Skip to main content

TRADISI SALING KRITIK ANTAR ULAMA


TRADISI SALING KRITIK ANTAR ULAMA

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq 

Dalam aturan syariat, yang dilarang itu membuka kesalahan atau aib yang sifatnya pribadi di depan umum, bukan kekeliruan atau ketidaktepatan pendapat fiqih atau masalah keilmuan lainnya.

Kecuali kalau aib pribadi itu punya efek yang merusak masyarakat, atau kejahatan yang dilakukan secara terbuka, apa lagi pelakunya adalah orang fasik, ulama sepakat membolehkan langsung menegurnya di depan umum untuk menegakkan amar ma'ruf nahi munkar.

Sedangkan dalam dunia ilmu, saling koreksi dan membantah pendapat lain itu hal yang sangat biasa, asalkan disampaikan dengan cara beradab dan tidak sampai menjatuhkan kehormatan. 

Alangkah indahnya nasehat imam Syafi'i tentang masalah ini :

انتقد القول ولكن احترم القائل فـإن مهنتنا أن تقضي على المرض وليس المريض

“Kritiklah pendapat namun tetap hormatilah sang pemilik pendapat. Karena tujuan kita adalah menyingkirkan penyakit bukan orang sakitnya."

Para ulama bahkan saling mengarang kitab untuk membantah pendapat pihak lain. Imam Ghazali pernah menghajar ulama yang mengajarkan ilmu filsafat seperti Ibnu Sina dan al Farabi dengan karyanya Tahafutul Falasifa (Kerancuan Falsafah). 

Lalu kemudian ulama filsuf lainnya yakni Ibn Rusyd mengkritik balik imam Ghazali dengan karyanya Tahafutul Tahafut (Kerancuan diatas kerancuan)

Imam al 'Ani yang bermadzhab Hanafi mengkritik kitab Fath al Bari karya al imam Ibnu Hajar al Asqalani, yang menurutnya terlalu menonjolkan madzhab Syafi'i ketika mensyarah shahih Bukhari. Maka ia menulis syarah Bukhari yang diantara isinya menyampaikan kritikan-kritikannya.

Lalu oleh Ibnu Hajar, kritik tersebut dijawab dengan kitabnya yang berjudul Intiqadh al Intiradh.

Maka, hanya mereka yang buta dunia ilmu yang tidak tahu fakta ini, mengira koreksi dan kritik sama dengan mencela atau menghina.

Justru dengan adanya kritik dan masukan akan memberikan pelajaran bagi umat yang awam, betapa kita ini bukan siapa-siapa dibanding ulama pendahulu kita, sehingga menyelamatkan dari taqlid buta kepada para ustadz. Jangan sampai kita beranggapan ustadz, kiyai atau ulama hari ini lebih alim dari para ulama terdahulu.

Kadang karena keawaman, orang berselogan jangan taklid kepada ulama madzab, tapi dalam prakteknya dia malah taklid buta kepada ustadz tempat pengajiannya.

Selanjutnya dengan adanya saling koreksi, bukan malah akan menjatuhkan, justru akan semakin mengangkat pihak yang dikoreksi, karena beliau berarti memiliki kapasitas untuk berbicara di bidang tersebut.

Dan sama sekali tak berarti yang mengoreksi lebih baik dari yang dikoreksi, yang merasa seperti itu hanya tukang baper dan ke-GR-an. Tentu bukan level ulama yang tukang baperan lagi ngambekan. 

Ulama itu biasa dibully, dimaki, difitnah dan dikatain macam-macam. Terus ketika dikritik dan diberi masukan jadi baper ?

Saya yang cuma tukang copy paste inipun biasa menerima koreksi langsung atas kesalahan nukil dalil atau pencantuman kitab, atau pendapat yang tidak utuh. Biasa aja. Justru itu hal yang paling menyenangkan. 

Karena kita telah diselamatkan dari kesalahan, minimal ketidaktepatan yang akan mengurangi pahala di akhirat. Diingatkan atau ditegur itu harusnya bersyukur.

Justru yang berbahaya itu ketika telah jatuh dalam kesalahan malah di dukung dan dicari pembenarannya. Itu akan membuat seseorang terjerumus kian dalam.

Ketika hari ini kita mulai alergi dengan kritik dan debat ilmiah yang ditujukan kepada tokoh yang kita kagumi atau pendapat yang kita ikuti, akhirnya yang subur adalah budaya saling hujat, hina dan menjatuhkan kehormatan sesama muslim.

Karena memang untuk bisa mengkritik dengan baik bukanlah perkara yang mudah. Dibutuhkan tidak hanya sekedar ilmu yang cukup, tapi juga dada yang lapang dan niat yang baik dalam menyampaikan.

Lalu tak kalah sulit dan beratnya sikap dalam menanggapi kritik tanpa ada rasa dendam dan kekesalan di hati, karena selain ilmu, dibutuhkan pula kebesaran jiwa. 

Sebab itulah sebaiknya orang awam menjauhi medan berbahaya ini. Biarkan saja ulama saling beradu ilmu sesama mereka, sebagai bentuk penunaian amanah yang memang mereka emban. Kita tidak perlu ikut-ikutan.

Itu mengapa ketika Sa'ad bin Abi Waqash berdebat dengan Khalid bin Walid lalu ada orang awam nimbrung membela dirinya, bukannya senang karena mendapatkan pembelaan, Sa'ad justru menghardik orang tersebut :

مه! إن ما بيننا لم يبلغ ديننا

“Tutup mulutmu, sesungguhnya permasalahan di antara kami ini tidak sampai menyentuh agama kami."

Kita harus ingat, bahwa para ulama itu ketika berdebat, berijtihad dan saling melontarkan kritik sesama mereka, jika benar mereka berpotensi mendapatkan pahala dua, jika keliru mendapatkan pahala satu.

Sedangkan kita yang awam, dapat apa coba selain dosa dan permusuhan ???

Wallahu a'lam.


Comments