Muhammadiyah-NU Sepakat Elite Politik Harus Jauhi Sentimen Keagamaan pada Pemilu 2024
Dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sepakat mendesak elite politik untuk tidak lagi mengulang eksploitasi identitas, terutama sentimen keagamaan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Kedua ormas itu sama-sama mengungkit efek serius dari pemakaian sentimen identitas pada Pemilu 2019 terhadap pembelahan di masyarakat.
Hal ini menjadi pokok perbincangan dalam pertemuan masing-masing ormas dengan jajaran komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dua hari belakangan.
KPU RI lebih dulu menyambangi kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah pada Selasa (3/1/2023), sebelum sowan ke kantor Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) pada Rabu (4/1/2023).
Muhammadiyah: harganya terlalu mahal
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan pesan dan harapan agar Pemilu 2024 tidak hanya berlangsung dengan asas luber dan jurdil, tetapi juga membawa kegembiraan dalam suasana yang aman, nyaman, dan berkualitas.
Sikap anti terhadap upaya-upaya polarisasi politik ini telah menjadi sikap Muhammadiyah yang juga ditetapkan dalam Muktamar ke-48 mereka di Solo tahun lalu.
"Pastikan pemilu itu juga tak lagi menciptakan kondisi untuk pembelahan bangsa. Termasuk, imbauan kami kepada seluruh para elite di negeri tercinta karena elite adalah teladan bangsa," ujar Haedar dalam jumpa pers, Selasa.
"Pembelahan politik itu sudah harus jadi masa lampau, tidak boleh terulang lagi, karena harganya terlalu mahal," katanya lagi.
Haedar lantas mengharapkan penyelenggaraan pemilu tidak menyebabkan masyarakat saling bersitegang dan harus berhadap-hadapan satu sama lain karena beda pilihan politik.
Menurut Haedar, pemilu harus menjadi kontestasi yang tetap bernuansa kekeluargaan, dengan tetap memastikan penyelenggaraannya berkualitas dari proses hingga hasilnya.
Sementara Elite-elite politik yang berkontestasi diharapkan tidak gelap mata atas posisi yang diperebutkan.
"Siapa pun nanti yang menang dan menduduki posisi pemerintahan maupun legislatif, itu amanah terbesar dan terberat, bukan sesuatu yang harus dirayakan dengan pesta pora, tapi tanggung jawab luhur yang berat," ujar Haedar
"Begitu juga yang tidak memperoleh kekuasaan atau posisi kursi juga rendah hati dan legawa untuk tetap berkhidmat bagi bangsa dan negara. Jika itu terlaksana tentu akan jadi hal yang kondusif," katanya lagi.
Secara spesifik, Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf meminta agar larangan kampanye di rumah ibadah dipertegas.
Ia berharap, pada Pemilu 2024, tidak ada lagi elite politik yang mengeksploitasi sentimen keagamaan sebagai alat untuk meraup simpati dan suara.
"Peraturan larangan untuk kampanye di tempat ibadah itu sekarang masih ada? Masih ada. Parameter kampanye di tempat ibadah itu seperti apa, saya kira mungkin perlu lebih dipertegas," kata Yahya dalam jumpa pers selepas menerima kunjungan komisioner KPU RI, Rabu (4/1/2023).
"Itu (pemakaian rumah ibadah untuk kampanye) berbahaya sekali," ujarnya lagi.
Larangan kampanye di rumah ibadah memang sudah termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Namun demikian, UU Pemilu tidak mengatur lebih rinci soal larangan itu.
Sementara itu, di sisi lain, kampanye secara resmi baru akan dimulai pada 28 November 2023.
Segala bentuk aktivitas yang melibatkan politikus hingga hari itu tidak dapat dipandang sebagai aktivitas kampanye, kendati beberapa politikus sudah memulai safari politiknya sejak saat ini, termasuk ke masjid.
"Sekali lagi, tolong jangan, jangan dilakukan. Tolong jangan dilakukan," kata Yahya.
"Kita ini sudah melihat akibat-akibat dari politik identitas yang luar biasa merusak di berbagai masyarakat, berbagai negara yang ada, sekarang mari kita jangan ikut-ikutan ingin menang. Ingin menang, tapi jangan pakai cara itu, teman-teman," ujarnya lagi.
Comments