PERNIKAHAN DUA ALAM 18


PERNIKAHAN DUA ALAM 18


Adisti dan Dion sudah kembali bekerja hari ini. Setelah sarapan dan berpamitan pada Dini, mereka berangkat bersama. Sepanjang perjalanan mereka membisu dengan pikiran masing-masing.
Dion ingin memulai pembicaraan pun merasa tidak enak karena melihat wajah Adisti yang datar. Berbeda saat ada Dini, wanita itu terlihat sangat ramah. Begitu hanya berdua dengan Dion, seketika bibir Adisti membisu.
“Nanti turunkan aku di pertigaan saja.”
Permintaan Adisti membuat Dion mengernyit.

“Kenapa?” tanya Dion tidak mengerti.
“Tentu saja aku tidak mau jadi bahan gunjingan sepabrik, Mas.” Adisti memutar bola matanya dengan malas lalu memalingkan wajah.
“Gunjingan?” ulang Dion tidak mengerti.
“Iya, aku tidak mau dikira mereka memikirkan macam-macam tentangku.”
Dion menghela napas. Ia tidak membalas ucapan Adisti. Namun, saat mobil mendekati pabrik ia tetap melajukan mobil. Tidak berhenti sesuai keinginan Adisti.
“Loh, Mas. Aku kan bilang turun di pertigaan. Kok tetep jalan sih?” protes Adisti sambil mengguncang lengan Dion.

“Adisti, kamu istriku sekarang. Semua orang di pabrik sudah tahu semua. Apalagi yang harus disembunyikan? Percuma! Aku tidak mau kamu lelah berjalan kaki sampai pabrik. Apa kata orang nanti kalau seorang suami tega menurunkan istrinya di jalan?”
Seketika Adisti diam. Benar! Ia dan Dion sudah menikah dan semua orang sudah tahu. Lantas mengapa tadi ia meminta turun di jalan? Ah, memikirkan Abimanyu membuat Adisti lupa hubungannya dengan Dion seperti apa.

“Tapi, tetap saja. Hubungan kita hanya di atas kertas, Mas.”
Deg! Seolah ada yang mencubit hati Dion mendengar ucapan Adisti. Memang mereka menikah karena perjodohan dan perjanjian, tetapi mana mungkin ia tega menurunkan wanita di tengah jalan padahal mereka satu arah.

“Pikirkan apa kata orang jika aku menurunkanmu di jalan. Pasti mereka akan menganggapku suami tidak bertanggung jawab.”
Adisti tidak lagi membuka suara. Ia malas berdebat. Lagi pula entah mengapa tiba-tiba saja kepalanya menjadi sangat pusing. Perutnya serasa diaduk-aduk, ia ingin muntah.
“Menepi,” perintah Adisti kemudian menutup mulutnya dengan tangan. 
Begitu mobil berhenti, ia segera turun lalu memuntahkan sesuatu yang ingin keluar. Namun, hanya air yang keluar dari mulut Adisti. Melihat itu, Dion segera turun lalu memijit tengkuk Adisti pelan.

“Kamu kenapa? Masuk angin?” tanya Dion khawatir.
Adisti menggeleng. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa lemah. Ia limbung dan akhirnya tidak sadarkan diri.
Dion panik melihat Adisti pingsan. Segera ia menggendong istrinya lalu memasukkannya ke dalam mobil dan segera melajukan mobilnya menuju rumah sakit terdekat. Ia takut terjadi sesuatu pada wanita itu.
Dion melajukan mobilnya dengan kencang, tak peduli dengan bunyi klakson dari mobil lain yang hampir ditabrak Dion. Dalam pikiran laki-laki, bagaimana caranya agar cepat sampai di rumah sakit terdekat.

Beberapa menit kemudian mereka sampai di Rumah Sakit Darma Medika. Adisti segera mendapatkan penanganan dari dokter setelah Dion selesai mengurus administrasi.
Perasaan Dion tidak tenang karena dokter belum juga keluar dari ruangan. Ia berharap Adisti hanya masuk angin biasa, tidak memiliki penyakit parah.
Tak lama kemudian, Dokter Rania muncul dari balik pintu.

“Anda suaminya?” tanya Dokter Rania sambil tersenyum ramah. 
Dion mengangguk. “Apakah istri saya baik-baik saja?” tanyanya penuh kekhawatiran.
Dokter Rania justru tersenyum lebar. “Tidak apa-apa. Justru saya membawa kabar gembira untuk Anda.”

Dion menatap wajah Adisti yang memucat. Ia tidak bisa berpikir jernih sekarang. Memikirkan ucapan Dokter Rania membuat pikirannya semakin semrawut.
“Selamat! Sebentar lagi Anda akan menjadi ayah.” Dokter Rania menyunggingkan senyum lebar lalu menyalami Dion.

Dion menatap wajah Adisti yang memucat. Ia tidak bisa berpikir jernih sekarang. Memikirkan ucapan Dokter Rania membuat pikirannya semakin semrawut.
“Selamat! Sebentar lagi Anda akan menjadi ayah.” Dokter Rania menyunggingkan senyum lebar lalu menyalami Dion.

Dion tidak segera membalas tangan Dokter Rania, ia terkejut setengah mati. Hamil? Dengan siapa? Bukankah selama ini ia belum menyentuh Adisti sama sekali? Lantas bersama siapa Adisti berhubungan hingga hamil?
Banyak pertanyaan di kepala Dion. Dokter Rania mengernyit saat Dion tidak segera membalas tangannya. Segera ia menarik tangan lalu memasukkannya ke dalam saku jas.
Dokter Rania tersenyum tipis. Ia berpikir, mungkin saja orang di depannya ini adalah salah satu orang yang belum siap memiliki anak. Padahal bukan itu permasalahannya.
“Pasien sudah bisa dikunjungi, Pak. Nanti perawat akan mengantar resep obat dan vitamin yang harus ditebus.”
Setelah mengatakan demikian, Dokter Rania meninggalkan Dion yang masih terlihat syok.

Mungkinkah bersama Abimanyu? Tapi, bukankah laki-laki itu bukan manusia? Bagaimana mungkin Adisti bisa hamil? Jika hamil, berarti wanita itu hamil anak Abimanyu, dan itu bukan manusia!
Dion mendekati ranjang, hatinya ragu. Apakah pernikahan mereka sah di mata agama? Adisti sudah menikah dengan Abimanyu saat menikah dengannya kemarin. Apalagi sekarang ternyata Adisti hamil anak Abimanyu.
“Bagaimana ini? Kenapa rumit sekali!” gumam Dion bimbang. Sepertinya ia harus ke rumah Ustaz Ramli lagi nanti untuk memperjelas hubungannya dengan Adisti.

Tak lama kemudian, Adisti mulai membuka mata. Ia mengerjapkan mata berkali-kali, pandangannya seketika tertuju pada Dion yang duduk di samping ranjang sambil memainkan ponselnya.
“Mas,” panggil Adisti lirih.
Seketika Dion mengalihkan pandangan dari ponsel. Ia menatap Adisti lalu menghela napas.

“Kamu sudah bangun?” tanya Dion sambil tersenyum.
“Aku sakit apa?” tanya Adisti sambil berusaha bangun.
Dengan sigap Dion membantu menata bantal untuk sandaran Adisti.
“Boleh aku menanyakan sesuatu?” tanya Dion. Ia memutuskan untuk menanyakan langsung pada Adisti dan berharap wanita itu akan berkata jujur padanya.
“Apa?” tanya Adisti lirih. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak tidak karuan, apalagi melihat wajah Dion yang terlihat tidak ramah.
“Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan selama ini?” tanya Dion.
“Aku sembunyikan?”

Dion mengangguk. “Katakan sejujurnya.”
Wajah Adisti memucat. Apakah Dion curiga padanya karena sudah memiliki suami? Apakah Dion menyadari sesuatu? Batin Adisti panik.
“Apa yang harus dikatakan?” tanya Adisti lirih. Ia tidak berani menatap wajah Dion.
“Katakan saja sejujurnya, Adisti. Aku tidak akan marah padamu. Hanya butuh sebuah kejujuran karena dalam sebuah hubungan, jika dilandasi kebohongan akan berakhir tidak baik.”
“Kita menikah hanya di atas kertas, Mas. Lebih baik jaga privasi masing-masing saja. Apa pun rahasiaku jangan pedulikan karena aku pun tidak akan peduli bagaimana kehidupanmu.” Adisti memalingkan wajah. Ia belum siap menceritakan hubungannya dengan Abimanyu sekarang.
“Tapi, kejujuranmu sangat penting karena menyangkut keadaanmu sekarang.”

Seketika Adisti menatap Dion tidak mengerti. “Apa maksudmu,” tanyanya tidak mengerti.
“Kamu hamil!”
Ucapan Dion bagaikan petir di siang bolong bagi Adisti. Ia menganga seketika lalu menutup mulut dengan kedua tangan.
“Ha-hamil? Bagaimana bisa?” tanya Adisti menggeleng.
“Katakan sejujurnya, Adisti.” Dion kembali berwajah datar.
“A-aku ....” Adisti menunduk lalu menautkan jemarinya.
Dion menatap setiap gerak Adisti, ia tahu wanita itu belum siap. Namun, mau tidak mau ia harus mengetahui kenyataannya dari mulut Adisti langsung.
“Hmm ....” Dion meraih jemari Adisti, lalu menggenggamnya erat. Ia ingin wanita itu tahu, bahwa dirinya tidak masalah dengan kejujurannya.
“Aku belum siap bercerita.” Suara Adisti terdengar lirih. Ia belum siap bercerita dan hamil. Kabar itu sungguh mengejutkan baginya. Hamil anak Abimanyu? Tentu saja ia tahu, anaknya mana mungkin bisa normal seperti manusia umumnya.
“Aku akan menunggumu sampai siap. Seperti katamu tadi, pernikahan kita hanya sebatas di atas kertas. Aku hanya ingin tahu, bukan mencampuri urusanmu.” 

Esoknya sepulang bekerja, Adisti mampir ke rumahnya. Ia harus memberitahu Abimanyu tentang kehamilannya. Ia sangat khawatir, bagaimana mungkin manusia mengandung anak jin? Bagaimana masa depan anak itu nanti?
Sesampainya di rumah, segera ia membukanya lalu menuju kamar. Di sana ia mengusap cincin yang pemberian Abimanyu lalu menyebut nama laki-laki itu 3 kali.
Beberapa detik kemudian, Abimanyu muncul di depan Adisti. Tanpa aba-aba, laki-laki segera memeluk istrinya lalu menciumi bibir dengan liar. Rindu, hanya itu.

Adisti berusaha melepaskan diri dari pelukan Abimanyu dengan mendorongnya. Laki-laki itu terkejut melihat penolakan Adisti.
“Ada apa?” tanya Abimanyu mengernyit.
“Aku hamil!” teriak Adisti histeris.
Abimanyu menganga seketika. Ia tidak menyangka Adisti akan hamil secepat itu.
“Benarkah?” tanya Abimanyu memastikan.
Adisti mengangguk cepat. Air mata mulai menetes di pipinya. Bagaimana nasibnya? Bagaimana nasib anaknya? Bagaimana pernikahannya dengan Dion? 

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post