Skip to main content

Masih Perlukah Formalisme Agama?

Masih Perlukah Formalisme Agama?

Oleh: Abdurrahman Wahid

Seorang pemikir dari India Ali Asghar Engineer menulis dalam bukunya yang berjudul Islam and The Modern State bahwa ide negara modern dalam pandangan Islam adalah negara sekuler. Pandangan seperti ini sudah tentu menimbulkan kejutan, terutama bagi mereka yang menginginkan kekuasaan agama dalam negara. Setidak-tidaknya mereka yang menginginkan adanya toleransi pihak sekuler dalam kehidupan bernegara, seperti Soekarno, Mohamad Yamin, dan sebagainya.

Bukankah Soekarno, Agus Salim, dan lainnya menerima UUD ’45 dengan penafsiran Islam? Bukankah ini berarti penghormatan terhadap pandangan para pemimpin Islam yang mewakili kepentingan agama tersebut dalam perjuangan kemerdekaan? Bukankah ini berarti bahwa UUD ’45 bukan pandangan sekuler dan bukan pula teokrasi dalam kehidupan bangsa kita?
Sebagai sebuah tahapan sejarah, dapat dimengerti bahwa para pemimpin yang merumuskan UUD ’45 mau memberikan interpretasi lisan yang sesuai dengan kehendak para pemimpin Islam. Tanpa melakukan hal itu, tidak akan tercapai penyelesaian dalam bentuk kehendak bersama. Kalau tidak dapat dicapai persetujuan, hal ini akan menguntungkan pihak penjajah. Inilah yang mendasari pemikiran mereka waktu itu. Dan, inilah yang namanya politik.

Para pemimpin Islam dininabobokan oleh penafsiran-penafsiran yang dipaksakan atas para pemimpin nasionalis. Dengan kata lain, para pemimpin nasionalis setuju dengan redaksi lisan yang dipaksakan oleh para pemimpin dari golongan Islam untuk mencapai persetujuan dan menghindari kemacetan. Berarti, apa yang dicapai itu hanyalah bersifat sementara dan mengikat bagi yang menyatakannya.

Generasi kemudian tidak lagi terikat dengan pernyataan mereka. Pak Harto yang tidak ikut terlibat secara aktif dalam perumusan Pancasila ternyata berpandangan bahwa Pancasila haruslah menjadi asas bagi organisasi-organisasi sosial politik. Bahkan, akhirnya menjadi keharusan bagi semua organisasi. Ini terjadi karena adanya semacam ketakutan kalau-kalau semuanya akan meninggalkan Pancasila karena hal ini termasuk jangkauan terjauh yang dapat dicapai. Kondisi mantapnya Pancasila inilah, yang ingin dicapai melalui upaya menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal.

Apa yang ditakutkan Pak Harto ini ternyata terjadi saat ini, ditandai dengan berlangsungnya demonstrasi yang dipimpin oleh Eggy Sujana di istana beberapa waktu lalu untuk menolak Pancasila sebagai asas tunggal bagi organisasi-organisasi Islam. Menjadi nyata bagi kita pentingnya pembahasan mengenai dasar negara ini karena besarnya perbedaan paham di antara kita sebagai warga Indonesia.

Sudah tentu perkembangan sejarah akan membawa kita pada berbagai kemungkinan. Sebagai negara kepulauan, perkembangan kita tentu akan berbeda dengan negara-negara di daratan Eropa. Kalau di Eropa pada umumnya banyak negara mengikuti sistem pemilu proporsional, sementara kita di sini, sebagaimana disampaikan oleh Mendagri Syarwan Hamid di hadapan anggota DPR, akan meniru Jepang dan Filipina, yaitu menggunakan sistem distrik, suatu sistem yang selama pemerintahan Orde Baru sangat dihindari. Mungkin juga ini bukan karena bentuk geografis negara kita, melainkan oleh perkembangan historis dan situasional. Amerika menggunakan sistem distrik walaupun negaranya kontinental. Tetapi, Amerika memiliki pengaruh luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Yang jelas, hal-hal seperti inilah yang kini menentukan masa depan kita dan sedang hangat dibicarakan pada saat tulisan ini dibuat. Dengan kata lain, baik hal-hal yang bersifat prinsipiil maupun taktis sama-sama memberikan pengaruh pada kita. Kita belum tahu lagi apakah kesudahan dari keadaan tumpang tindih ini.
Semua ini menunjukkan bahwa Indonesia tidaklah berada dalam suasana kosong ketika melakukan penafsiran-penafsiran atas keadaannya sendiri. Di satu pihak, ada dorongan untuk menggunakan nilai-nilai Islam yang abadi guna menegakkan negara tersebut dalam kehidupan modern saat ini. Kegagalan untuk melakukan hal tersebut dianggap sebagai kegagalan melakukan perjuangan Islam, seperti yang terjadi di hampir semua negara Islam sekarang.

Karena sekularisme sudah begitu merasuk dalam kehidupan kaum muslimin hingga ia dipakai di mana-mana walaupun dicoba untuk menutupinya. Sebaliknya hanya negara seperti Iran yang mau terbuka untuk menuntut negara Islam, sedangkan negeri-negeri yang lain tidak jelas apakah negara sekuler atau negara agama. Termasuk dalam daftar yang terakhir ini adalah Indonesia yang dinyatakan bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama.

Salah satu di antara negara yang terang-terangan  menerima sekularisme adalah Turki. Di negeri ini, pihak militer menjadi motor paham itu dan menjaga agar Turki tidak kehilangan watak sekularistiknya. Ketika Partai Keselamatan Nasional (Motherhood Salvation Party) memenangkan pemilu atas nama Islam, maka Nekhmatin Erbakhan sebagai pemimpinnya menjadi perdana menteri dan Tasu Gillar menjadi wakil perdana menteri.
Ternyata, tentara memiliki kecurigaan yang besar pada Erbakhan dan memaksanya berhenti dengan memilih Gillar sebagai PM yang kali ini didukung oleh Erbakhan. Dengan demikian, terjadi keseimbangan baru, yaitu pemerintahan tidak menggunakan sekularisme, tapi juga tidak menentang Islam. Keseimbangan baru itu merupakan kompromi yang hingga kini kita tidak tahu sampai kapan bisa dipertahankan.

Di Turki berkembang pula paham korlat yang tidak mempedulikan partainya Erbakhan, yaitu militaniisme yang timbul dari ajaran tarekat. Sebagai sesuatu yang militan, tarekat Naqsabandiyah lebih berkembang di bawah tanah dengan pimpinan dan kontak-kontaknya sendiri. Dengan demikian, kaum militer terpaksa berhadapan dengan tiga jenis gerakan Islam. Yang pertama dan kedua adalah gerakan Islam dari partainya Erbakhan yang menuntut diberi ruang gerak Islam secara formal dan tuntutan gerakan tarekat Naqsabandiyah yang bergerak di bawah tanah dan ketiga adalah kompromi antara nasionalisme ala Gillar dan gerakan Islam yang ada.
Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa diperlukan pemikiran jernih dan dalam mengenai strategi gerakan Islam di Indonesia dalam menghadapi tantangan modernisasi. Masihkah gerakan Islam di Indonesia diharuskan mengikuti ukuran-ukuran formal dari agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari? Dengan belajar dari berbagai tempat, khususnya Turki, mungkinkah kita melahirkan gerakan agama Islam yang berusaha menegakkan demokrasi dan menghargai hak-hak asasi manusia, kepentingan pribadi warga bangsa, kalau masih juga diikat dengan alat-alat lama?

Bukankah justru sebaliknya bahwa gerakan Islam harus menghindarkan formalisme dan memperjuangkan demokrasi dengan segala konsekuensinya. Kalau ini tidak dilakukan, bukankah salah satu hasil akan tercapai, kalau kita menghasilkan formalisme Islam yang mengekang demokrasi (seperti di Iran sekarang) atau menghasilkan demokrasi dengan meninggalkan Islam? 
Pertarungan inilah yang tampaknya masih akan mewarnai kehidupan bangsa kita dalam waktu-waktu mendatang.

Penulis adalah Ketua Dewan Syura PKB

Comments