Skip to main content

BENARKAH IMAM GHAZALI TIDAK PAHAM HADITS ?


BENARKAH IMAM GHAZALI TIDAK PAHAM HADITS ?

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq 

Al imam Ghazali rahimahullah adalah salah satu ulama besar muslimin dengan segudang karya dan jasa untuk umat. Cukuplah gambaran bagaimana sosok yang satu ini ketika para ulama menggelarinya dengan julukan hujjatul Islam, sebuah sebutan yang tidak banyak ulama lain yang menyandangnya.[1]

Namun yang disayangkan, ada sebagian pihak dengan polosnya mengatakan bahwa beliau adalah ulama yang tidak paham ilmu hadits, alasannya karena kitab Ihya banyak memuat hadits lemah bahkan ada yang palsu, juga karena pernyataan dari imam al Ghazali sendiri :

بِضَاعَتِي فِي عِلْمِ الحَدِيثِ مِزْجاَةٌ 

“Pengetahuanku tentang hadits memanglah sedikit.”

Sehingga dari sini sebagian orang kemudian menganggap beliau tidak menguasai hadits dengan baik. Benarkah demikian ? Mari kita pahami dengan baik duduk permasalahan ini.

Jika karena di dalam kitab Ihya memuat hadits lemah kemudian imam al Ghazali dituduh orang yang tidak paham ilmu hadits, jelas ini tuduhan ngawur. Para ulama telah menjelaskan hal ini dengan sangat gamblang, diantaranya apa yang dinyatakan oleh al Hafidz al Iraqi rahimahullah :

ان ﺍﻛﺜﺮ ﻣﺎ ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻟﻐﺰﺍﻟﻲ ﻟﻴﺲ ﺑﻤﻮﺿﻮﻉ كما برهن عليه في التخريج وغير الاكثر وهو في غاية القلة رواه عن غيره او تبع فيه غيره متبرئا بنحو صيغة روى عنه واما الاعتراض عليه ان فيما ذكره الضعيف بكثرة فهو اعتراض ساقط لما تقرر انه يعمل به في الفضائل وكتابه في الرقائق فهو من قبيلها

“Sesungguhnya kebanyakan yang disebutkan al Ghazali (dalam Ihya) bukanlah hadits palsu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam takhrij-nya. Yang tidak banyak, dan itu sangat sedikit, diriwayatkan dari orang lain atau mengikuti orang lain dengan menggunakan shighat pembebasan diri “Diriwayatkan dari…”. 

Ada pun sanggahan bahwa Ihya’ di dalamnya banyak memuat hadits dha‘if adalah pernyataan yang gugur, karena, hadits dha‘if pun dapat diamalkan dalam masalah fadha’il. Dan Ihya’ adalah kitab yang bergenre penyucian jiwa dan itu termasuk dari fadhilah amal”.[2]

Demikian juga Syaikh Sa’id Ramadhan al Buthi rahimahullah berkata :

أكثر الأحاديث الضعيفة والمنكرة الواردة فى كتاب إحياء علوم الدين للإمام الغزالى تتعلّق بفضائل الأعمال الثابت فضلها بأدلّة ثابتة أخرى. وعلماء الحديث متفقون على أنه لا ضير فى الإستشهاد بالأحاديث الضعيفة لفضائل الأعمال بشرط أن لا يشتدّ ضعفه وأن لا يوهم الراوي أثناء الإستشهاد بها بأنّها صحيحة على أنّ الله قيّض لهذه الأحاديث من أبرزها وميّزها وبيّن ضعفها وهو الحافظ العراقي فما الإشكال الذي يؤرق بالك من هذا الأمر الذي لا إشكال فيه

“Kebanyakan hadits dhaif dan munkar yang ada di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin karya al imam Ghazali berhubungan dengan fadhilah amal, yang mana sebenarnya keutamaannya telah tetap dengan beberapa dalil kuat yang lainnya. 

Para ulama hadits telah bersepakat bahwa tidak mengapa menjadikan hadits dhaif untuk urusan keutamaaan dalam beramal dengan syarat sifat lemahnya tidak terlalu parah dan tidak menjadikan salah sangka bahwa hadits yang disampaikan adalah hadits shahih.

Selain itu, Allah telah menampakkan kedudukan hadits-hadits (dalam kitab Ihya) pada seseorang yang menjelaskan kedhaifan hadits-hadits tersebut, dia adalah Al-Hafiz al-‘Iraqi. Lantas mengapa dipermasalahkan  sesuatu yang sebenarnya tidak bermasalah.”[3]

Selanjutnya perlu kita ketahui, bahwa kitab Ihya itu bukanlah kitab hadits, namun demikian di dalamnya terdapat tidak kurang dari 4800 buah hadits, yang ini berarti ia memuat hadits lebih banyak dari beberapa kitab hadits seperti al Muwatha’ karya imam Malik yang hanya 1720 hadits, bahkan lebih tebal dari sunan Ibnu Majah yang hanya 4341 hadits.

Sejumlah 5000 an hadits, ini belum lagi ditambah penguasaan al Ghazali terhadap hadits-hadits hukum yang beliau gunakan untuk menjelaskan fiqih madzhab syafi’i dalam kitab-kitabnya yang lain, yang tentunya jumlahnya lebih banyak.

Dan kita perlu tahu, ulama di masa itu tidaklah mencantumkan hadits kecuali yang dihafalnya dengan baik. Berbeda dengan orang hari ini yang menulis karya kadang cukup hanya dengan modal copy paste dari artikel.

Sekarang kita tantang, mereka yang menuduh beliau tidak menguasai hadits ini, silahkan hadirkan ustadznya yang katanya ahli hadits itu lalu periksa hafalannya kira-kira nyampai tidak 3000 saja hadits yang dia hafal ?

Selanjutnya, imam al Ghazali selain mengarang kitab yang bertema aqidah, tasawuf, adab dan juga fiqih, ternyata juga memiliki karya yang memberi perhatian yang cukup besar terhadap ilmu hadits, seperti karyanya yang berjudul al mankhul min Ta’liqaat al Ushul dan al Mustashfaa min Ilmil Ushul.

Beliau juga mempunyai guru-guru terkemuka dalam ilmu Hadits. Imam Suyuthi rahimahullah berkata :

وسمع صحيح البخاري وصحيح مسلم على عمر بن أبي الحسن الرواسي الحافظ الطوسي وسمع صحيح البخاري من أبي سهل محمد بن عبد الله الحفصي، وسمع سنن أبي داود السجستاني من الحاكم أبي الفتح الحاكمي الطوسي

“Beliau telah mempelajari shahih al Bukhari dan muslim dari Umar bin al Hasan ar Rawasi dan dari Hafidz ath Thusi. Beliau juga mempelajari shahih Bukhari dari Abi Sahl Muhammad bin Abdullah al Hafshi. Juga mempelajari sunan Abu Daud dari al Hakim Abu Fath al Hakimi ath Thusi.”[4]

Lalu bagaimana memahami perkataan al Ghazali di atas yang mengaku bahwa ia tidak banyak menguasai hadits ? Jawabannya adalah, pertama ungkapan ketawadhu’an. Jika pengakuan merendah ulama dipahami secara dzahir alias apa adanya, maka kita bisa salah menyimpulkan banyak hal.

Seperti contohnya pernyataan imam Syafi’i : “Aku mencintai orang shalih meskipun aku bukan termasuk dari mereka.” Itu adalah ungkapan ketawadhu’an. Amat keliru jika kita menyimpulkan bahwa imam Syafi’i bukan orang shalih karena berangkat dari “pengakuan” beliau sendiri.

Kedua, kemampuan beliau dalam ilmu hadits memang tidak se-expert tokoh – tokoh besar ilmu hadits seperti Ibnu Hajar, an Nawawi dan lainnya. Yang mereka memiliki karya-karya yang berkaitan langsung dengan ilmu hadits yang tidak dimiliki oleh al Ghazali karena memang berbeda spesialisasi.

Namun bukan berarti beliau bisa kita sebut tidak tahu banyak ilmu hadits. Cobalah baca kitab beliau seperti Jawahir Qur’an dan Munqidz min al Dzalal, maka kita akan mengetahui bahwa al Imam Ghazali bahkan jauh lebih menguasai hadits dari kebanyakan doktor jurusan hadits hari ini.

Selanjutnya, jika karena alasan kitab Ihya Ulumuddin memuat hadits lemah lalu al Ghazali bisa dituduh tidak paham hadits, seharusnya standar yang sama juga digunakan untuk menilai ulama lainnya yang tersandung “kasus” yang sama. 

Seperti Ibnu Qayyim al Jauziyah rahimahullah dengan karyanya ar Ruh yang juga banyak memuat hadits-hadits lemah dan bermasalah di dalamnya. Tidak ada suara mereka yang menyebut Ibnul Qayim tidak paham hadits sebab kitabnya tersebut.

Tapi begitulah anehnya orang-orang ini, mereka mudah sekali mengkuliti kesalahan ulama yang dianggap dari luar kelompoknya, namun berlagak pilon jika itu ada pada ulama yang mereka ikuti.

📜Wallahu a’lam.
_______
[1] Siyar A'lam Nubala (19/322)
[2] Ta’rif al Ahya bi Fadhail Ihya hal. 32.
[3] Masyurat Ijtima’iyyat, hal. 149.
[4] Ath Thabaqat (4/111)

Comments