Skip to main content

MELACAK WATU ISO MANAK DAN KUBURAN MUMBUL TERBANG DI TROPODO SIDOARJO



MELACAK WATU ISO MANAK DAN KUBURAN MUMBUL TERBANG DI TROPODO SIDOARJO



Anda pernah mendengar istilah watu manak, alias batu beranak? Jika Anda belum pernah mendengarnya, di kawasan Dusun Klagen, Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, ada watu manak. Apakah Anda juga pernah mendengar istilah kuburan mumbul, alias makam terangkat? Jika Anda belum pernah mendengarnya, di sekitar watu manak juga ada kuburan mumbul. Usut punya usut, ternyata sebutan asolole tersebut adalah penamaan warga setempat pada dua situs kuno di sana. Hmmm. Branding yang ciamik soro!


Memang, Desa Tropodo kaya dengan artefak dan cerita masa kuno. Sebagian artefak punah, sebagian runtuh. Yang masih utuh dan termashur adalah Prasasti Kamalagyan. Ada situs Lemah Duwur, yang diduga dulu semacam Sitinggil. Ada kawasan yang bernama Dempok, yang mengingatkan pada sumpah amukti palapa Mahapatih Gajah Mada yaitu Dempo yang hingga kini masih misteri, meski tradiri tutur mengaitkannya dengan mitos Maling Celuring.


Ada pula situs Dusun Balepanjang, yang dalam Pararaton dikaitkan dengan Raden Wijaya. Belum lagi situs lebih belakangan, yang disebut sebagai kuburan mumbul, yang diyakini sebagai makam orang suci penyebar Islam.

Sekdes Tropodo, sebut saja namanya MM (55), menjelaskan bahwa Desa Tropodo terdiri atas empat dusun atau pedukuhan, meliputi Bale Panjang (RW 1), Areng-areng (RW 2), Tropodo (RW 3), dan Klagen (RW 4). Perlu diketahui, Desa Tropodo, Kecamatan Krian bukan Desa Tropodo, Kecamatan Sedati. Begitu pun dengan Dusun Klagen bukanlah Dusun Klagen di Desa Wilayut, Kecamatan Sukodono, Sidoarjo. Mungkin ada hubungannya, tetapi hingga kini hubungannya itu masih samar. Sesamar hubungan asmara dua sejoli yang ingin mojok sambil menggunakan bahasa isyarat atau kode rahasima, eh rahasia. Ups! Yang jelas, hubungan nama-nama dusun yang sama itu masih sesamar sebagian besar sejarah desa-desa lainnya di Indonesia Raya.


Sejarah Tropodo cukup panjang, karena desa yang sepelemparan batu dari Candi Watu Tulis itu terdapat beberapa artefak penting terkait masa kuno Sidoarjo, baik pada masa Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Singasari, Kerajaan Majapahit, hingga era Islam pasca-Walisongo. Bahkan MM berani menyebut bahwa tanah Tropodo adalah tanah tua, meski awalnya ia mengaku tak tahu menahu tentang sejarah Tropodo. “Yang tahu sejarah desa ini orang-orang tua, Mas, saya termasuk generasi belakangan yang tidak tahu tentang sejarah di sini,” aku MM.


Meski demikian, karena saya pancing dengan umpan yang menarik dan seksi, akhirnya MM pun angkat bicara tentang Tropodo berdasar pengetahuan atau tradisi lisan turun-temurun yang pernah didengar dan dialaminya. Menurut penuturan leluhur, kata MM, Tropodo itu kawasan perdikan pada masa Kahuripan dulu. Perdikan yang dimaksudkan adalah tanah bebas pajak. Salah satu buktinya adalah adanya prasasti bercap Garuda Mukha di Dusun Klagen, yang menunjukkan posisi kawasan itu terhadap penguasa Kerajaan Kahuripan dan setelahnya.


“Prasasti itu menunjukkan bahwa kawasan ini adalah kawasan bebas pajak. Prasasti itu merupakan prasasti Kamalagyan, dan asal mula nama Klagen katanya berasal Kemlagen,” tandasnya. “Sekarang dijaga oleh Pak Osin, sebagai juru kuncinya. Orang-orang menyebutnya sebagai watu manak, alias batu beranak karena selain prasasti di sampingnya juga terdapat batu kecil, seperti lingga.”


Nah, begitulah penjelasan tentang istilah watu manak di sana, yang khusus menyebut Prasasti Kamalagyan dan lingga. Sayangnya, ketika saya berniat menemui juru kuncinya, ia sedang di luar rumah. Adapun berdasar tulisan Ninie Susanti (2010), Prasati Kamalagyan, yang dalam pelisanannya disebut sebagai Kemlagen adalah prasasti yang dikeluarkan Prabu Airlangga bagi keistimewaan kawasan tersebut.


Hal itu karena di sana dibangun sebuah bendungan untuk menghadang arus Kali Widas, alias Brantas, agar setia mengalir ke utara saja, sehingga tanaman dan pemukiman aman dari terjangan Brantas. Konon, pada masa-masa ini, Kali Porong belum ada. Bendungan tersebut dinamakan Waringin Sapta. Status khusus diberikan ke Dusun Klagen karena ada oknum tertentu yang berhasrat mengusik bendungan tersebut. Raja berharap bebuyutan di Klagen dan masyarakatnya turut menjaga kelestarian bendungan. Konon, juga berkembang menjadi bandar. Prasasti Kamalagyan berangka tahun 959 Saka atau 1037 Masehi.


Ihwal kaitan Tropodo dengan keberadaan sebuah bendungan masa kuno juga dinyatakan MM, apalagi di kawasan tersebut seringkali ditemukan artefak kuno. Lebih jauh MM menunjukkan bahwa kawasan itu dulunya adalah bekas tepi sungai Brantas yang sibuk pada masa kuno. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya perahu kuno, jangkar dan hal-hal lain yang menunjukkan pada masa kuno tempat itu adalah sebuah bandar. Bahkan, di lokasi tempat ditemukannya perahu itu tanahnya berpasir bila digali. Hal itu memanjang seperti tepi sungai, meskipun kini sudah padat oleh pemukiman dan menjadi lahan pertanian.


“Dulu, pernah ditemukan perahu kuno. Sudah lama. Tetapi akhirnya dipeceli kayunya, untuk kayu bakar. Jelas, sekarang sudah tak ada. Juga pernah ditemukan jangkar kuno. Selain itu, tanah di sektar penemuan berpasir,” tegasnya.

Selain itu, remah artefak masa kuno yang masih bisa disaksikan ada di beberapa lokasi dalam satu kawasan. Salah satunya adalah Punden Lemah Duwur. Bahasa mboisnya adalah Sitinggil. Disebut Lemah Duwur karena lokasi seluas 12x24 meter dan berada di tengah areal pesawahan itu memang lebih tinggi dari kawasan sekitarnya. Di pinggir situs ditumbuhi pepohonan besar, tua, terkesan angker. Warga menyebutnya dengan pohon Kopo. Di kawasan itu, tampak batu bata kuno terpendam seperti bekas pondasi atau dinding bangunan kuno. Bahkan, ada sebuah areal di pojok barat laut yang berupa tumpukan batu bata kuno, yang di depan lokasi dipasang paving. Tempat itu memang dianggap sebagai kawasan sakral. Biasanya, jika ada warga yang berniat menggelar hajat, mempersembahkan sesaji di tempat itu. Lokasinya kini persis berada di sebelah selatan Makam Cina, Tropodo.


“Tempat itu disebut Lemah Duwur karena tanahnya lebih tinggi dari sekelilingnya. Kini berupa tegalan. Diyakini di situ dulu berdiri bangunan suci pada masa kuno, entah itu Majapahit atau sebelumnya,” tegas MM. “Kawasan itu masuk Dusun Bale Panjang”.


Dalam kitab Pararaton disebut sebuah tempat bernama Balai Panjang, sebuah lokasi penting dalam pelarian Raden Wijaya saat mencari suaka dari kejaran Adipati Kadiri, Jayakatwang, yang berhasil memporakporandakan Singasari. Selain Bale Panjang, tempat-tempat yang dikenal hingga kini adalah Kembang Sri, Terung, Candinegoro, dan lainnya, yang semuanya berada di wilayah Sidoarjo. Adapun Balai Panjang adalah lokasi Raden Wijaya menunggu sebelum berlayar ke Madura dan bertemu dengan Arya Wiararaja di Sumenep. Peristiwa itu terjadi pada 1292 Masehi. Jika dulu kawasan tersebut adalah tepian Brantas dan sebuah bandar kuno, tentu nama Dusun Bale Panjang bukanlah ahistoris, apalagi di sini juga terdapat reruntuhan bangunan kuno di lokasi Lemah Duwur.


MM menegaskan bahwa tempat itu memang dikeramatkan warga sejak dulu. MM menyitir kisah Mbah Lurah (mantan lurah) yang pernah didengarnya. Alkisah, pada tahun 1929 Tropodo dilanda kekeringan panjang. Beberapa santri yang dipimpin seorang kiai melakukan doa bersama di sana. Belum selesai doa dipanjatkan, hujan pun turun dengan deras. Di sisi lain, kisah mistis juga mewarnai tempat itu. Ada yang meyakini di sana terpendam begitu banyak pusaka. Bahkan, ada jenis pusaka hidup berupa seekor perkutut ‘ajaib’. Dulu, bila perkutut itu berkicau, kicauannya sampai di balai desa, padahal jarak lokasi itu dengan balai desa sekitar satu kilometer lebih.


“Dulu, kakek saya pernah menangkap perkutut itu, lalu dibawa pulang. Menangkapnya dengan cara memikatnya. Saat di rumah, perkutut itu berkicau dengan mantap. Namun, malamnya, kakek saya didatangi oleh seseorang yang meminta kakek saya mengembalikan burung itu ke Lemah Duwur. Akhirnya, perkutut dikembalikan pada keesokan harinya,” tegas MM.

“Perkututnya bagus. Ada kalung atau bulu kuning di lehernya,” timpal seorang perangkat desa lainnya, memberi kesaksian pada peristiwa itu.

Ihwal asal-usul nama dukuh atau dusun di Tropodo, MM mengaku tidak tahu banyak. Ia menjelaskannya sedikit berdasarkan otak-atik gatuk. Menurut dia, Tropodo berarti trah yang sama. Bale Panjang adalah tempat pertemuan yang panjang. Areng-areng artinya hitam, sedangkan Klagen dulunya bernama Kemlagen.

“Kira-kira begitulah, saya tidak tahu bagaimana sejarahnya sehingga bernama demikian. Kalau Klagen mungkin karena di sana ada Prasasti Kemlagen,” lanjutnya.


Yup, Klagen memang berasal dari Kemlagen atau Kamalagyan dalam dunia arkeologi. Karena terjadi perubahan bunyi bahasa, akhirnya menjadi Klagen. Adapun toponim Tropodo diduga dari kata Jawa Kuno, yaitu tara dan pada. Menurut Kamus Jawa Kuno, tara berari bintang, sedangkan pada memiliki makna banyak, yaitu : 1. daerah, tempat, dunia, 2. bisa pula jalan/cara/sarana. 3. makna lainnya adalah sinar.


Di Tropodo, terdapat sebuah kawasan yang bernama Dempok. Kawasan ini termasuk Dukuh Tropodo, berada di sebelah timur embong dan sebagian di wilayah selatan, sedangkan sebelah barat adalah Tropodo. Warga memang memandang penting tempat ini karena terkait dengan mitos Maling Cluring, yang konon terkapar atau dempok di tempat itu dalam pelariannya.


“Diyakini Maling Celuring kalah dan ‘dempok’ di tempat itu, makanya namanya adalah Dempok,” tegas seorang pamong lainnya lagi. Maklum wawancara dilakukan di Balai Desa, jadi saya didampingi banyak pamong.

Kawasan Dempok segera mengingatkan saya pada sumpah amukti palapa Mahapatih Gajah Mada yang berpantang makan buah palapa sebelum menyatukan negeri-negeri, salah satunya adalah Dempo. Hingga kini sejarawan belum bisa memastikan wilayah itu. Apalagi pada masa lalu Tropodo dan sekitarnya adalah kawasan perdikan, yang bisa jadi, dianggap belum tertaklukkan secara politik oleh Majapahit. Bukankah kawasan itu adalah perdikan pada masa Prabu Airlangga Kahuripan? Tentu, ini juga berbau spekulasi karena ada pendapat yang menyebut bahwa Dempo merupakan daerah yang berada di luar Jawa.


Selain itu, di Tropodo juga sarat dengan situs tilas persebaran Islam. Di Klagen di kenal dengan makam Haji Ali Usman. Letaknya sepelemparan batu dari Prasasti Kamalagyan. Makam itulah yang tenar disebut dengan Kuburan Mumbul. Adapun di Dusun Bale Panjang, dikenal dengan Mbah Kaji. Menurut MM, keduanya memang tak diketahui pasti sejarahnya, tetapi keduanya adalah sesepuh yang babat alas dukuh tersebut ketika memasuki era Islam.


“Kata orang, Mbah Kaji itu menggunakan udeng seperti Pangeran Diponegoro dan menunggang kuda,” tegasnya. “Kalau istilah makam atau kuburan mumbul itu sebenarnya hanya sebutan saja. Bukan makam yang mumbul, tetapi bila ada orang yang bernadar dan hajatnya terkabul di Makam Mbah Haji Ali Usman, ia menaruh mori di atasnya lagi.”


Jadi begitulah yang terjadi. Terkesan, memang ada jasad yang terangkat karena ada kafan baru yang membungkus kuburan. Memang tidak ada catatan tertulis tentang tokoh yang disebut. Namun, berdasarkan pengakuan juru kunci, yang dibenarkan aparat desa, diyakini di kawasan kuburan mumbul tidak hanya ada satu makam. Kisahnya, dulu, ada seorang bangsawan yang mengembara, lalu mampir di kawasan tersebut dan meninggal dunia. Jasadnya kemudian dimakamkan di situ juga.


Meski kesejarahannya masih sumir, tapi kawasan itu meman sarat cerita. Seorang pamong lain menambahkan bahwa di situ dikenal sebagai kawasan wingit sejak dulu. Pada masa penjajahan, tempat itu adalah lalu-lintas yang harus dihindari. Konon, pernah suatu ketika Belanda akan menyerang pejuang lewat utara, alias lewat Jalan Klagen di depan persis kuburan mumbul, ternyata kendaraan yang digunakan Belanda itu ambles semua sehingga tidak bisa jalan.


“Saya mendengar cerita itu dari mbah saya. Mbah saya juga menandaskan bahwa itu adalah makam yang babat alas Dusun Klagen,” tegas pamong desa tersebut.



Comments