𝗗𝗔𝗟𝗜𝗟 𝗕𝗔𝗧𝗔𝗟𝗡𝗬𝗔 𝗪𝗨𝗗𝗛𝗨 𝗦𝗘𝗕𝗔𝗕 𝗦𝗘𝗡𝗧𝗨𝗛𝗔𝗡 𝗟𝗔𝗪𝗔𝗡 𝗝𝗘𝗡𝗜𝗦

𝗗𝗔𝗟𝗜𝗟 𝗕𝗔𝗧𝗔𝗟𝗡𝗬𝗔 𝗪𝗨𝗗𝗛𝗨 𝗦𝗘𝗕𝗔𝗕 𝗦𝗘𝗡𝗧𝗨𝗛𝗔𝗡 𝗟𝗔𝗪𝗔𝗡 𝗝𝗘𝗡𝗜𝗦


𝘋𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘮𝘢𝘥𝘻𝘩𝘢𝘣 𝘴𝘺𝘢𝘧𝘪’𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘦𝘯𝘵𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘢𝘮𝘪 𝘪𝘴𝘵𝘳𝘪 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘵𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯 𝘸𝘶𝘥𝘩𝘶. 𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘢𝘥𝘢 𝘩𝘢𝘥𝘪𝘵𝘴 𝘕𝘢𝘣𝘪 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘙𝘢𝘴𝘶𝘭𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘶𝘮𝘣𝘶 𝘪𝘴𝘵𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘸𝘶𝘥𝘩𝘶. 𝘉𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘬𝘰𝘳𝘦𝘭𝘢𝘴𝘪𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘶𝘴𝘵𝘢𝘥𝘻 ?
𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq


Tentang sentuhan lawan jenis yang bukan mahram telah kami jelaskan di bahasan sebelumnya bahwasanya ulama berbeda pendapat menjadi tiga kelompok.
Pendapat pertama batal bila tanpa lapis, ini adalah pendapat Syafi’iyyah. Tidak batal kecuali bila dengan syahwat, ini adalah pendapat Malikiyyah dan Hanabilah. Tidak batal secara mutlak, baik menyentuh tidak dengan syahwat maupun dengan syahwat.
Dan kali ini kita akan melihat dari perspektif kalangan Syafi’iyyah, bagaimana pendalilan madzhab ini, terutama dari hadits yang ditanyakan, koq bisanya madzhab syafi’i menetapkan sebuah pendapat yang bertentangan dengan dalil.
Nah di sinilah kita harus sadar diri dan harus terus mau untuk belajar. Jangan karena melihat sepintas pendapat ulama bertentangan dengan hadits langsung kita vonis : Ikuti dalil tinggalkan pendapat yang menyelisihi dalil.
Padahal dia belum melakukan penelitian yang mendalam terhadap dalil terkait dan juga pendapat yang ia tuduh tersebut.
𝗗𝗮𝗹𝗶𝗹 𝗸𝗮𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗦𝘆𝗮𝗳𝗶’𝗶𝘆𝘆𝗮𝗵 𝗯𝗮𝘁𝗮𝗹𝗻𝘆𝗮 𝘀𝗲𝗻𝘁𝘂𝗵𝗮𝗻 𝗹𝗮𝘄𝗮𝗻 𝗷𝗲𝗻𝗶𝘀 𝘁𝗮𝗻𝗽𝗮 𝗽𝗲𝗺𝗯𝗮𝘁𝗮𝘀
Firman Allah ta’ala di surah al Maidah ayat 6 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu....”
Kalangan Syafi’iyyah menafsirkan kata “Menyentuh wanita” dalam ayat dengan makna bersentuhan kulit dan kulit, bukan berjimak. Ini sebagaimana yang juga dinyatakan oleh beberapa shahabat nabi diantaranya Abdullah bin Mas’ud dan juga Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma.[1]
Tafsiran ini dengan beberapa alasan :

𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 : Secara bahasa kata lamasa (menyentuh) dalam banyak kontek berbahasa Arab dipahami secara dzahir yang artinya menyentuh dengan tangan,[2] termasuk yang digunakan oleh al Qur’an maupun dalam hadits, seperti firman Allah ta’ala :
وَلَوْ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتَابًا فِي قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ
“Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri.” (QS. Al An’am: 7)
Seperti dalam hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ
“Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah ﷺ melarang jual beli dengan cara “mulamasah” dan “munabadzah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
𝗞𝗲𝗱𝘂𝗮 : Makna ayat ini diperkuat oleh beberapa hadits, diantaranya dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata :
قُبْلَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَجَسُّهَا بِيَدِهِ مِنْ الْمُلَامَسَةِ فَمَنْ قَبَّلَ امْرَأَتَهُ أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ
“Ciuman dan rabaan tangan laki-laki pada istrinya termasuk mulamasah. Barangsiapa yang mencium istrinya atau merabanya, wajib baginya berwudhu.” (HR. Malik)
Lalu dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi ﷺ : “Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”(HR. Thabrani)
Lalu dari asy-Sya’bi bahwa Nabi ﷺ ketika membai’at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata, “Aku tidak berjabat dengan menyentuh wanita.” (HR Abu Daud)
𝗞𝗲𝘁𝗶𝗴𝗮 : Allah menyebutkan tentang junub pada awal ayat, lalu menyebutkan setelah itu “menyentuh wanita” dibarengkan dengan al-ghaith (buang hajat). Hal ini menunjukkan bahwa “menyentuh” yang dimaksud adalah jenis hadats kecil seperti buang hajat, dan itu bukan karena junub.
𝗕𝗮𝗻𝘁𝗮𝗵𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗵𝗮𝗱𝗮𝗽 𝗱𝗮𝗹𝗶𝗹 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗮𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗯𝗮𝘁𝗮𝗹𝗻𝘆𝗮 𝘀𝗲𝗻𝘁𝘂𝗵𝗮𝗻
Kalangan Syafi’iyyah juga menjawab dalil-dalil yang digunakan oleh madzhab lain yang berpendapat bahwa bersentuhan kulit lawan jenis tidak membatalkan wudhu. Mari kita simak sebagiannya :
𝟭. 𝗗𝗮𝗹𝗶𝗹 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮
Dari Ummul Mukminin Asiyah diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mencium sebahgaian istrinya, kemudian beliau keluar pergi shalat dan beliau tidak berwudhu lebih dahulu.” (HR. Ahmad)
𝗦𝗮𝗻𝗴𝗴𝗮𝗵𝗮𝗻 : Hadits ini selain termuat dalam musnad imam Ahmad, juga ada dalam sunan Tirmidzi dan Abu Daud. Dan para ulama hadits telah menyatakan kelemahan riwayatnya. Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah berkata :
والحديث ضعَّفه جمع من أهل العلم، منهم: يحيى بن سعيد القطَّان والبخاري وأبو زرعة وأبو حاتم والترمذي
“Hadits ini lemah menurut sekelompok besar ahli ilmu, seperti Yahya bin Sa’id al Qathan, Bukhari, Abu Zar’ah, Abu Hatim dan Tirmidzi.”[3]
Imam Nasai berkata :
ليس في هذا الباب حديث أحسن منه، ولكنه مرسل
“Tidak ada di bab permasalahan ini hadits yang lebih baik dari riwayat ini, tapi ini pun hadits mursal.”[4]
Abu Bakar an-Naisaburi berkata bahwa dalam satu rawinya Habib bin Abi Tsabit adalah orang yang sering keliru dalam meriwayatkan hadits, imam Ahmad sendiri mengakui akan hal ini.
Dalam hal ini dikatakan bahwa ia menyebut Nabi mencium istrinya dalam keadaan berwudhu’ padahal riwayat yang benar adalah dalam keadaan berpuasa.[5]
Hadits ini juga dilemahkan oleh imam Bukhari, beliau berkata :
حبيب بن أبي ثابت لم يسمع من عروة، ولا يصح في هذا الباب شيء

“Habib bin Abi Tsabit tidak pernah mendengar dari ‘Urwah, dan tidak ada yang shahih sedikitpun dalam bab ini (Nabi mencium istri dan tidak berwudhu lagi).[6]
Abu Daud berkata : Diriwayatkan oleh Sofyan Tsuri, bahwa Habib bin Abi Tsabit hanya merawikan hadits dari Urwah al-Muzni bukan Urwah bin Zubeir.[7]
Sedangkan ulama yang menshahihkan hadits ini adalah al imam Ibnu Abdil Barr, beliau berkata :
وله طرق يشد بعضها بعضًا
“Hadits ini memiliki beberapa jalur periwayatan yang bisa saling menguatkan satu sama lainnya.”[8]
Namun al imam Baihaqi menyatakan bantahannya jika hadits ini bisa saling menguatkan dalam kitabnya al Khilafat. Beliau telah menghimpun tidak kurang dari sepuluh hadits dalam masalah ini, dan menyimpulkan semuanya dhaif.[9]
𝟮. 𝗗𝗮𝗹𝗶𝗹 𝗸𝗲𝗱𝘂𝗮
“Dari Aisyah beliau berkata: Adalah aku tidur di hadapan Rasulullah ﷺ dan kakiku ke arah kiblat. Apabila beliau sujud ia menekan kakiku (dengan tangannya), maka saya tarik kakiku, dan apabila beliau telah berdiri saya luruskan kembali”. (HR. Bukhari)
𝗦𝗮𝗻𝗴𝗴𝗮𝗵𝗮𝗻 : Hadits ini masih mengandung Ihtimal (kemungkinan) lain, karena menekannya Rasulullah ﷺ ke kaki Aisyah bisa saja bagian kaki Asiyah yang tertutupi kain.[10]
Berkata al imam Nawawi rahimahullah :
والجواب عن حديث عائشة ‌في ‌وقوع ‌يدها ‌على ‌بطن ‌قدم ‌النبي صلى الله عليه وسلم أنه يحتمل كونه فوق حائل والجواب عن حديثها الآخر أنه لمس من وراء حائل وهذا هو الظاهر فيمن هو نائم في فراش وهذان الجوابان
“Dan jawaban atas Hadits ‘Aisyah tentang tangan beliau yang mengenai bagian dalam telapak kaki Nabi ﷺ, bahwa ada kemungkinan hal itu terjadi dengan adanya penghalang. Dan jawaban atas Hadits beliau yang lainny lagi, bahwa itu adalah sentuhan dari balik penghalang, dan ini hal yang biasa terjadi pada orang yang tidur di atas tempat tidur (yakni berselimut pent.).”
Sedangkan dalam kaidah ushul fiqh dikatakan :
الدليل اذا تطرق الإحتمال سقط به الإستدلال
“Dalil-dalil yang mengandung “ihtimal” (kemungkinan) maka gugurlah (tidak boleh digunakan) menjadi dalil.”[11]
𝗣𝗲𝗻𝘂𝘁𝘂𝗽
Dari paparan di atas kita belajar untuk bisa lebih menghargai pendapat ulama. Jangan sembrono menuduh pendapat setingkat ulama madzhab dengan tidak berdalil atau menentang dalil.
Menyimpulkan hukum untuk satu persoalan bukan perkara mudah, karena harus melewati proses menggali dalil yang yang terkait, lalu memilah antara hadits yang shahih dari yang dhaif, ada proses mengkompromikan dalil-dalil yang sepintas bertentangan.
Jadang juga harus mentarjih saat terjadi pertentangan antar dalil di mata peneliti, ada juga proses memahami makna yang dikandung oleh satu lafazh, dan berbagai proses lainnya.
Yag jelas, semua proses itu tidak bisa hanya lewat cara comot sana paste sini. Ada kaidah dan alat bantu yang harus digunakan secara benar untuk menghasilkan produk hukum yang baik dan benar.
Sehingga tidak seperti sangkaan sebagian orang yang lugu dalam beragama, jika sebuah pendapat yang diikutinya memiliki hadits shahih sebagai pendukung pendapat, maka otomatis pendapat yang berseberangan bisa dikatakan lemah apalagi salah.
Karena bisa jadi pihak lain juga memakai hadits yang tak kalah shahihnya, atau bisa jadi juga haditsnya memang paling shahih, tapi pemahaman atas hadits itu yang salah dan bermasalah.
📜Wallahu a’lam.
________
[1] Tafsir ath-Thabari (1/502), Subulus-Salam (1/260).
[2] Kamus Al-Muhith (2/ 249), Fiqh al Islami (1/431).
[3] Bulughul Maram Hal. 70
[4] Badrul at Tamam (2/25)
[5] Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (2/32)
[6] Syarh Sunnah li al Baghawi (1/346)
[7] Mizanul I’tidal (2/55).
[8] Al Ihkam Syarh Ushul Ahkam (1/75)
[9] Taudhih al Ahkam ( 1/290)
[10] Syarah Muslim (4/229-230)
[11] Ghayah al Wushul hal. 74.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post