JATAH GAGALKU MASIH ADA BERAPA BANYAK?
Sesuai judul di atas, mungkin Anda pun pernah mendengar nasihat ini: ‘Habiskan jatah gagalmu di saat muda’. Agar saat tua tidak perlu lagi mengalami kegagalan yang tidak perlu. Salah satunya karena kurangnya pengalaman atau pengetahuan yang seharusnya didapat sejak muda.
Para inovator dan wirausahawan yang saat ini sedang merintis bisnis, yang mereka yakin betul: gagasan bisnis ini akan booming di masa depan, mereka adalah anak-anak muda dengan semangat luar biasa.
Bilangan Usia Tampaknya Tidak Jadi Masalah
Generasi millenial pun menjadi the next world class entrepreneur, pada usia yang jauh lebih muda daripada pendahulunya. Dahulu, kewirausahaan adalah bidangnya mereka yang berada di rentang usia 40-50 tahunan. Sekarang, 20an bahkan belasan tahun alias masih remaja sudah berani menjadi pribadi yang mandiri dengan menjadi entrepreneur muda.
Kemajuan teknologi dan norma-norma budaya yang berubah memungkinkan para anak muda kreatif untuk melakukan hal-hal yang menjadi passion mereka sendiri. Bilangan usia tampaknya tidak jadi masalah.
Tunggu Dulu, Ada Kenyataan yang Mengejutkan!
Tetapi tunggu dulu, di balik kabar gembira itu, ada kenyataan yang mengejutkan: menjadi young entrepreneur tidak mudah. Dengan sedikit pengalaman di dunia nyata dan bahkan lebih sedikit modal, merintis bisnis yang sukses seringkali membutuhkan usaha percobaan berkali-kali, dan juga pengorbanan. Soal mental dan daya juang, jangan ditanya lagi.
Satu hal yang pasti: Pengusaha muda pasti mengalami kegagalan. Bahkan mereka yang dikenal dengan kemampuan terbaik dan relasi luas pun tahu bahwa mereka pun gagal pada waktu tertentu.
Kegembiraan dan ketakutan inilah yang menarik pikiran kreatif muda ke ‘permainan’ bisnis yang seru (untuk tidak menyebutnya sebagai kompetisi). Tapi itu juga yang mendorong mereka berjuang untuk terus maju.
Habiskan Jatah Gagal di Saat Masih Muda
Berapa banyak kutipan inspirasional yang telah kita lihat tertulis di cangkir kopi dan buku catatan, memberitahu kita bahwa kesuksesan sejati datang dari belajar untuk mengakui kegagalan sebagai momen belajar yang efektif? Kegagalan adalah hal yang baik. Tanpa itu, tidak ada ruang untuk perbaikan.
Tentu, kemenangan itu bagus, tetapi hal baru yang inovatif terjadi setelah masalah terjadi. Dengan alasan untuk belajar dan demi pengalaman itu, ada benarnya juga untuk habiskan jatah gagal di saat masih muda.
Kisah
Aku memulai karir bisnis saat duduk dibangku TK, setiap hari kami mendapat jatah jajanan kue dan minum di sekolah. Kadang dapat jajanan seperti ote-ote, sanggar, tahu isi, apam, bingka, dan kue lainnya. Minumnya teh, susu atau bahkan sirup aneka rasa. Ibu tidak memberi cukup uang jajan untuk berbelanja, uang sakuku paling banyak 100 rupiah bisa dapat es genipo 4 kala itu.
Aku membawa bekal setiap hari untuk mengenyangkan perutku yang mudah lapar, dan meminta sisa kue yang berlebih dari bu guru jika ada. Uang saku, aku biarkan utuh dan ditabung.
Beranjak SD, aku terbiasa memiliki tabungan dan sangat senang menghasilkan uang dan mulai tidak puas hanya dari sekedar uang saku. Untuk meningkatkan pendapatan, aku mulai menjualkan es genipo milik tetangga dengan upah 2,5rupiah/es genipo.
Uang hasil penjualan dicatat rapi oleh pemilik di buku catatan kecilku, aku memperhatikan setiap hasil yang tertulis. Uang terus bertambah dan aku semakin tidak puas tanpa mengurangi rasa syukurku.
Aku merasa masih mampu membawa lebih dari satu termos es ke sekolah, dan meminta ibuku membuatkan jajanan kue donat, bihun atau yang lainnya untuk aku jual. Akhirnya setiap pagi aku membawa satu termos es dan satu keranjang kue.
Jualanku selalu habis, karna sainganku tidak ada yang seaktif aku menjajakan jualan sambil bermain dan menjajakan sepanjang perjalanan dari rumah ke sekolah yang berjalak kurang lebih 5 km.
Uang yang aku kumpulkan, tetap saja tidak mencukupi semua keinginanku. Seperti sepeda baru, membeli baju setiap bulan atau bahkan mainan baru yang bagus. Mainanku sederhana, main gambar di tepuk atau kompak, main kelereng, main logo dari tempurung kelapa, patil lele, main ban bekas yang digiring sepanjang jalan pakai kayu dan potongan botol bekas dan mainan murah sederhana lainnya. Keinginan yang belum tercapai, membuatku semakin berpikir untuk menghasilkan yang lebih lagi.
Kelas 3 SD kami pindah rumah dekat dengan lapangan sepak bola, setiap ada lomba antar kampung pasti ramai dan sering diadakan acara kampung di lapangan tersebut. Setelah aku memberdayakan ibu untuk membuat kue, kini ayahku juga aku libatkan membuat pondok kecil sederhana dari kayu dan terpal untuk berjualan di tepi jalan di salah satu sisi lapangan sepak bola. Setiap ada keramaian dan sepulang sekolah aku berjualan disana, dengam membeli berbagai macam jualan, seperti permen, aneka snack, dan aneka minuman sirup berbagai rasa.
Ibuku juga semakin kreatif membuat berbagai jenis jualan, dari cendol, soto banjar, gado-gado dan berbagai kue lainnya. Tetap saja semua upaya kami jauh dari kata sukses. Untuk membeli baju baru butuh waktu setahun sekali dan itupun dibayar dengan mencicil.
Kami hanya memiliki 1 perkakas terbaik yaitu televisi hitam putih, ayah memliliki 1 vespa hasil dari rewardnya bergabung di bisnis MLM CNI. Ayahku bekerja diperusahaan kayu dan gajinya cukup untuk menghidupi kami dengan sederhana tanpa kemewahan.
Ditengah semua usaha yang kami lakukan, aku tetap mencari peluang menghasilkan uang dan salah satunya adalah menggali besi tua untuk dijual. Bagaimanapun aku bekerja keras dan mengumpulkan uang, hasilnya sangat jauh dari harapan. Aku berpikir harus keluar dari kampung dan pergi ketempat yang lebih ramai.
Tidak mudah bagi ayah dan ibuku melepaskan anak perempuannya pergi begitu saja dan tinggal berjauhan dari mereka. Berbagai syarat diberikan untuk memudarkan tekatku. Syarat terberat yang berhasil aku takhlukan adalah menjadi juara kelas dari seluruh siswa seangkatanku saat kelulusan SD. Menjadi siswa terbaik adalah kesuksesan pertamaku dalam mencapai target dan melewati tantangan yang diberikan orang tuaku.
Sejak SMP aku mulai memberikan target untuk diriku sendiri dan lebih sering mendapatkan tantangan kehidupan.
Ujian demi ujian ternyata lebih berat dan seperti tidak merubah apapun, hanya membuat aku terbiasa melewatinya. Kelas dua SMP ujian terberat dan titik balik keluarga kami adalah saat Ayah meninggal. Semua gelap, suram dan tak ada gambaran masa depan.
Source: Nur Ariyanti