Perjuangan kita meningkatkan minat baca bangsa belum selesai

Perjuangan kita meningkatkan minat baca bangsa belum selesai



Bambang Prakuso Alfateta

Direktur dan Pelatih Utama di Alfateta Indonesia Mind power Academy

Jurusan Jurnalistik di Sekolah Tinggi Publisistik

Trainer, motivator, konsultan, penulis 36 buku, penyusun 75 modul Revolusi Mental.




Demi mewujudkan Indonesian Dream (Terciptanya masyarakat yang cerdas mandiri sejahtera dan berakhlak) kita harus berani mengkritisi pemerintah. Saat ini pemerintah diuntungkan dengan tidak adanya orang yang kritis berdasarkan data karena bangsa kita malas baca, yang banyak adalah masyarakat asal kritis tanpa data. Jadi dengan mudah mereka diserang balik.

Saya pernah mengutip ucapan Einstein yang mengatakan orang yang melakukan tindakan itu-itu saja tapi ingin hasil berbeda, adalah orang gak waras. Saya g bilang pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud tidak waras, tapi kok pemerintah kita mirip yg dikatakan Einstein. Bedanya kurikulum gonta ganti, tapi mutu pendidikan kita bukannya naik malah jeblok terus, kecepatan membaca semuanya jeblok.

Seorang anggota DPR juga mengutip kata "tidak Waras" dari Einstein yang ditujukan ke Pak Nadiem Makarim dalam acara dengar pendapat dengan Kementerian Pendidikan..

*Pemerintah Belum Tentu Benar*
Hati-hati dengan pemerintah, mereka tidak selamanya benar. Saya nggak ingin mengkritik Kementerian lain tapi, khusus Kementerian Pendidikan dan Perpustakaan Nasional. 
Mengapa walaupun kita negara pemilik perpustakaan terbanyak nomor 2 di dunia setelah India dan pemilik anggaran sangat besar 20% untuk pendidikan, kita tidak pernah mampu untuk meningkatkan minat baca kecepatan membaca dan skor PISA atau mutu pendidikan kita? Ada apa dengan Kementerian Pendidikan kita? Sementara Perpustakaan Nasional sibuk berteriak buku dan Perpustakaan masih kurang😆🤣

*Haruskah Kita Kerasi Pemerintah?*
Pengalaman memang menunjukkan kalau kita bicara lembut dan damai, pemerintah tidak akan peduli. Coba lihat siapa yang berada di DPR sana dan yang dibagi bagi jabatan, adalah mereka yang dulunya kritis dan keras bahkan demonstran. Dipakai oleh BNPT? Para teroris. Jadi kl kita yakin benar, kita ya harus fight. That is motivator, bukan pengekor atau provokator.

Tindakan pemerintah merekrut mereka yang kritis, berani, kreatif tidak salah. Makanya perlu diketahui bahwa mereka yang telah direkrut pemerintah biasanya mulutnya langsung terkunci. Mereka tidak kritis lagi. Ini juga wajar karena seorang yang masuk lingkungan penerintah akan terpenjara pikirannya. Sistem di sana sudah terbentuk puluhan tahun, sudah berurat, berakar, dan berkarat. Mau tidak mau ya kita ikut sistem. Berada dalam zona nyaman, ewuh pakewuh, dan mengikuti instruksi top and down.

*Jangan Bungkam Kami*
Saat ini kami sangat kritis dengan Kementerian Pendidikan, seandainya kami di akomodasi dan bekerja di sana, belum tentu juga kami bisa bersuara lantang lagi. Bukan karena kami dapat jabatan, tapi memang sistemnya yang membuat pikiran kami terpenjara. Anda pun begitu, Anda mungkin demo minta dibaikkan gaji. Tapi ketika Anda jadi HRD, mungkin anda orang pertama yang tidak setuju gaji dinaikkan. Kreativitas anda mandeg.

Apakah bersuara keras terhadap pemerintah efektif? Pengalaman kami selama puluhan tahun menunjukkan surat-surat kami, himbauan kami kepada pemerintah tidak ada yang ditanggapi, justru ditanggapi kalau kita bersuara lantang dan keras. Yang penting by data.
Kalau soal kritis dan lantang dari dulu sejak zaman Pak Harto saya pribadi sudah begini. Tidak berarti kalau kita mendukung seorang presiden kemudian apapun yang dia katakan kita akan setuju.

Di zaman Pak Harto saya hampir masuk penjara Guntur, gara-gara saya pernah membuat tulisan di Koran Jayakarta yang membuat saya dicari oleh aparat Kodim. Tapi untungnya saya pakai nama samaran. Untunglah di pers berlaku sistem Waterfall, pertanggungjawaban air terjun, sehingga Kodim tidak bisa langsung memanggil saya tapi pemimpin redaksi yang mengundang saya. Mereka membujuk saya untuk berdamai dan membuat surat permintaan maaf. Ya saya terpaksa membuat permintaan maaf, daripada benjol2..

*Kementerian Pendidikan..hmmm.*
Saya memang pemerhati bidang pendidikan khususnya literasi jadi ya yang saya kritisi adalah kementerian pendidikan. Saya berada di luar sistem, jadi masih waras mengkritisi🤣🤣
Saya tahu betul karakter Kementerian ini sejak zaman Pak Harto sampai sekarang. Mereka akan sulit berubah karena memang karakter dari ASN kita adalah zona nyaman. Mereka tidak mau berpikir keras, tidak mau melawan arus, dan mereka tidak bisa kreatif, karena sistemnya adalah up to down. Beda dengan kita rakyat swasta ini. Kita tidak peduli dengan sistem yang ada di pemerintah. Kita orang luar pemerintah bisa melihat kekurangan pemerintah yang orang pemerintah tidak bisa melihat kesalahan itu.

Saya menyurati pribadi Kementerian pendidikan 7 kali, minta audiensi untuk memberi masukan cara meningkatkan minat baca. Mereka tolak dengan alasan yang gak nyambung. Minta audiensi tapi jawabannya "Kami tidak punya waktu untuk mengikuti pelatihan saudara." Perhatikan keinginan kami apa dijawab apa. Saking jengkelnya, saya pernah menyurati Pak Jokowi. Sekneg menjawab surat bahwa surat saya di disposisi ke kementerian pendidikan. Waktu itu menterinya Pak Anies Baswedan. Lalu saya datang dong. Hasilnya sangat mengecewakan, karena surat saya dinyatakan hilang. Sampai saya harus adu mulut dengan staf administrasi mereka. Didamaikan oleh pimpinan mereka dan dijanjikan saya akan dipanggil habis sampai sekarang tidak pernah dipanggil. Pernah surat saya didisposi menteri pendidikan ke Pusat Bahasa, tapi pusat bahasa menolak saya, alasannya surat saya salah alamat. Lucu ya yg disposisi kementerian mereka bilang salah alamat. Adi yg g waras siapa? Ini parah ini hahaha.

*Larangan Buku OSIS oleh Kemendikbud*
Perjuangan saya di bidang literasi sudah terjadi sejak saya mahasiswa. Dan yg saya hadspi ya Kementerian Pendidikan ini. Ketika kuliah, tahun 1985 saya ingin menulis pengalaman saya sebagai pengurus OSIS. Karena data saya sangat sedikit, saya meminta surat dari kampus untuk mewawancarai Kementerian Pendidikan. Saya didisposisi ke Kepala Dikdasmen Pak Soekarno namanya,. Saya mewawancarai beliau, dan saya mendapatkan begitu banyak data. Kemudian berdasarkan data itu saya tulis buku judulnya *Pedoman Pengurus OSIS* Setelah beredar di toko buku, Kementerian Pendidikan kebakaran jenggot, minta buku saya ditarik dari semua sekolah. penerbit menarik semua buku saya dari peredaran. 

Kementerian Pendidikan akan menuntut saya dengan tuduhan:

1. Menggunakan kata Pedoman Pengurus OSIS. Kata pedoman menurut mereka hanya boleh dikeluarkan oleh kementerian pendidikan. Sanggahan saya, apakah judul Pedoman Beternak Itik harus dikeluarkan Kementerian Pertanian? 

2. Saya melanggar UU Hak Cipta, karena cover buku saya pakai gambar logo OSIS. Cover dibuat oleh penerbit bukan oleh saya. Tapi Kemendikbud mungkin gak baca UU Hak Cipta, lambang yang dibuat oleh negara itu sudah menjadi hal umum, boleh, bebas digunakan masyarakat. 

3. Yang sangat parah adalah tuduhan bahwa saya membocorkan rahasia negara. Saya nggak tahu rahasia negara mana yang saya bocorkan. Padahal semua data saya ambil dari sekolah saya waktu di Medan dan dari Dirjen Dikdasmen. Kementerian Pendidikan sendiri waktu saya tanyakan rahasia Negara mana yang saya bocorkan Kementerian Pendidikan hanya menjawab itu nanti anda jawab di pengadilan.

Saya tunggu realisasi penuntutan itu, tapi gak kunjung dituntut. Sampai setahun kemudian saya dapat kabar gembira dari penerbit, buku saya dipesan 5.000 eksemplar oleh Direktorat pengadaan buku dan disebarkan ke seluruh sekolah di Indonesia. Oh rupanya kementerian pendidikan sudah sadar saya pikir.
Belum sebulan, tiba2 penerbit menghubungi saya lagi order 5000 buku saya dibatalkan kementerian pendidikan dan dilarang beredar di sekolah2. Menurut saya inilah kesombongan birokrasi. Sejarah panjang saya berhubungan dengan kementerian ini. Mereka tidak memberi solusi, cuma perintahkan tarik buku dari peredaran dan g ada koordinasi.
Jika saya agak keras mengkritisi Kementerian Pendidikan karena kebijakan kementerian pendidikan ini memang programnya biasa-biasa saja tapi berharap hasil beda. Bukannya mutu pendidikan kita membaik malah terus jeblok. Akhirnya masa depan bangsa jadi taruhan. Pemerintah gagal meningkatkan mutu pendidikan kita. Kita nomor 60 dan 61 negara paling malas baca, malas belajar, dan niat belajarnya juga rendah. Kita g malu menjadi negara yang mutu pendidikannya terendah di Asean.

*Tak Peduli Minat Baca Rendah*
Tidak ada kebijakan luar biasa dari Kementerian Pendidikan. 7 kali saya minta audiensi untuk adu program meningkatkan minat baca, tapi selalu dicurigai minta proyek atau katebelece. Itulah mindset ASN. Saya punya formula meningkatkan minat baca kita, tapi dianggap sampah. Bagaimana mungkin kita bisa meningkatkan mutu pendidikan kita, bila kita g ada apa2nya di mata dunia. Bayangkan kecepatan baca bangsa kita cuma rata2 200 kpm. Sementara Amerika sudah 25.000 kpm dan China sudah 100.000 kpm. Dengan Thailand saja kita tersungkur. Thailand yang dulu negara Nomor 59 paling malas baca di dunia, sekarang mereka sudah bisa membaca 5 buku setahun, kita 1 pun tidak. Thailand minat bacanya naik 65% sementara kita masih 0,001%.
Mengapa semua itu terjadi? Menurut saya ini adalah kesombongan birokrasi Kementerian Pendidikan. Mungkin mereka merasa kumpulan profesor dan doktor, jadi mereka pikir masukkan rakyat jelata sepeeti kita adalah sampah.

*Pikiran Nadiem Terpenjara*
Gagasan Pak Jokowi menjadikan Pak Nadiem Makarim sebagai Menteri menurut saya adalah jenius. Beliau berpikir saatnya pendidikan kita menggunakan digitalisasi. Tapi ya seperti saya bilang sehebat-hebatnya tupai melompat kalah dengan sistem zona nyaman birokrasi. Memasukkan ide Nadiem ke birokrasi tidak gampang. Dia kan banyak dimusuhi, bukan saja oleh pejabat di lingkungan Kementerian Pendidikan tapi juga DPR. Pak Jokowi juga lupa bahwa seseorang yang sudah masuk dalam sistem birokrasi, kreativitasnya bisa mandek dan terpenjara. 
Nggak usah di pemerintahan, di swasta juga begitu. Saya pernah diminta memperbaiki tampilan sebuah majalah yang gak laku..Saya jadi redaktur pelaksana. Tampilan majalah dan manajemen saya perbaiki. Saya dipuji atasan, tapi satu kantor memusuhi saya🤣. . Saya memilih keluar, majalahnya juga ikut bubar. Sama dengan Nadiem, bukan saja dimusuhi oleh internal kementerian pendidikan, tapi juga eksternal, termasuk kena semprot anggota DPR karena program-programnya dianggap aneh.

*Sebenarnya Kita Bisa*
Sebenarnya kalau Nadiem mau mendengarkan suara rakyat, tidak melalui dirjennya yg mentalnya birokrat, kita dalam waktu kurang dari 2 tahun bisa meningkatkan minat baca, dan skor PISA serta meningkatkan mutu pendidikan kita. Singapura dan Thailand saja bisa, masak kita nggak bisa. Namun karena Nadiem berenang di lautan anggaran yang besar, dia lupa ada hal yang sederhana dan tak perlu dana besar, untuk meningkatkan mutu pendidikan, minat baca dan skor PISA kita.
Kami sudah lama mengingatkan Kementerian Pendidikan, kita bisa meningkatkan minat baca dengan cepat, mudah dan murah. Tapi gimana, mereka dengarkan saja gak mau.
Jadi apakah pemerintah mau mendengarkan kita, kalau kita meledakkan bom di got kantor Kementerian Pendidikan? Pasti viral. Dasar manusia.

Sumber: FB
Bambang Prakuso Alfateta ▶ ‎Pustaka Bergerak Indonesia

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post