SYAIKH ABDUL QADIR KECIL SAAT MASIH BELAJAR
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Ketika Syaikh Abdul Qadir Jailani rahimahullah masih kecil atau usia belajar, Baghdad pernah dilanda krisis pangan yang sangat hebat.
Akibatnya banyak orang yang mengalami kesulitan meski sekedar mencari makanan pengganjal perut, termasuk yang dialami beliau rahimahullah.
Syekh Abdul Qadir al Jailani menceritakan sendiri kondisi yang ia alami :
وكنت أقتات بخروب الشوك، وورق الخس من جانب النهر
“Aku pernah makan sisa daun kol dan juga daun selada yang aku punguti dari tepi sungai.”
Pernah suatu hari seperti biasa karena sedang lapar, beliau pun pergi ke tepi sungai tempat beliau memunguti sisa sayur mayur.
Tapi ternyata kali ini beliau mendapati tempat tersebut telah didatangi oleh banyak orang-orang miskin yang juga sedang kelaparan. Syaikh Abdul Qadir kecil pun berlalu pergi dari tempat tersebut, padahal juga telah merasakan kelaparan yang sangat.
Akhirnya beliau memilih kembali ke madrasahnya dan beri’tikaf di dalam masjid dalam keadaan lapar yang sudah tak tertahankan. Bahkan beliau mengungkapkan keadaaannya saat itu :
وكدت أصافح الموت
“Sepertinya keadaanku saat itu sudah dihampiri oleh kematian.”
Ketika Syaikh Abdul Qadir dalam keadaan seperti itu. Tiba-tiba ada seorang pemuda yang masuk ke masjid. Pemuda tersebut membawa beberapa potong roti dan daging panggang, ia duduk di tempat yang tak jauh dari Abdul Qadir muda, lalu mulai melahap makanan yang ia bawa.
Melihat hal itu, tak sadar mulut beliau ikut terbuka karena benar-benar merasa kelaparan.
Tiba-tiba sang pemuda tersebut menoleh kepada beliau seraya berkata, “Bismillah. Makanlah wahai saudaraku.”
Awalnya beliau menolak, namun pemuda tersebut mendesak sampai ia bersumpah untuk memberikan makanannya kepadanya. Akhirnya Syekh Abdul Qadir makan sebagian makanan yang diberikan kepadanya.
Sang pemuda lalu melontarkan beberapa pertanyaan kepada beliau tentang apa pekerjaannya dan dari mana asalnya. Syekh Abdul Qadir pun menjawab pertanyaan dengan menjelaskan bahwa beliau adalah penuntut ilmu dan berasal dari daerah Jailan.
Sang pemuda lalu berkata,
وأنا من جيلان، فهل تعرف لي شابا جيلانيا اسمه عبد القادر، يعرف بسبط أبي عبد الله الصومعي الزاهد؟
“Aku juga dari Jailan ! Apa engkau mengetahui seorang pemuda yang bernama Abdul Qadir. Dia dikenal sebagai cucu Abdillah Shauma'i az Zahid ? ”
Syaikh Abdul Qadir menjawab, “Itu adalah aku”.
Mendengar jawaban tersebut, entah mengapa sang pemuda tersebut tiba-tiba gemetaran dan wajahnya berubah menjadi merah.
Lalu dengan suara parau ia berkata :
والله يا أخي! لقد وصلت إلى بغداد، ومعي بقية نفقة لي، فسألت عنك، فلم يرشدني أحد إلى أن نفذت نفقتي، وبقيت بعدها ثلاثة أيام لا أجد ثمن قوتي إلا من مالك، فلما كان هذا اليوم الرابع، قلت: قد تجاوزتني ثلاث أيام، وحلت لي الميتة
“Demi Allah wahai saudaraku. Aku tiba di Baghdad, sedangkan bersamaku hanya ada sedikit bekal yang tersisa. Aku telah bertanya tentang dirimu, tetapi tidak ada yang bisa menunjukkanku kepadamu. Bekalku pun habis.
Selama tiga hari ini, aku tidak mempunyai uang untuk makan, selain uang milikmu yang dititipkan oleh keluargamu yang ada padaku. Ini hari ke empat, dan bagiku hartamu saat ini seperti bangkai yang telah halal bagiku karena darurat.
فأخذت من وديعتك ثمن هذا الخبز والشواء، فكل طيبا، فإنما هو لك، وأنا ضيفك الآن
Maka aku mengambil uang titipan untukmu, seharga roti dan daging panggang ini. Sekarang, makanlah dengan tenang. Karena ia adalah milikmu. Aku sekarang adalah tamumu, yang sebelumnya kamu adalah tamuku.”
Pemuda itu melanjutkan, “Ibumu telah menitipkan kepadaku uang 8 dinar (32 jt) untukmu. Aku tidak mengkhianatimu dalam hal ini sedikitpun.”
Syekh Abdul Qadir al Jailani menjawab dengan jawaban lembut, menenangkan pemuda tersebut dengan mengatakan bahwa beliau tidak mempermasalahkan. Lalu ia memberikan sebagian uang yang tersisa dan makanan kepada pemuda tersebut.
Wallahu a’lam.
-------------
📜Siyar A’lam Nubala (20/444-445)