𝗔𝗡𝗧𝗔𝗥𝗔 𝗧𝗔𝗪𝗔𝗞𝗔𝗟 𝗗𝗔𝗡 𝗜𝗞𝗛𝗧𝗜𝗔𝗥

𝗔𝗡𝗧𝗔𝗥𝗔 𝗧𝗔𝗪𝗔𝗞𝗔𝗟 𝗗𝗔𝗡 𝗜𝗞𝗛𝗧𝗜𝗔𝗥


Mohon izin untuk bertanya hadits berikut ini kiyai:


“𝘈𝘯𝘥𝘢𝘪 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘢𝘸𝘢𝘬𝘬𝘢𝘭 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳-𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘵𝘢𝘸𝘢𝘬𝘬𝘢𝘭 𝘯𝘪𝘴𝘤𝘢𝘺𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘳𝘪𝘻𝘬𝘪 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘋𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘳𝘪𝘻𝘬𝘪 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘣𝘶𝘳𝘶𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘬𝘦𝘢𝘥𝘢𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘱𝘢𝘳 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘱𝘶𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘬𝘦𝘢𝘥𝘢𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘯𝘺𝘢𝘯𝘨.” (HR. Ahmad)


Apakah hadits di atas benar ? Dan jika benar apakah maksud sebenarnya dari hadist tersebut ? Karena digunakan oleh sebagian saudara muslim untuk focus ibadah tapi minim ikhtiar, ana berfkir seperti ada yang kurang tepat. Mohon penjelasan dari ustadz.


𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Hadits yang ditanyakan di atas dinyatakan shahih oleh para ulama hadits, disebutkan dalam beberapa kitab yakni Musnad imam Ahmad (1/438) dan Ibnu Majah (2/1394), al Mustadrak ‘ala shahihain (4/354) :


لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا


“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada seekor burung, yang keluar pada pagi hari dalam keadaan lapar lalu sore harinya pulang dalam keadaan kenyang.”


Jika dengan membaca hadits diatas kemudian menyebabkan seseorang malas bekerja, atau menafikan usaha, sungguh dia telah salah paham yang fatal. Karena konsep tawakal dalam Islam sama sekali tidak bertentangan dengan usaha.


𝗣𝗲𝗻𝗴𝗲𝗿𝘁𝗶𝗮𝗻 𝘁𝗮𝘄𝗮𝗸𝗮𝗹

Tawakal secara bahasa artinya menunjukkan ketidak berdayaan serta bersandar pada orang lain. Sedangkan tawakal kepada Allah bermakna menyerahkan urusan kepadaNya dan percaya kepada keputusanNya.[1]


Sedangkan secara istilah, al Imam Ghazali rahimahullah menjelaskan tawakal adalah menyerahkan dan menyandarkan diri kepada Allah setelah melakukan usaha dengan mengharap pertolongan.[2]


Imam Ibnu Rajab al Hanbali berkata : “Tawakal yang hakiki adalah penyandaran hati yang sebenarnya kepada Allah dalam meraih berbagai kebaikan dan menghindari semua bahaya, dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepadanya dan benar-benar meyakini bahwa tidak ada yang dapat memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya serta memberikan manfaat kecuali Allah.”[3]


𝗛𝘂𝗯𝘂𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗮𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝘁𝗮𝘄𝗮𝗸𝗮𝗹 𝗱𝗮𝗻 𝘂𝘀𝗮𝗵𝗮

Tidak ada pertentangan antara perintah untuk bertawakal, yakni menyerahkan urusan hanya kepada Allah dengan berusaha yang juga diperintahkan dalam agama.


Justru mempertentangkan keduanya semisal dengan ketidak mau melakukan usaha dengan dalih tawakal, akan menyebabkan rusaknya tawakal itu sendiri. Al Imam Ghazali berkata : “Tawakal dalam Islam bukan suatu pelarian bagi orang–orang yang tidak mau berusaha atau gagal usahanya, tetapi tawakal itu ialah tempat kembalinya segala usaha. Tawakal bukan menanti nasib sambil berpangku tangan, tetapi berusaha sekuat tenaga dan setelah itu baru berserah diri kepada Allah. Allah lah yang nanti akan menentukan hasilnya.[4]


Sahl At Tusturi rahimahullah mengatakan, ”Barangsiapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan). Barangsiapa mencela tawakkal (tidak mau bersandar pada Allah) maka dia telah meninggalkan keimanan.”[5]


𝗣𝗲𝗻𝗷𝗲𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗛𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀

Tentang makna dan maksud hadits diatas, telah dijelaskan oleh para ulama. Diantarannya adalah apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah : “Hadis ini tidak menunjukan bolehnya berpangku tangan tanpa berusaha. Bahkan padanya terdapat perintah mencari rezeki. Karena burung tatkala keluar dari sarangnya di pagi hari demi mencari rezeki.”[6]

Beliau juga pernah ditanya tentang seseorang yang duduk saja di rumahnya dan di masjid seraya tidak bekerja karena yakin akan datangnya rezeki, maka beliau berkata : “Orang seperti itu benar-benar bodoh... burung saja bekerja dengan berangkat dari sarangnya pada pagi hari. Para sahabat Nabi yang mulia pun ada yang berdagang dan ada yang bekerja dengan menanam kurma, merekalah sebaik-baik teladan.”[7]


As Suyuthi rahimahullah berkata, “Al Baihaqi mengatakan dalam Syu’ab Al-Iman, “Hadits ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan melakukan usaha untuk memperoleh rezeki. Bahkan hadits ini merupakan dalil yang memerintahkan untuk mencari rezeki karena burung tersebut pergi pada pagi hari untuk mencari rezeki.”[8]


Al Munawi mengatakan, ”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala.

Hal ini menunjukkan bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan usaha. Tawakkal haruslah dengan melakukan berbagai usaha yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rizki dengan usaha. Sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rizki.[9]


Al imam Ibnu Hajar al‘Asqalani mengatakan, “Namun hal ini bukan berarti seseorang boleh meninggalkan usaha dan bersandar pada apa yang diperoleh makhluk lainnya. Meninggalkan usaha sangat bertentangan dengan tawakkal itu sendiri.”[10]


𝗣𝗲𝗻𝘂𝘁𝘂𝗽

Kesimpulannya jika ada orang yang malas berusaha dengan dalih tawakal, dia telah melakukan dua kesalahan sekaligus. Yang pertama memelihara penyakit malas, yang kedua membungkus malasnya itu dengan pembenaran dalil yang ia pelintir.

Kalau mau malas ya malas aja, nggak usah bawa-bawa dalil yang dipelintir sebagai pembenaran untuk kemalasannya.

📜Wallahu a’lam.

[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (14/185).
[2] Ihya al Ulumuddin (2/65).
[3] Jami’ul ‘ulumi wal Hikam (2/497).
[4] Ihya al Ulumuddin (2/65).
[5] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 517.
[6] Tuhfatul Ahwadzi (7/7).
[7] Fath al Bari (11/306).
[8] Dalil al Falihin (1/335).
[9] Tuhfatul Ahwadzi (7/7).
[10] Fath al Bari (11/305).

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Next

نموذج الاتصال