahmad)
Dalam Tafsir Ibu Katsir dinulil perkataan al Imam Syafi’i rahimahullah : “Orang Arab jahiliyah dahulu ketika ditimpa suatu musibah, dan bencana, mereka mengatakan ‘alangkah jahatnya waktu ini’, mereka mengalamatkan pelakunya kepada waktu, lalu mereka mencelanya, sedangkan yang menjalankan waktu itu adalah Allah Ta’ala, maka seakan-akan mereka mencela Allah.”
Ibnu Hajar al Haitami ketika ditanya tentang permasalahan hari baik dan buruk untuk bepergian, beliau menjawab :
من يسأل عن النحس وما بعده من لا يجاب إلا بالإعراض عنه وتسفيه ما فعله ويبين له قبخه، وأن ذلك من سنة اليهود لا من هدي المسلمين المتوكلين على خالقهم وبارئهم الذين لا يحسبون وعلى ربهم يتوكلون
“Orang yang menanyakan tentang hari sial tidak perlu di jawab kecuali berpaling dari pertanyaanya dan menganggap bodoh perbuatannya dan menjelaskan kejelekannya karena hal tersebut ternasuk perbuatan orang orang Yahudi bukan termasuk petunjuk orang Islam yang pasrah pada penciptanya.”[4
Penutup
Hendaknya orang-orang beriman menjauhi sejauh-jauhnya perbuatan-perbu
Wallahu a’lam
_______
[1] I’anah at-Thalibin (3/273)
[2] Syarah Shahih Muslim (9/209)
[3] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (15/61)
[4] Al Fatawa al Haditsiah hal : 59
Comments