Demokrasi dan kapitalisme
di persimpangan jalanMenteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan ketidakpastian ekonomi di global saat ini memiliki pola berbeda berbeda dibanding sebelumnya. Ketidakpastian yang terjadi sekarang ini menurutnya, semakin cepat berubah. Jokowi saat berpidato di Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (BI) Rabu (30/11/2022). “
Oleh sebab itu 2023 betul-betul kita harus waspada saya setuju harus optimis tapi harus tetap hati-hati dan waspada. Yang pertama itu ekspor Indonesia tahun ini tahun lalu melompat jauh tapi hati-hati tahun depan bisa turun,” Itulah ekonomi pasar.
Betapa bebasnya pasar sehingga negara tidak berdaya untuk bersikap. Kecuali menanti apa yang terjadi , untuk dipikirkan apa solusi. Sebagaimana dijelaskan oleh Rainer Zitelmann dalam The Power of Capitalism. Kapitalisme bukanlah masalah, tetapi solusi. Tapi tidak bagi Jacob Soll sang prefesor ekonomi, dalam karyanya, Free Market: The History of an Idea. Soll menyalahkan pemerintah sebagai sumber masalah kegagalan kapitalisme. Saya tidak sepenuhnya sependapat dengan Soll.
Mungkin Soll, terinspirasi dengan Paul Baran dan Paul Sweezy dalam Monopoly Capital ( 1966). Merekam apa yang terjadi di AS. Meskipun menampilkan dirinya sebagai negara demokrasi terkemuka di dunia, tetap saja plutokratis. Pemilu diakuisisi oleh “uang gelap” yang berasal dari pundi-pundi korporasi dan invisible miliarder. Misal dalam pemerintahan Trump, mengikuti tradisi yang sudah lama ada, 72 persen anggota kabinet berasal dari korporat, sementara yang lain diambil dari militer dan politisi karir. Ya sama seperti di Indonesia, sebagian menteri adalah miliarder atau politisi proxy korporat.
Di tengah ancaman resesi dan krisis yang melanda Eropa dan AS sekarang , John Bellamy Foster menganalisanya dalam Capitalism Has Failed—What Next? (2019). Kurang dari dua dekade memasuki abad ke-21, terlihat jelas bahwa kapitalisme telah gagal sebagai sebuah sistem sosial. Dunia terperosok dalam stagnasi ekonomi, finansialisasi, dan ketimpangan paling ekstrem dalam sejarah manusia, disertai dengan pengangguran massal dan setengah pengangguran, kerawanan, kemiskinan, kelaparan, hasil dan kehidupan yang sia-sia, dan apa yang pada saat ini hanya dapat disebut ekologi planet " “death spiral.”
Revolusi digital, kemajuan teknologi terbesar di zaman kini, telah dengan cepat bermutasi dari janji free speech dan free production menjadi cara baru pengawasan, kontrol, dan pengurangan populasi pekerja. Institusi demokrasi rapuh, berada di titik kehancuran, Sementara fasisme dan adikalisme bangkit. Ya, kapitalisme selalu punya hope seperti invisible hand dari Adam Smith. Faktanya hope di depan mata adalah paradox. Barisan belakang dari sistem kapitalis, kembali bergerak, bersama dengan patriarki, rasisme, neokolonialisme, radikalisme dan perang.
Soll lupa akan Adam Smith dalam “ The Theory of Moral Sentiments" (1759) and "An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations" (1776). Salah memahami Capitalism and Freedom" dari Bapak Neoliberal Milton Friedman. Kalau pemerintah salah mengadopsi prinsip moral kapitalisme, itu ada benarnya. Ini masalah moral dan kepentingan. Yang kadang karena kepentingan politik pragmatis, prinsip ekonomi kapitalisme terdistorsi. Teori tidak salah. Sama halnya agama tidak salah. Yang salah pemeluk agama. Seperti ungkapan dari Jeffrey T. Kuhner , kolumnis dari The Washington Times, yang dalam kolom nya mengomentari krisis Lehman 2008 bahwa krisis ekonomi terjadi karena krisis moral di AS dan solusinya adalah perbaikan mental dan spiritual!.
Sejak negeri ini didirikan, Indonesia sudah punya konsep ekonomi yang sesuai dengan falsafah, pandangan dan pola hidup masyarakat Indonesia. Bahwa munculnya istilah demokrasi ekonomi, ekonomi kerakyatan dan konsep koperasi yang kemudian disebut sebagai “Soko Guru” perekonomian rakyat dinilai menjadi solusi yang patut dan sesuai diterapkan di Indonesia yang bersandarkan pada Pancasila. Itulah nilai nilai lama kita dan kita lupa, maka