Skip to main content

𝗣𝗘𝗡𝗨𝗟𝗜𝗦 𝗞𝗜𝗧𝗔𝗕 𝗧𝗘𝗥𝗕𝗘𝗦𝗔𝗥

𝗣𝗘𝗡𝗨𝗟𝗜𝗦 𝗞𝗜𝗧𝗔𝗕 𝗧𝗘𝗥𝗕𝗘𝗦𝗔𝗥


Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

1. Ini adalah biografi ringkas seorang ulama besar yang telah menulis sebuah kitab tertebal yang belum pernah ditulis oleh manusia manapun karya sebesar itu : Kitab al Funun. Sebuah maha karya yang belum ada tandingannya hingga hari ini.
2. Beliau adalah al imam Abu Wafa’ Ali bin Aqil al Hanbali rahimahullah. Ulama yang zuhud, dermawan dan memiliki segudang karya. Berkata al Imam Ibnu Hajar rahimahullah tentangnya :
أحد الأعلام وفرد زمانه علما ونقلا وذكاء وتفننا... من كبار الأئمة
“Salah seorang ulama paling alim, yang jarang ada bandingannya di zamannya. Orang yang berilmu, menjadi rujukan dan sangat cerdas. Termasuk dari pemukanya para imam.”[1]
Al Imam Ibnu Jauzi rahimahullah berkata :
كان ابن عقيل دينا، حافظا للحدود، فظهر منه من الصبر ما يتعجب منه، وكان كريما ينفق ما يجد، وما خلف سوى كتبه وثياب بدنه
“Ibnu Aqil orang yang kuat dalam beragama dan sangat menjaga hukum-hukum agama. Telah nampak pada dirinya sifat sabar yang mengagumkan.
Ia orang yang dermawan karena selalu menginfaqkan apapun yang ia miliki. Saat meninggal, ia tidak mewariskan kecuali kitab-kitab dan baju yang melekat di badannya.”[2]
Beliau juga berkata :
هو فريد فنه، وإمام عصره، ظاهر المحاسن
“Dia memiliki keunikan sendiri dalam karyanya, imam di zamannya yang nampak jelas kebaikannya.”[3]
3. Banyak yang keliru mengira bahwa beliau ini juga lah yang mensyarah Alfiah Ibnu Malik, sebuah nadzam ilmu nahwu yang sangat terkenal itu.
Padahal Syarah Ibnu ‘Aqil tersebut adalah karya ulama lain yang kebetulan saja namanya sama dengan beliau, yakni Ibnu Aqil. Nama aslinya Abdullah bin Abdurrahman, ulama Syam yang wafat tahun 769 H. Terpaut jauh dengan Ibnu Aqil al Hanbali yang wafat di tahun 513 H.
4. Di awal kehidupannya sempat terpengaruh oleh arus pemikian aliran Mu’tazilah, lalu beliau bertaubat dan kembali ke pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah.[4] Berkata Ibnu Atsir rahimahullah :
كان قد اشتغل بمذهب المعتزلة في حداثته على ابن الوليد، فأراد الحنابلة قتله، فاستجار بباب المراتب عدة سنين، ثم أظهر التوبة
“Di masa mudanya ia sempat sibuk dengan madzhab Mu’tazilah asuhan Ali bin Walid. Sehingga kalangan Hanabilah ingin membunuhnya. Lalu ia minta perlindungan ke pemerintah beberapa tahun, hingga ia menyatakan taubatnya.”[5]
Ibnu Hajar al Asqalani berkata : “Beliau ini termasuk ulama besar. Memang benar, dulunya Ibnu Aqil penganut faham mu'tazilah. Akan tetapi, beliau telah menyatakan diri bertaubat. Taubatnya pun sungguh-sungguh. Bahkan, beliau menulis kitab untuk membantah kaum mu'tazilah”[6]
Karena kecerdasannya yang luar biasa, ketika ia masih teracuni oleh pemikiran Mu’tazilah sekalipun, tak ada satupun orang yang bisa mengalahkannya dalam perdebatan. Al imam adz Dzahabi berkata :
لم يكن له في زمانه نظير على بدعته

“Tidak ada di zamannya yang bisa mendebat untuk membantah kebid’ahannya.”[7]
5. Saat menyatakan taubat, sang imam mengundang begitu banyak orang termasuk para ulama dari berbagai madzhab untuk menyaksikan pertaubatannya tersebut, seraya berkata :
إني ‌أبرأ ‌إلى ‌الله ‌تعالى ‌من ‌مذاهب ‌مبتدعة ‌الاعتزال ‌وغيره، ومن صحبة أربابه، وتعظيم أصحابه... فأنا تائب إلى الله تعالى من كتابته، ولا تحلَّ كتابتُه، ولا قراءتُه، ولا اعتقادُه
“Aku berserah kepada Allah dengan berlepas diri dari pemahaman bid’ah mu’tazilah dan pemikiran semisalnya. Dan dari mengikuti para tokohnya, dari mengagungkan pengikutnya....
Aku bertaubat kepada Allah dari apa yang pernah aku tulis itu. Maka aku tidak membolehkan siapapun untuk menyalinnya, membacanya atau menjadikannya sebagai rujukan pemahaman.”[8]
Apa yang beliau lakukan ini menunjukkan kebeningan hati, ketawadhu’an dan sikap yang sangat kesatria. Beliau menyatakan dengan terus terang ketergelincirannya tanpa gengsi demi agar orang-orang tidak mengikuti kesalahan yang beliau lakukan.
Padahal, jika dibandingkan dengan sekarang ini, bisa jadi kesalahan beliau itu tidak akan dianggap oleh kebanyakan orang. Dan bagi pelakunya cukup ngeles sedikit, terjagalah “harga diri”.
Berkata Ibnu Hajar al Asqalani :
وصحت توبته ثم صنف في الرد عليهم، وقد أثنى عليه أهل عصره ومن بعدهم
“Dan sungguh benar taubatnya dan ia menyusun tulisan untuk membantah pemahaman mereka (mu'tazilah). Dan telah menyanjungnya ulama di zamannya dan juga zaman setelahnya.”[9]
6. Ibnu Aqil dikenal sebagai orang yang sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan waktunya. Bahkan agar bisa maksimal dalam ibadah, khususnya untuk menyusun karya-karyanya, sang imam memangkas beberapa aktivitas yang sebenarnya juga tidak terlalu memakan waktu, seperti makan, minum dan ke toilet.
Beliau berkata :
وأنا أقصر بغاية جهدي أوقات أكلي، حتى أختار سف الكعك وتحسيه بالماء على الخبز، لأجل ما بينهما من تفاوت المضغ، توفرا على مطالعة، أو تسطير فائدة لم أدركها فيه
“Sebisa mungkin aku meringkas waktu makan, sehingga aku memakan kue yang telah dicelup dengan air dari pada roti kering. Karena ada selisih waktu yang dibutuhkan antara keduanya untuk dikunyah. Supaya waktuku untuk mentela’ah ilmu lebih optimal, dan mengejar faidah ilmu yang tertinggal.”[10]
Berkata al Imam Ibnu Jauzi rahimahullah tentang diri beliau :
‌وكان دائم التشاغل بالعلم... وكان ‌له ‌الخاطر ‌العاطر، ‌والبحث ‌عن ‌الغوامض ‌والدقائق

“Beliau senantiasa sibuk dengan ilmu, memiliki otak yang sangat cerdas dan kemampuan menyelami masalah-masalah pelik dan detail permasalahan.”[11]
7. Kitab al Funun bukanlah satu-satunya karya al imam Ibnu Aqil rahimahullah. Sebagian ulama menyebutkan masih ada karya lain sebanyak 20 judul kitab yang telah ia susun, diantaranya adalah kitab al Jadal ala Tariqat al Fuqaha, Kitab al Fushul, kemudian Kifayat al Mufti, Umadah al Adillah, al Mufradat at Tadzkirah, al Isyarah dan al Mantsur al Irsyad.
Namun sayangnya karya-karyanya termasuk banyak yang tidak utuh.
8. Ada sebuah kisah unik dalam kehidupan imam Ibnu Aqil. Yang memberikan pelajaran sangat berharga. Mari kita simak kisahnya lewat penuturan beliau sendiri : “Aku pernah pergi saat berhaji menemukan kalung permata dengan untaian benang merah. Tiba-tiba ada seorang laki-laki tua lagi buta, mencarinya dan berjanji kepada siapa saja yang menemukan dan mengembalikan kepadanya akan di beri imbalan 100 dinar (390 juta).
Aku pun mengembalikan kalung tersebut kepadanya, dan saat itu ia akan memberikan imbalannya aku menolaknya.
Kemudian, setelah menyelesaikan ibadah haji aku menuju Syam dan berziarah ke masjidil Aqsha sebentar. Saat sampai di Aleppo, aku menginap di sebuah masjid dalam keadaan kedinginan dan kelaparan.
Lalu ketika tiba waktu shalat, orang-orang pun memintaku menjadi Imam. Aku pun mengimami mereka. Selesai shalat, aku dijamu makan oleh mereka.
Peristiwa itu terjadi di awal Ramadhan. Salah satu dari mereka berkata kepadaku :
إمامنا توفي، فصل بنا هذا الشهر
‘Imam kami baru saja meninggal, kami berharap engkau mau menjadi imam shalat kami selama sebulan ini.'
Aku pun memenuhi keinginan mereka. Setelah beberapa waktu, mereka berkata :
لإمامنا بنت. فزوجت بها
'Imam kami punya seorang anak gadis. Maukah Engkau menikah dengannya ?'
Aku pun akhirnya menikahi putri sang imam....
Pada suatu hari aku mengamati istriku, ternyata di lehernya ada seuntai kalung permata dengan benang merah yang dulu aku temukan di Makkah, maka aku katakan kepada istriku,
لهذا قصة

'Kalung ini memiliki sebuah kisah.'
Kemudian aku mengkisahkan peristiwa ketika dahulu aku menemukan kalung itu di Makkah. Mendegar kisahku itu, istriku pun menangis lalu berkata :
أنت هو والله، لقد كان أبي يبكي، ويقول: اللهم ارزق بنتي مثل الذي رد العقد علي، وقد استجاب الله منه
'Aduhai, berarti laki-laki itu adalah dirimu ! Demi Allah, ayahku waktu itu menangis dan ia pernah berdoa : Ya Allah, karuniakanlah putriku seorang suami seperti laki-laki yang mengembalikan kalung ini. Sungguh Allah telah mengabulkan doa ayahku.”[12]
Semoga bermanfaat.
___________
[1] Lisan al Mizan (5/563)
[2] Siyar A’lam Nubala (19/446)
[3] Siyar A’lam Nubala (19/447)
[4] Ma’rifatul Qura (1/380)
[5] Tarikh Ibnu Atsir (10/561)
[6] Lisanul Mizan (4/243)
[7] Siyar A’lam an Nubala (19/445)
[8] Dzail Tabaqat al Hanabilah (1/322)
[9] Lisan al Mizan (4/243)
[10] Qaimah az Zaman ‘indal Ulama hal. 54
[11] Adz Dzail ‘ala Thabaqat al Hanabilah (1/145)
[12] Siyar A’lam Nubala (19/449-450)


Semoga bermanfaat 

Comments