SEJARAH KYAI HAJI SYAHID MENANTU KH. ABDULLAH KANGGOTAN KIDUL

SEJARAH KYAI HAJI SYAHID MENANTU KH. ABDULLAH KANGGOTAN KIDUL




Siapakah Kiai Haji Syahid
Kiai Haji Syahid nama kecilnya adalah Sholihin merupakan putera dari simbah Buyut Romo Kiai Imam Feqih – punden Sindutan, merupakan Putra tertua dan satu-satunya putera laki-laki dari tiga saudaranya yang lain perempuan (Simbah Nyai Muslimah, Simbah Nyai Saodah, Simbah Nyai Rukibah)

Pada masa mudanya setelah mengaji di rumah, Beliau pergi mondok (nyantri) di pondok pesantren Somolangu Kebumen, pondok pesantren Lerab Kebumen, Pondok Pesantren Jamsaren Solo, Pondok Pesantren Tremas Pacitan, Pondok Pesantren Wonokomo Bantul (yang merupakan lembaga pendidikan paling maju selain sekolah Belanda). Beliau ahli dalam bidang ilmu Aqidah, Ilmu Alat (Nahwu, Sorof, hafal Kitab Taqrib (yang merupakakan kitab fiqih wajib pesantren) dan hafal kitab I’rab. Ahli Ilmu Fiqih dan tasawwuf. Juga Al Qur’an. Beliau menikah dengan Nyai Mus’idah yang merupakan putri dari Simbah Kiai Abdullah dari Kanggotan Gondowulung Bantul. Beliau mukin di Glaheng dan mendirikan pondok pesantren di situ. Santri-santrinya dari berbagai daerah seperti Susukan, Sayegan-Sleman,  Godean, Janten, Kokap,Kutoarjo, Purwodadi, Cilacap dan lain-lain.

Beliau merupakan sosok seorang yang pekerja keras, teguh, tegas, dan kuat, memegang prinsip /  pendiriannya. Terutama masalah hukum agama. Beliau sangat anti dengan pemerintah Belanda (Kolonial), baju dan pakaian yang beliau pakai adalah jahitan tangannya sendiri. Beliau rajin beribadah, bahkan Sholat Dhuha dan sholat Sunnat lail tidak pernah ditinggalkannya. Setelah sholat Dhuha pasti membaca Al Qu’an sampai satu bulan khatam secara terus menerus sampai jatuh sakit menjelang ajal sakit selama tiga hari kemudian meninggal dunia pada hari Kamis tanggal…. Tahuan 1964. Usia beliau kurang lebih 83 tahun, jadi diperkirakan lahir pada tahuan 1881. Sebenarnya putera Kiai Haji syahid ada empat belas orang akan tetapi yang hidup sampai berumah tangga hanya empat orang yaitu; 1. ‘Alamuddin, 2. Wajihuddin, 3. Muhammad Munji, 4. Minahul Bari, Sedang Simbah Nyai Mus’idah meninggal Tahun 1973 denga usia 80 tahun

Kiai Haji Syahid adalah seorang ulama’ salaf yang hidup pada masa penjajahan sampai kemerdekaan. Beliau merupakan sosok agamawan yang merupakan rujukan masalah agama di daerah Kulon Progo dan Daerah Istimewa Yogyakarta, teruama masalah fiqih. Kiai Haji Syahid hidup sangat sederhana walaupun berhektar-hektar luas tanah pekarangannya dan mempunyai ratusan ternak sapi. Beliau biasa mengajar santrinya dengan cara sorogan (guru yang membaca dan santri menyemak, santri menentukan atau ditentukan kitab yang akan dibacakan). Beliau sangat telaten mengajar santrinya, walaupun hanya satu orang. Beliau banyak menelurkan kiai / ulama’ yang berdakwah di sekitar tempat kiai tersebut. Hampir seluruh kiai di Janten Temon adalah murid beliau. Kiai Haji Syahid bertempat tinggal di Glaheng Temon Kulon Progo Yogyakarta. Beliau menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengajar ilmu agama Islam kepada santrinya. Beliau tidur bertemankan kitab-kitab klasik, dengan tidak lupa muthola’ah sebelumnya. 

Beliau ahli dalam bidang ilmu fiqih, tasawwuf, Al Qur’an, nahwu, saraf, tajwid, falaq, dan ilmu hikmah. Selain sibuk mengajar santi secara sorogan, beliau juga berdakwah di tempat lain. Tempat yang di dakwahi beliau menjadi aman, tenang dan perkembangan Islamnya pesat. Tempat mengajar beliau adalah mushola kecil di samping rumah dan terdapat bangunan untuk tidur santri atau biasa disebut pondok. Sebagian ulama menyebut beliau adalah kekasih Allah karena karomah beliau. Nama beliau sering disebut dalam mujahadah mu’tabaroh di Purworejo sebagai Ulama’ atau orang yang berjasa menyebarkan agama Islam di daerah Kulon Progo, Purworejo dan sekitarnya. 

Karakter Kiai Haji Syahid
Kiai Haji Syahid sangat tegas dan kuat dalam memegang hukum Islam. Beliau pernah menjadi rujukan tentang harta tinggalan perampok besar yang tidak mempunyai keturunan dan dihikumi harta fa’i, kemudian disebarkan bagi masyarakat Kanggotan Bantul. Beliau sangat anti penjajah Belanda. Banyak kitab-kitab beliau yang dihancurkan Belanda. sejarah asal usul ini berdasarkan rowi (KH. Bajuri –KH. Silahuddin– KH. Asro’i) yang menceritakan tentang asal usul keturunan. Menurut sejarahnya yang diriwayatkan sebagai berikut : Di Pasir Mendit-Pasir kadilangu pada zaman dahulu terdapat masjid TIBAN (disebut TIBAN, menurut sebagian keterangan adalah karena masyarakat saat itu masih sangat ‘awam, sehingga yang sebenarnya masjid dibuat pada malam hari sehingga keesokan harinyamuncul masjid yang merupakan barang aneh saat itu, yang hanya berupa tiang empat dan atap saja, belum selesai dan tidak tahu yang mendirkannya, hanya dalam waktu semalam.
 Kemudian masyarakat setempat (masyarakat Kadilangu-Pasir Mendit) menjadigempar dan salah satunya yang dituakan lapor ke KADIPATEN 
PAKUALAMAN NGAYOGYAKARTA, karena wilayah tersebut masih kukuban wilayah Kasultanan Yogyakarta paling barat. Kemudian Sultan Mengutus TELIK SANDI (PETUGAS RAHASIA) untuk meninjau lokasi yang dilaporkan. Hasil Penyelidikan dari telik sandi tersebut melaporkan bahwa masyarakat Pasir Kadilangu-Pasir  Mendit merupakan masyarakat Jahiliyah yang belum tersentuh ajaran Islam sedikitpun. Di dalam masyarakat berlaku hukum rimba yang berkuasa yang paling kuat dan menang. MA-LIMA(LIMA-M) berlaku di situ: MALING (mencuri, merampok) MINUM (Minum-minuman keras) MADAD (menghisab Candu/narkotika sekarang red.) MAIN (Berjudi, Adu Ayam) dan MEDOK (Main perempuan, Perselingkuhan Merajalela). Keadaan masyarakat setempat benar-benar sudah rusak akhlaqnya/budi pekertinya. Dengan berdirinya masjid TIBAN tersebut merupakan tanda / Isyarah dari Allah SWT. Kepada Sultan untuk melakukan tindakan perbaikan kepada masyarakatnya. Hal Tersebut harus ada seseorang yang berani berkorban memperbaiki akhlaq masyarakat tersebu dengan penyebaran agama Islam. Akhirnya Sultan memanggil tokoh-tokoh Agam Islam Kasultanan yang ada pada masa itu bermusyawarah. Diantara tokoh-tokoh agama Islam tersebut yaitu seorang PENGHULU AGAMA ISLAM KADIPATEN PAKUALAMAN NGAYOGYAKARTA dari PEDES (Sebelah Barat Yogyakarta) mempunyai putera yang sedang (mondok) nyantri di pondok SEMBULAN daerah Madiun Jawa Timur. Yaitu RADEN ARIEF yang saat itu sudah menjadi Lurah Pondok dan diambil menantu oleh Adipati SOMOROTO ( yang sekarang kecamatan SOMOROTO) sebalah barat wilayah Ponorogo wilayah Madiun.
Penghulu Pedes diperintah Sultan untuk memanggil puteranya untuk ditugaskan DAKWAH AGAMA ISLAM DI PASIR KADILANGU – PASIR MENDIT yang sudah rusak akhlaqnya tersebut. Karena DAWUH ADIPATI PAKUALAMAN (PERINTAH KANJENG ADIPATI PAKUALAMAN ) harus dilaksanakan maka RADEN ARIEF dipanggil pulang bersama Istrinya (PUTERA ADIPATI SOMOROTO) dan anak perempuan satu-satunya diboyong ke Pasir Kadilangu-Pasir Mendit. Kemudian mendirikan pondok pesantren di situ dan murid-muridnya dari berbagai daerah sekitar, sambil berdakwah kepada masyarakat setempat memperbaiki akhlaq masyarakat setempat, sampai meninggal disitu. 

Pada saat usia menginjak tua KIAI ‘ARIEF HANYA PUNYA PUTERA SATU PEREMPUAN DARI Ibu putri ADIPATI SOMOROTO tersebut. Istrinya karena tidak kerasan di Pasir mendit –Pasir Kadilangu bersama putrinya dibawa balik ke SOMOROTO. Kemudia KIAI ‘ARIEF nikah lagi dengan seorang putri dari KIAI KADILANGU (PONDOK PESANTREN KADILANGU SEMARANG) tetapi tidak mempunyai keturunan. Untuk melanjutkan perjuangannya dan melanjutkan pondok pesantrennya, mengambil menantu dari salah satu santrinya KIAI ASY’ARI DARI KEDUNGKUWALI SIDOREJO. Dinikahkan dengan putrid satu-satunya dari Ibu Putri Adipati SOMOROTO,dan Istri dari PUTRI ADIPATI SOMOROTO tersebut dirujuk kembali sampai meninggal di pasir Kadilangu-Pasir Mendit, karena istri putri kiai Kadilangu Semarang telah difurqoh dan kembali ke Kadilangu Semarang, sampai meninggal di sana.

KIAI ASY’ARI KEDUNGKWUALI dengan PUTERINYA KIAI ‘ARIEF menurunkan putera: 1. KIAI JAYADI, 2. KIAI IMAM FEQIH, 3. KIAI MISBAHUDDIN BLITAR KEDIRI, 4. KIAI ISKANDAR, 5. NYAI RAGIL (‘AISYAH).
KIAI ASY’ARI dan Isterinya meninggal dan dimakamkan di Keduang Kuwali Sidorejo, sedangkan Puteranya yang tertua yaitu KIAI JAYADI di Pasir Kadilangu-Pasir Mendit sampai meninggal di sana. KIAI IMAM FEQIH berdiam di Punden Sindutan sampai meninggal. Dan KIAI MISBAHUDDIN pergi ke Jawa Timur tepatnya di Pelas Kediri sampai meninggal di sana dengan anak-anak keturunannya. KIAI ISKANDAR tinggal di Gunung Ketur Pakualaman sampai meninggal di sana.

Dari KIAI JAYADI menurunkan KIAI ANWAR DI Palihan yang mempunyai putera yaitu; 1. Muhmammad Siraj, 2. Siti Salamah, 3. Muhammad Mursid, 4. Musta’inah. Muhammad Siraj dan Siti Salamah berdiam di Palihan sampai meninggal, Muhammad Mursyid dan Musta’mah berdiam di Jangkaran sampai meninggal dimakamkan di Punden Sindutan.

Dari KIAI IMAM FEQIH Mempunyai Putera ; 1. KIAI SYAHID ALIAS SOLIHIN, 2. Nyai Muslimah, 3. Nyai Saodah, 4. Nyai Rukibah. Dari KIAI SYAHID menurunkan: 1. KIAI H. BAJURI ALIAS ‘ALAMUDDIN, 2. KIAI H. SHILAHUDDIN ALIAS WAJIHUDDIN, 3. KIAI H. ASYRO’I ALIAS MUHAMMAD MUNJI, 4. KIAI H. FAQIH SYAHID ALIAS MINAHUL BARI.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Next

نموذج الاتصال