MENELADANI KIAI ZAINAL ARIFIN SUMENEP

R.K.H SYAMSUL ARIFIN
R.K.H SYAMSUL ARIFIN

MENELADANI KIAI ZAINAL ARIFIN SUMENEP

KH zainal arifin dilahirkan di desa Tarate pada tahun 1293 atau bertepatan dengan tahun 1877 M.  dari keluarga yang akrab dengan lingkungan pesantren dari pasangan Kiai Thalabudin dan ibu Nyai Aisyah, yang semenjak kecil bernama Lora Zainal Abidin. ia adalah putra kiai di daerah Madura dan tapal kuda sebagaimana sebutan Gus atau Mas untuk putra kiai di wilayah Jawa.

Secara nasab, bila dirunut ke atas, baik dari jalur Kiai Thalabudin atau Nyai Aisyah, KH Zainal arifin adalah keturunan Sunan Giri melalui jalur Sunan Cendana Kwanyar Bangkalan di satu sisi dan keturunan Brawijaya V, raja terakhir Mojopahit melalu jalur Lembu Peteng. Dengan begitu,  maka dapat dipastikan bahwa dalam diri KH zainal arifin terdapat titisan darah ulama, sekaligus darah para raja Jawa

Selang beberapa bulan kemudian Kiai Thalabudin benar-benar ditakdirkan oleh Allah SWT. meninggal pada 18 Dzulhijjah 1293, yang bila dikonvensi ke kalender masehi tepat pada hari Rabu 3 Januari 1877 M. Perasan sedih dialami oleh Nyai Aisyah, termasuk keluarga besar pesantren.

Dalam kondisi yatim tumpuhan hidup KH zainal arifin kecil bergantung kepada sang ibu, Nyai Aisyah. Pastinya ada perjuangan dan tantangan tersendiri ditinggal ayahnya, Kiai Thalabudin, yang tidak dialami oleh saudara-saudara lain. Pasalnya, KH zainal arifin adalah anak terakhir dari empat bersaudara, yaitu Kiai Sholehuddin Situbondo, Nyai Syafiyah Tanggul dan Nyai Shalehah. Di samping itu,  KH zainal arifin juga memiliki dua saudari lain ibu, yang bernama Nyai Aminah dan Nyai Atiyah dari istri kedua Kiai Thalabudin,  yang bernama Nyai Absari dari Batoan.

Hidup dalam lingkungan pesantren menjadi jalan bagi KH zainal arifin untuk mengenal lebih mudah tradisi-tradisi  pesanten sejak dini. Berkat bimbingan keluarga, khususnya Nyai Aisyah mengantarkan KH zainal arifin mempelajari ajaran Islam dan ilmu-ilmu yang terkait, terlebih dimulai dengan belajar membaca al-Qur’an dengan baik sebagai kebutuhan awal sebagai Muslim.

Lebih dari itu, Beliau juga belajar beberapa kitab kuning yang diajarkan di pesantren peninggalan ayahnya  dengan tekun. Baru setelah dipandang cukup umur, KH zainal arifin merantau untuk nyantri ke pondok pesantren lain di Madura. Pastinya, proses nyantri dilakukan selalu mendapat restu dari Nyai Aisyah, yang menjadi penentu laju kehidupan KH zainal arifin. Ada dua pondok pesantren di Madura yang sempat menjadi jujukan KH zainal arifin untuk melanjutkan pendidikan, yakni pondok pesantren Karay Sumenep dan pondok pesantren Syaikhana KH. Muhammad Kholil Bangkalan.

Pertama, pondok pesantren Karay Ganding Sumenep adalah salah satu pesantren tua di Sumenep yang pada era KH zainal arifin  diasuh oleh KH. Imam ibn Mahmud. Perlu diketahui keluarga pesantren Karay masih memiliki hubungan nasab dengan keluarga KH zainal arifin. Karenanya, dengan nyantri di pesantren Karay, KH zainal arifin memperoleh dua hal sekaligus, yakni sebagai santri untuk mendalami ajaran Islam serta ilmu-ilmu terkait dalam kitab kuning  di satu sisi, dan di sisi yang berbeda sebagai sarana merajut silaturrahim antar sesama famili dari jalur leluhurnya.

Semangat dan istiqamahnya dalam beribadah menjadi sebab KH zainal arifin memperoleh isyarat langit dengan bentuk suara ghaib, yang intinya agar beliau melanjutkan untuk berkelana menuntut ilmu. Tidak mau berlama-lama, KH zainal arifin menuntut ilmu kembali ke pesantren Karay, setelah mendapat restu ibunya. Tapi, sayang sang Guru, Kiai Imam menolaknya dan menganjurkan agar belajar ke pondok pesantren di Bangkalan asuhan Syaikhana KH. Muhammad Kholil ibn Abdul Lathif.

Anjuran gurunya direspon dengan baik, di samping memang dalam diri memang tertanam kecintaan terhadap ilmu yang sangat tinggi. Atas seijin ibunya, Nyai Aisyah, berangkatlah KH zainal arifin menuntut ilmu ke pondok pesantren Syaikhana Kholil Bangkalan. 

Di Pondok ini, KH zainal arifin dikenal sebagai santri yang mempunyai ilmu sagaran, yakni santri yang memiliki kemampuan menguasai berbagai ilmu dengan baik. Karenanya, beliau menjadi rujukan banyak santri dalam menanyakan pelbagai persoalan dengan beragam disiplin. Menariknya, di pondok ini juga, KH zainal arifin juga dinikahkan oleh Syaikhana Kholil dengan santriwati, yang bernama Siti Aminah. Tidak begitu lama, setelah memandang kemampuannya sangat baik, Syaikhana Kholil memaksa agar KH zainal arifin kembali pulang bersama Istrinya ke Tarate Sumenep.

Dari proses belajar di pondok pesantren Syaikhana Kholil, KH zainal arifin dan istirinya, Sitinah Aminah dan ibu nyai Hj. Hatijah setelah menunaikan ibadah haji. Di Tarate Sumenep, KH zainal arifin bersama istri memulai proses baru dengan menjadikan tradisi pesantren sebagai jalan perjuangannya sebagaimana diwariskan dari sang ayah Kiai Thalabbudin dengan mendirikan pondok pesantren Tarate Sumenep sekitar tahun 1898.  Dari pesantren ini, beliau menularkan gagasan dan berkomunikasi dengan masyarakat luas untuk menyebarkan ilmunya sebagai ladang dakwah, sekaligus memberikan solusi terhadap problem-problem kemasyarakatan dan kebangsaan.

khusus pada malam hari beliau mengamalkan bacan-bacaan khusus yang biasa dibaca oleh penganut tarekat Naqsyabadiyah. Ikuti terus Kisah Karamah Wali-Wali Allah untuk mendapatkan kisah inspiratif dan pelajaran hati dari para kekasih Allah berikutnya. Menurut riwayat sanad ketarekatan Kiai Zainal diperoleh melalui proses baiat dari Syaikh Abdul Adhim dari Bangkalan (W. 1335 H/1916M), salah satu khalifah tarekat Naqsyabadiyah yang sangat dikenal baik di Madura, bahkan  di Makkah. Dari Syaikh Abdul Adhim penganut tarekat meluas di berbagai wilayah di Madura. Perlu diketahui bahwa Syaikh Abdul Adhim memperoleh sanad tarekat dari Syaikh Muhammad Shaleh al-Zawawi al-Makki.

Tahun 1917 hingga 1928, Kiai Zainal tercatat sebagai aktivis, bahkan pernah menjabat pimpinan  Serikat Dagang Islam (SDI) cabang Sumenep. Perlu diketahui SDI -dalam perkembangannya berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI)--  adalah merupakan organisasi perkumpulan para pedagang Islam yang pertama kali lahir di Indonesia atas inisiasi Haji Samanhudi dan dilanjutkan oleh HOS. Tjokroaminoto untuk merespon kebijakan politik Belanda yang memberikan kemudahan bagi asing untuk masuk ke Nusantara, yang dianggap mengancam sintem perekonomian lokal.

 era perang revolusi 1945 yang melibatkan peran Santri di berbagai daerah memantik Kiai Zainal terlibat aktif sebagai pimpinan pasukan Sabilillah bersama Kiai Abi Suja’, yang masih keponakannya. Berbagai upaya dilakukan, termasuk di antaranya menjadi pelatih kanuragan bagi para anggota Sabilillah untuk menguatkan daya juang merebut kemerdekaan. Karenanya, kontribusi Kiai Zainal sebagai pejuang diabadikan namanya agar dikenal –sekaligus diteladani perannya-- oleh generasi terkini sebagai nama jalan. Nama Jalan ini ditetapkan oleh Pemda Tingkat II Sumenep dengan sebutan “jalan KH. Zainal Arifin”, berada di persimpangan jalan tengku umar dan jalan Diponegoro ke arah selatan kota Sumenep.

Perlu diketahui,  Kiai Zainal keluar dari keanggotaannya di Sarekat Islam (SI) setelah NU berdiri pada tahun 1930 Masehi di Sumenep. Alasannya cukup rasional, yang disampaikan oleh Kiai Zainal kepada salah satu muassis NU Sumenep Kiai Abi Suja’ ketika meminta restu proses pendirian NU di Sumenep setelah kedatangan Kiai Munif sebagai konsulat NU Jawa Timur.

Kiai Zainal mengatakan kepada Kiai Abi Suja’ sebagai berikut:
“Kalau sekarang Nahdatul ulama berdiri, maka SI sudah tidak diperlukan lagi sebab SI perjuangannya hanyalah mas’alah ekonomi islami. Jadi dengan adanya Nahdlatul Ulama kini sudah waktunya Ulama tampil ke depan. Dari itu, kamu saja yang menjadi pelopornya sebab saya sudah tua.

Akhirnya. Itulah kisah singkat perjalanan hidup Kiai Zainal Arifin Tarate Pandian Sumenep. Yang perlu diingat, sepanjang hidupnya, beliau telah mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk pengembangan ilmu, berdakwah, beribadah dan mengabdikan diri kepada masyarakat dan bangsa. Dengan cara ini nama beliau layak dikenang dan diteladani bagi generasi sekarang, sekalipun beliau telah lama meninggalkan kita semua pada hari Rabu setelah sholat Subuh. Bertepatan dengan tanggal 22 Muharram 1373 H atau tanggal 20 September 1953.

Kedalaman ilmu Lora Zainal lambat laun mendapat pantauan serius dari Kiai Imam sehingga mendorongnya untuk segera pulang ke rumah Tarate. Anjuran pulang ini diharapkan agar Lora Zainal membuka pesantren sendiri sehingga dapat menyebarkan ilmu kepada masyarakat secara luas sebagai wujud melanjutkan spirit dakwah yang telah lebih dulu dilakukan oleh para leluhur. 

Wallahu a'lam.


ILMU AJAIB..✨✨✨
Ajaztukum, Alangkah baiknya jika ucapkan Qobitu dan share dulu postingan ini sebelum anda mengamalkan Nya.
Semoga bermanfaat
ILMU AJAIB..✨✨✨
Ajaztukum, Alangkah baiknya jika ucapkan Qobitu dan share dulu postingan ini sebelum anda mengamalkan Nya.
Semoga bermanfaat


---Semoga Bermanfaat 🍃
______________________

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post