"Kutukan" Partai Golkar, di Ambang Perpecahan Tiap Jelang Pemilu
Partai Golkar tengah di ambang perpecahan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Ini terjadi setelah sejumlah politisi senior Golkar mendorong dilaksanakannya Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) untuk mengganti Ketua Umum Airlangga Hartanto.
Sejumlah politisi itu mengatasnamakan diri mereka eksponen pendiri Golkar, diprakarsai Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri (Soksi) Lawrence TP Siburian, anggota Dewan Pakar Golkar Ridwan Hisjam, dan politikus senior Golkar Zainal Bintang.
Lawrence mengatakan, arah Golkar menjelang Pemilu 2024 hingga saat ini tidak jelas. Sebab, hanya Partai Amanat Nasional (PAN) yang berpeluang berkoalisi dengan Golkar.
"Kami sudah tahu kok, tinggal PAN yang bisa berkoalisi. (Elektabilitas) PAN punya 7 persen, Golkar punya 14 persen, kalau digabung 21 persen," kata Lawrence dalam konferensi pers di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Lawrence menilai, Airlangga yang dipilih sebagai bakal calon presiden Golkar untuk Pemilu 2024, tak kunjung bergerak. Oleh karena itu, eksponen pendiri Partai Golkar mendorong agar segera dilakukan Rapimnas, lalu Munaslub.
Di sisi lain, isu perpecehan seolah menjadi kutukan tersendiri bagi partai beringin setiap menjelang pelaksanaan pemilu.
Setidaknya, isu perpecahan terjadi pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Berikut ulasan mengenai perpecahan di tubuh Golkar:
Retak jelang Pemilu 2014
Ketika menjelang pelaksanaan Pemilu 2014, internal Golkar mengalami perpecahan menyusul rencana berkoalisi dengan Partai Demokrat.
Perpecahan terjadi dalam kubu yang mendukung Ketua Umum Partai Golkar ketika itu, Aburizal Bakrie menjadi bakal calon presiden bersama Pramono Edhie sebagai bakal calon wakil presidennya.
"Ada gempa di mana-mana, perpecahan di ring satu Ical sendiri," kata politikus senior Golkar Zainal Bintang, Sabtu (17/5/2014).
Kubu yang mendukung Ical menjadi bakal capres dan disandingkan dengan Pramono Edhie, di antaranya adalah Wakil Ketua Umum Partai Golkar saat itu, Agung Laksono dan MS Hidayat.
Kedua nama itu masuk dalam Tim 6 yang mewakili Golkar untuk membahas rencana koalisi bersama Partai Demokrat.
Sementara itu, yang menolak adalah kubu Ketua DPP Partai Golkar Rizal Mallarangeng, bersama Sekjen Partai Golkar Idrus Marham, dan Bendahara Umum Partai Golkar Setya Novanto.
Kubu Rizal disebut lebih mendorong Golkar berkoalisi dengan PDI Perjuangan (PDI-P).
"Tampaknya kubu MS Hidayat yang akan menang," ujarnya.
Buntut dari perpecahan ini adalah melemahnya posisi politikus senior Partai Golkar, Jusuf Kalla. Ketika itu, Kalla digadang-gadang menjadi salah satu figur kuat untuk menjadi bakal cawapres Joko Widodo yang diusung PDI-P.
Dalam perjalanannya, Golkar akhirnya bergabung dalam Koalisi Merah Putih yang mengusung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Selain Golkar, koalisi ini berisi Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, dan PBB.
Adapun pasangan Prabowo-Hatta menghadapi pasangan Jokowi-Kalla yang diusung PDI-P, PKB, Partai Nasdem, dan Partai Hanura.
Pecah pada 2019
Pada Pemilu 2019, Golkar kembali dibayangi perpecahan di dalam internal mereka. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan politikus Golkar, Fadel Muhammad ketika itu.
Fadel menyebut internal Golkar pecah setelah Jokowi menggandeng Ma'ruf Amin sebagai cawapres menghadapi Pemilu 2019. Sebab, Golkar sejak awal berharap Jokowi akan menggandeng kader Golkar.
Menurut Fadel, tidak menutup kemungkinan perpecahan itu membuat sebagian kader Golkar mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
"Belum tahu, (kemungkinan mendukung Prabowo - Sandiaga) besar. Apalagi Sandiaga Uno. Sandiaga Uno orang Gorontalo," katanya di Universitas Brawijaya, Kota Malang, Selasa (21/8/2018).
Hanya saja, ia tidak menyebutkan seberapa banyak kader Golkar yang berpotensi mengalihkan dukungan kepada Prabowo-Sandiaga Uno.
Fadel juga mengungkapkan bahwa internal Golkar pecah ke dalam dua kubu. Yakni kubu yang tetap fokus untuk memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin dan kubu yang merasa kecewa atas terpilihnya nama Ma'ruf Amin.
Kubu yang merasa kecewa itu disebut akan fokus untuk menjaga suara Golkar pada Pemilu Legislatif.
Sebab, Fadel menilai suara Golkar akan merosot akibat tidak memiliki kader yang maju sebagai calon presiden dan wakil presiden.
"Karena kita terancam juga. Begini, nanti suara rakyat itu akan dua. Satu untuk PDI-P, satu ke Gerindra. Golkar ketiga, karena kita tidak ada calon presiden kan. Wapres nggak ada. Terancam Golkar tidak menjadi nomor dua lagi," jelasnya.
Dalam perjalanannya, Golkar pada akhirnya bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju yang mengusung pasangan Jokowi-Ma'ruf. Koalisi ini terdiri dari PDI-P, Golkar, PKB, Hanura, PKPI, PSI, Perindo, dan PBB.