ADA BERITA APA HARI INI, DEN SASTRO?
Karya: Sapardi Djoko Damono
/1/
Ada berita apa hari ini, Den Sastro? Siapa bertanya? Ada kursi goyang dan koran pagi, di samping kopi. Huruf, seperti biasanya, bertebaran di halaman-halaman di bawah matamu, kau kumpulkan dengan sabar, kausulap menjadi berita. Dingin pagi memungut berita demi berita, menyebarkannya di ruang duduk rumahmu dan meluap sampai ke jalan raya. Ada berita apa hari ini, Den Sastro? Kau masih bergoyang di kursimu antara tidur dan jaga, antara cerita yang menyusuri lorong-lorong otakmu dan berita yang kaukumpulkan dari huruf-huruf yang berserakan itu.
Sudah sejak lama cahaya pagi yang kaki-kakinya telanjang tidak pernah lagi menyapamu Selamat Pagi; ia hanya berjalan-jalan di depan rumahmu, tak dipahaminya timbunan huruf itu. Kausaksikan ia mengangguk kepada setiap orang yang lewat di muka jendela. Aneh, jendela bisa memandang ke luar dan ke dalam sekaligus. Kau tak pernah bisa memandang ke dalam dan hanya bisa melihat huruf-huruf yang susul-menyusul di koran pagi, yang harus kaubujuk terlebih dahulu agar menjadi berita.
Ada berita apa hari ini, Den Sastro? Suara itu lama tidak lagi terasa mengganggu, tidak lagi menimbang-nimbang apa yang seharusnya terjadi, tidak lagi meragukan apa yang telah menjadi berita, tidak lagi memaksamu kembali ke masa ketika kau suka mendengar gerincing uang logam dan seberkas kunci nenekmu.
/2/
Apakah kenangan bisa begitu saja meninggalkan tubuhku? Ada yang terasa nyeri ketika sesuatu kebetulan kautangkap dalam kenangan, pada suatu pagi yang jeritnya bagai ombak, ketika perempuan itu dulu bertanya padamu tentang segala yang telah kaulalui, tentang bekas-bekas jari tanganmu yang masih bisa terbaca di seluruh tubuhnya. Kau tidak ingat benar apa yang ditanyakannya, apa yang sebenarnya ingin ia dapatkan kembali dirimu. Ia toh sudah menjadi daun penanggalan yang tiap bulan kausobek dan kaucampakkan di tempat sampah.
READ MORE
Apakah kenangan bisa begitu saja meninggalkan tubuhku? Kau benar, ada yang selalu berada di sampingmu ketika kau berjalan sendirian malam-malam, dan tak seorang pun pernah melihatnya, kecuali dirimu sendiri. Dan tak seorang pun percaya kecuali katamu selalu berada di sampingmu itu. Kau memang tak pernah menanyakan siapa gerangan yang tak pernah melepaskanmu sendiri, waktu kau meninggalkan rumah yang jendelanya seharian menyiasatimu. Siapa gerangan?
Apakah kenangan yang selalu basah oleh hujan, yang warnanya seperti kelereng, yang terbang ketika angin turun - tak bisa meninggalkanmu? Apakah masih ada yang berhak berjalan di sampingmu? Setelah kelahiran, hidup.
/3/
Setelah begitu lama apakah masih ada yang bisa kautanyakan mengenai alun-alun yang penuh teriakan anak-anak, layang-layang yang sambar-menyambar di udara, dan bengawan itu? Mungkin kaubayangkan Sunan Kalijaga yang konon pernah membersihkan tubuh di sana, mungkin kaubayangkan rakit bambu yang dulu selalu membawamu ke seberang sana.
Setelah hidup? Kau menyorot sudut-sudut yang selama ini kaubiarkan tetap gelap dalam benakmu, yang selama ini memperkenalkanmu kepada cuaca buruk dan gerimis yang bulu-bulunya membersihkanmu. Kau juga membayangkan gang-gang buntu dan gapura yang tidak pernah ada penjaga, tapi yang tak pernah bisa kaubuka daunnya. Setelah kelahiran, hidup. Dan yang selalu bersamamu ketika kau berjalan sendirian.
/4/
Di tengah-tengah berita yang kaureka-reka dari huruf-huruf yang berserakan itu kaudengar ada yang memetik sitar. Dan kau tak pernah mau menerka-nerka, dan kau tak bosan-bosannya mengatakan, Aku tak pernah terlibat dalam musik, dalam bisik-bisik, dalam diam yang tak pernah berhenti mengusik. Tapi siapa yang memainkannya kalau bukan kau atau yang tak juga bisa meninggalkanmu itu? Angin yang bergeser dari musim ke musim, dari cuaca ke cuaca, tak pernah lupa meletakkan daun tua di tebing sungai. Aku tak pernah mengenal sungai yang di tebingnya terletak daun tua itu. Tapi siapa pula yang bertanya tentang hal itu? Tampak angin selalu menyibak rambutmu terlebih dahulu sebelum meletakkan daun tua itu di sana.
/5/
Di jalan depan rumahmu orang-orang lalu-lalang, sendirian atau berpasangan, bergegas atau melenggang; mereka sedang menciptakan segala sesuatu yang kini sudah menjadi karat di urat-urat darahmu. Mereka pura-pura tak mengenalmu, mereka khawatir pada suatu hari nanti akan duduk di kursi goyang, mengumpulkan huruf-huruf agar merasa masih ada di tengah-tengah dunia yang berserakkan di halaman koran pagi. Kau ingin mereka menyapamu, Selamat pagi, Den Sastro. Tetapi hanya terdengar mereka bergumam sendirian atau seperti sibuk bercakap-cakap tentang cuaca.
Kenapa jendela bisa memandang orang-orang yang lalu-lalang dan sekaligus bisa juga memandangku? Kau hanya bisa melakukan perjalanan ulang-alik antara lembaran koran pagi dan teriakan anak-anak yang bermain layang-layang di alun-alun itu. Kau tak bisa berada di kedua tempat itu sekaligus. Kau terkepung huruf dan tak bisa mendengarkan suara-suara itu. Apa gerangan makna yel, api, sidang, dan rapat itu bagiku?
/6/
Kursi itu bergoyang, ke sana ke mari. Kau tampak tak peduli meskipun sayang padanya. Ia belum pernah berbicara denganmu, belum pernah menanyakan kenapa ini terjadi kenapa itu tidak juga pernah terjadi di ruangan itu. Ia juga tidak pernah memasalahkan dunia yang semakin terjepit di antara huruf-huruf koran pagi itu, yang kadang terbakar di bawah matamu. Kau pun hanya menyandarkan tubuhmu dan sedikit menggoyangnya, selebihnya suara-suara kereot yang setia mendengarkanmu berbicara sendiri, yang setia menyaksikanmu diam-diam keluar dari jendela yang bisa sekaligus memandang ke luar dan ke dalam itu.
Norman, remaja 16 tahun itu, tewas akibat dua luka tusukan senjata yang menghunjam di bagian pinggang belakang dan sampingnya, dari salah seorang pengeroyoknya. Dokter menduga tusukan itu mengenai organ tubuh penting. Nyawa remaja yang... Kau pun memproses larik-larik itu agar menjelma rangkaian manik-manik yang ketika kau remaja sering kaulihat melingkar di leher perempuan itu. Tewas, senjata, menghunjam, dokter adalah manik-manik itu, yang jika dikenakan seorang perempuan, misalnya ibu Norman, akan berubah menjadi ombak laut yang tak habis-habisnya menampar pantai yang tak lagi ditumbuhi bakau itu. Ke mana lagi bersarang burung-burung itu? Seperti kaudengar tuduhan koran pagi itu.
Tapi kau dikutuk untuk hanya bisa menyaksikan yang di seberang jendela, dunia asing yang ditawarkan serakan huruf di koran pagi, yang bergoyang bersamamu di atas kursi. Kau tak berhak menyaksikan apa yang seharusnya tidak terjadi, apa yang - menurut perkiraanmu - hanya bisa bergerak di halaman-halaman cerita yang kadang-kadang kaubaca ketika hari menjelang magrib, yakni ketika kursi masih bergoyang bersamamu. Mungkin memang sudah waktunya kau bergoyang antara berita dan cerita, semesta yang disusun dengan huruf-huruf yang itu juga. Mungkin memang sudah waktunya kau tidak boleh lagi merisaukan apa bedanya. Norman tewas saat berjoget dangdut. Anak-anak yang main bola di alun-alun itu mendadak bubar ketika tampak ada layang-layang putus. Adegan memilukan antara ibu dan anak itu terjadi di Ruang Gawat Darurat.
/7/
Seorang anak berteriak-teriak, memetik kembang sepatu di luar pagar rumahmu, menendang-nendang kerikil ke arah selokan. Jendela yang bisa melihat ke luar tampak bahagia karenanya. Si anak, kembang sepatu, kerikil, dan selokan menggoda abang sayur yang menikmati tawar-menawar dengan ibu-ibu muda. Jendela yang setiap pagi kaubuka pelupuknya itu suka menjadi gemas, tapi segera diredakan cahaya pagi.
Beberapa laki-laki dan perempuan bergerombol di pertigaan menunggu bis jemputan. Kauharapkan suara mereka menjelma huruf-huruf yang baru saja kauatur di halaman koran pagi. Jendela suka merindukan mereka jika malam tiba dan kaututup sepasang pelupuknya. Tapi ia tidak pernah bermimpi. Ia hanya rindu sebab memang mencintai semua itu, meskipun mereka menoleh pun tidak padanya, juga padamu.
Ada berita apa hari ini, Den Sastro? Sudah berserakan lagi huruf-huruf yang bersikeras tidak mau kembali ke suara itu, yang tidak mau menyatu dengan teriakan, gurauan, dan percakapan itu. Yang tidak bisa lagi dicongkel dari halaman koran pagi. Kau membujuknya satu demi satu agar bisa kaupahami kehendaknya, agar bisa kaupahami amanatnya, agar bisa kauhayati yel-yel, debat dalam rapat, suara senapan - yang tidak mungkin kembali ke rangkaian bunyi karena sudah terlanjur terkubur dalam timbunan huruf di koran pagi.
/8/
Ketika anak-anak sudah lewat, ketika tukang sayur sudah pergi, ketika bis jemputan sudah berlalu, kau membetulkan letak kacamatamu dan mencoba menatap bingkai jendela kamarmu. Ia menatapmu kembali dan mengembalikanmu pada semua kamar yang murah sudah penuh terisi pasien, kata ibu anak itu di kamar mayat.
Kau tak pernah mau menyadari bahwa yang tak pernah kaudengar bisa membatu dalam huruf. Bahwa yang tidak terjangkau inderamu bisa membusuk dalam berita, bahwa akhirnya semua itu hanya merupakan deretan huruf panjang yang tidak mungkin tertangkap dalam buku-buku tebal yang sering berserakkan di kamar tidurmu.
Pagi ini, yang kebetulan adalah ulang tahunmu, kau ingin sekali berjalan seperti kaki-kaki cahaya yang telanjang dan bergerak dari bunga ke daun lalu tergelincir di jalan. Tidak ada yang mengingatnya lagi, tidak ada yang memberimu ucapan selamat dan menyanyikan Panjang umurnya, panjang umurnya; kau pun tidak. Yang masih sisa adalah suara bakiak almarhum nenekmu yang gerincing seikat kunci lemarinya menandakan bahwa ia masih akan menyanyikan buatmu, Paman yang memandikan kuda... yang masih suka kaurindukan meskipun waktu itu kau tak membayangkan wajah Bawang Putih yang tersirap ketika ditatap sang pangeran.
Pernahkah kau ingin menyusup ke dalam dongeng dan berperan sebagai pangeran? Pernahkah kau tahu bahwa ketika mendongeng, nenekmu membayangkanmu sebagai pangeran? Pagi ini bisa saja tidak ada berita, bisa saja tidak ada yang bisa dengan hati-hati dicongkel dari karang huruf itu. Padahal ada yang ingin kautanyakan kepada nenekmu yang sudah meninggal itu. Ini dongeng, Nek?
/9/
Tiba-tiba suara ribut di benakmu. Sejumlah orang memestakan hari pensiunmu, mengucapkan selamat kepadamu. Minuman, makanan, nyanyian - seolah-olah selesailah sudah tugasmu. Seolah-olah sekarang inilah saatnya kaupadamkan inderamu. Mereka pasti tidak membayangkan bahwa mendadak semerbak, dan tidak akan bisa kautolak, bau wangi ketika kau pertama kali mencium perempuan itu di dalam becak, ketika malam-malam mengantarkannya pulang; ketika memeluknya di ruang kuliah yang kosong; ketika untuk pertama kalinya kaudengar jeritnya di hotel murahan itu. Raden Panji, akulah sarung bagi keris yang gemetar di tangan itu. Kau bukan pangeran yang dipaksa mencintai perempuan dengan sebilah keris, bukan pangeran yang kemudian tertelungkup di hadapan Angreni. Perempuan itu menjelma mawar. Dan mawar di halaman depan rumahmu disentuh kaki-kaki matahari ketika kau bangkit dari kursi goyang.
Kursi itu tetap saja bergoyang ketika kau bangkit mendekat ke jendela; ia tetap saja bergoyang ketika kau membuka pintu untuk keluar ke dunia yang tak pernah memercik di halaman koran. Kau berdiri di ambangnya. Kursi itu tetap saja bergoyang-goyang; kursi itu melihatmu bergoyang-goyang. Mati: tidur; tidur: mungkin bermimpi. Kau pun membayangkan dirimu pangeran yang lain dari yang dulu dibayangkan nenekmu tentangmu.
***
Catatan :
Saya ambil puisi ini dari sebuah portal dan bandingkan isinya dengan buku puisi “Melipat Jarak”, dan isinya sama persis.
Kita bisa belajar banyak dari puisi ini. Mungkin malah bisa merubah cara pandang kita selama ini, bagaimana sebuah puisi dituliskan.
Puisi ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2009, yang diterbitkan kembali pada tahun 2015 bersama 75 puisi pilihan karya Sapardi Djoko Damono dari buku-buku puisi yang terbit antara 1998 - 2015 pada buku antologi puisi “Melipat Jarak”.
Cara ucap dan daya ungkap puisi Sapardi berubah dari waktu ke waktu. Gaya dalam buku “Dukamu Abadi” yang diterbitkan pada tahun 1969 sudah sangat berbeda dengan buku-buku puisi selanjutnya, sampai pada buku puisinya yang terakhir “Mboel”, yang diterbitkan pada bulan Agustus 2020, sebulan setelah beliau wafat.
Meski, tentu saja masih ada sisa-sisa kesamaan gaya. Begitulah penyair yang baik, ia tidak akan berhenti pada satu gaya tertentu. Tidak akan dan tidak ingin terjebak dalam apa yang Sapardi sebut sebagai “mannerism”, meniru dan mengulang-ulang gaya sendiri.
- Mahesa Jenar