Doa Anak yang Tidak Sholeh, Menurut Imam Ghazali


Doa Anak yang Tidak Sholeh, Imam Ghazali

oleh: Muqoffa Mahyuddin, SAg., MHum

Sebagai umat muslim kita selalu diingatkan kalau kehidupan di dunia adalah sementara. Kelak, kita akan mendapat ganjaran dari Allah SWT atas apa yang dilakukan di dunia. Setelah meninggal dunia, putus segala amal kita kecuali tiga hal. Hal ini sesuai hadist Rasulullah, riwayat Bukhari dan Muslim.

Artinya: “ Dari sahabat Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, ‘Bila seseorang meninggal dunia, maka amalnya terputus kecuali berasal dari tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya" . Untuk itu sebagai muslim kita harus selalu melakukan amal jariyah dan menebarkan ilmu bermanfaat. Satu hal lagi, berusaha keras agar anak-anak menjadi orang saleh, yaitu dengan mengasuhnya berdasarkan nilai-nilai Islam. 

Mungkin muncul pertanyaan, bagaimana jika anak bukan orang saleh. hal tersebut berusaha dijelaskan Imam Al Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin. Imam Ghazali Merujuk Surat At Thur Ayat 21. Imam Al Ghazali mengakui bahwa hadits itu hanya menyebutkan doa anak yang saleh. Menurutnya secara umum, kesalehan itu melekat pada anak-anak orang yang beriman, terlebih anak orang-orang yang teguh dalam beragama. Mereka dapat dikatakan sebagai anak yang saleh meski juga melakukan dosa dan berbuat fasik.

Artinya: “ Seseorang berkata, ‘Anak kadang tidak saleh sehingga doanya tidak berpengaruh bagi kedua orangtua. Padahal ia mukmin. Kesalehan sudah umum pada keturunan orang beragama, terlebih kalau orang bertekad mendidik dan mengantarkannya pada kesalehan. Secara global, doa orang beriman untuk kedua orang tuanya tetap berguna baik ia anak berbakti maupun anak durhaka. Kedua orang tuanya akan tetap diberi pahala atas doa dan kebaikan anaknya karena itu bagian dari ikhtiarnya dan ia tidak akan disiksa karena dosa keturunannya. Pasalnya setiap orang tidak menanggung dosa orang lain,” (Imam Al Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz II, halaman 30). Imam Al Ghazali berpijak pada Surat At-Thur ayat 21 dalam membangun argumentasinya. Ia mengutip Surat At-Thur ayat 21.

 Artinya: “ Orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan keturunan mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat pada apa yang dikerjakannya,” (Surat At-Thur ayat 21). 

Menurut Imam Al Ghazali, Allah berdasarkan Surat At-Thur ayat 21 tidak akan mengurangi pahala kedua orang tua yang telah meninggal karena amal fasik dan dosa yang diperbuat anaknya yang masih hidup. Sebaliknya, Allah menjadikan kehidupan anak mereka sebagai tambahan pahala bagi kedua orang tuanya. (Al Ghazali, 2018 M/1439-1440 H], II/30). 

Mengasuh dan membesarkan anak bukanlah sesuatu yang mudah. Banyak sekali cobaan yang datang dan sebagai orangtua kita harus selalu meminta perlindungan dan kekuatan dari Allah SWT. Nabi Ibrahim a.s. merupakan salah satu sosok orangtua ideal yang telah dicontohkan Allah SWT di dalam Alquran. 

Menurut Prof. Quraish Shihab dalam tafsirnya, beliau mengutip pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa nama Ibrahim merupakan bentuk majmu’ dari kata ab dan rahim. Ab berarti ayah dan rahim berarti penuh kasih. Beliau adalah ayah yang penuh kasih. Ada juga yang berpendapat bahwa nama tersebut berasal dari bahasa Ibrani, Abram yang bermakna ayah kelompok manusia yang banyak. Sifat penuh kasih Nabi Ibrahim a.s. ditunjukkan dengan doa-doa beliau untuk anak-anaknya dan keturunan. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah mengabadikan doa-doa Nabi Ibrahim a.s. yang selalu menyertakan anak cucunya dalam doanya. Di antaranya adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 124.

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya  dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “ Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “ Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “ (Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” Pada Q.S. Ibrahim ayat 35, Nabi Ibrahim a.s. berdoa kepada Allah SWT agar anak cucunya dijauhkan dari penyembahan berhala. Beliau memohon agar kiranya fitrah kesucian yang dianugerahkan Allah dalam jiwa setiap manusia yaitu Tauhid terus terpelihara dalam jiwa anak cucunya.

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, “ Ya Tuhan, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala. Nabi Ibrahim a.s. tidak hanya memohon kepada Allah agar anak keturunannya memiliki iman yang kokoh. Beliau juga berdoa seperti dituliskan di Q.S. Ibrahim ayat 40 demi anak dan keturunannya menjadi hamba-hamba Allah yang selalu melaksanakan perintah-Nya berupa sholat.

Artinya: Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan salat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. Doa Nabi Ibrahim a.s. tersebut, mengingatkan para orangtua agar tidak lupa mendoakan. Menjaga kesehatan mental anak sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Sayangnya, banyak orangtua tak terlalu memperhatikan aspek tumbuh kembang psikologis anak. Fokus perhatianya lebih pada memenuhi kebutuhan gizi, materi, dan akademik. Terkait hal ini sebenarnya Islam memberikan tuntunan bagi para orangtua untuk menjaga kesehatan buah hatinya. Pilih Pasangan Hidup yang Baik. Kepedulian dan perhatian Islam terhadap kesehatan psikologis anak dimulai jauh sebelum ia dilahirkan. Islam mendorong laki-laki 
memilih calon ibu yang saleha bagi anaknya (calon istrinya). Begitu pula wanita didorong agar memilih calon ayah yang saleh bagi anaknya (calon suaminya). Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: “ Wanita dinikahi karena empat hal: hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari). Beliau juga bersabda:

“ Jika ada yang datang kepada kalian hendak meminang, seseorang yang kalian ridhai agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Karena jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan juga kerusakan yang meluas.” (HR. At-Tirmidzi). Tak boleh pesimis dengan anak perempuan. Alquran mengkritik orang-orang jahiliyah ketika bayi yang terlahir perempuan, mereka menyambutnya dengan penuh kesedihan dan rasa pesimistis. Sikap tersebut terhadap lahirnya anak perempuan termasuk perkara yang diharamkan. Allah SWT berfirman:

Artinya: “ Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) wajahnya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl: 58-59. Jangan Pilih Kasih. Beberapa orangtua memperlakukan anak-anak mereka secara berbeda (pilih kasih). 

Hal ini tentunya akan sangat berdampak negatif pada kondisi psikologis anak bahkan hingga dewasa. Oleh karena itu Islam memerintahkan agar orang tua bersikap adil kepada anak-anaknya dalam hal pemberian maupun interaksi dan perlakuan yang mencerminkan rasa kasih sayang. Diriwayatkan dari Al-Hasan, ia berkata:

Artinya: Suatu ketika Rasulullah saw. sedang berbincang-bincang dengan para sahabat. Tiba-tiba ada seorang anak kecil laki-laki datang menghampiri ayahnya yang berada di tengah-tengah kaum, lalu sang ayah mengusap-usap kepalanya dan mendudukkannya di atas paha kanannya. Tidak lama kemudian, datanglah putrinya dan menghampirinya, lalu ia mengusap-usap kepalanya dan mendudukkannya di tanah. Maka Rasulullah saw. bersabda, “ Bisakah kamu mendudukkannya di atas pahamu yang lain (kiri)?” Lalu lelaki tersebut mendudukkannya (memangkunya) di atas pahanya yang lain. Kemudian Nabi bersabda: “

Sekarang kamu telah berbuat adil.” (HR. Ibnu Abi Ad-Dunya dalam An-Nafaqah ‘ala Al-‘Iyal). Tujuh Adab Anak kepada Orang Tua Menurut Imam Al Ghazali . Setiap anak wajib hukumnya berbakti kepada kedua orang tua. Hal ini sesuai dengan perintah baik yang ada di dalam Al Qur’an maupun hadits. Dalam berinteraksi dengan orang tua, anak harus memperhatikan rambu-rambu etika yang disebut adab. Menurut Imam Al Ghazali sebagaimana disebutkan dalam risalahnya berjudul Al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam Al Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, halaman 444), sekurang-kurangnya ada tujuh adab anak kepada orang tua sebagai berikut:

آداب الولد مع والديه: يسمع كلامهما، و يقوم لقيامهما، و يمتثل لأمرهما، ويلبى دعوتهما، ويخفض لهما جناح الذل من الرحمة ولا يبرمهما بالإلحاح، ولا يمن عليهما بالبر لهما، ولا بالقيام بأمرهما، ولاينظر إليهما شزرًا ولا يعصى لهما أمرًا. 

 Artinya: “Adab anak kepada orang tua, yakni mendengarkan kata-kata orang tua, berdiri ketika mereka berdiri, mematuhi sesuai perintah-perintah mereka, memenuhi panggilan mereka, merendah kepada mereka dengan penuh sayang dan tidak menyusahkan mereka dengan pemaksaan, tidak mudah merasa capek dalam berbuat baik kepada mereka, dan tidak sungkan melaksanakan perintah-perintah mereka, tidak memandang mereka dengan rasa curiga, dan tidak membangkang perintah mereka.” 

Dari kutipan di atas dapat diuraikan ketujuh adab anak kepada orang tua sebagai berikut: Pertama, mendengarkan kata-kata orang tua. Setiap kali orang tua berbicara, anak harus mendengarkan dengan baik terutama ketika orang tua berbicara serius memberikan nasihat. Jika anak bermaksud memotong pembicaraan, sebaiknya memohon ijin terlebih dahulu. Jika memotong saja sebaiknya meminta ijin, maka sangat tidak sopan ketika anak meminta orang tua berhenti berbicara hanya karena tidak menyukai nasihatnya. Kedua, berdiri ketika mereka berdiri. Bila orang tua berdiri, anak sebaiknya juga berdiri. Hal ini tidak hanya merupakan sopan santun, tetapi juga menunjukkan kesiapan anak memberikan bantuan sewaktu-waktu diperlukan, diminta atau tidak. Demikian pula jika orang tua duduk sebaiknya anak juga duduk kecuali sudah tidak tersedia kursi lagi yang bisa diduduki. Ketiga, mematuhi sesuai printah-perintah mereka.

Apapun perintah orang tua anak harus patuh kecuali perintahnya bertentangan dengan syariat Allah SWT. Atau perintah itu melebihi batas kemampuannya untuk dilaksanakan. Jika terjadi seperti ini, seorang anak harus mencoba semampunya. Jika terpaksa harus menolak, maka cara menolaknya tetap harus dengan menjunjung kesopanan dengan memohon maaf dan memberikan alternatif lain yang sesuai dengan kemampuanya. Keempat, memenuhi panggilan mereka. Anak harus segera menjawab panggilan orang tua begitu mendengar suara orang tua memanggilnya. Dalam hal anak sedang melaksanakan shalat (shalat sunnah), ia boleh membatalkan shalatnya untuk segera memenuhi panggilannya. Jika orang tua memanggil anak untuk pulang dan menemuinya, anak harus segera mengusahakannya begitu ada kesempatan tanpa menunda-nunda. Kelima, merendah kepada mereka dengan penuh sayang dan tidak menyusahkan mereka dengan pemaksaan. Seorang anak sealim dan sepintar apapun tetap harus ta’zim kepada orang tua. Ia harus menyayangi orang tua meskipun dahulu mungkin mereka kurang bisa memenuhi keinginan-keinginannya. Seorang anak harus mengerti keadaan orang tua baik yang menyangkut kekuatan fisik, kesehatan, keuangan, dan sebagainya sehingga tidak menuntut sesuatu yang di luar kemampuannya. 

Dengan cara seperti ini anak tidak menyusahkan orang tua. Keenam, tidak mudah merasa capek dalam berbuat baik kepada mereka, dan tidak sungkan melaksanakan perintah-perintahnya. Seorang anak harus selalu mengerti bahwa dahulu orang tua mengasuh dan membesarkannya tanpa kenal lelah dan selalu menyayangi. Untuk itu seorang anak harus selalu berusaha menyenangkan hati orang tua dengan melaksanakan apa yang menjadi perintahnya. Ketujuh, tidak memandang mereka dengan rasa curiga dan tidak membangkang perintah mereka. Seorang anak harus selalu berprasangka baik kepada orang tua. Jika memang ada sesuatu yang perlu ditanyakan, anak tentu boleh menanyakannya dengan kalimat pertanyaan yang baik dan tidak menunjukkan rasa curiga. Selain itu anak tidak boleh membangkang perintah-perintahnya sebab mematuhi orang tua hukumnya wajib. Ketujuh adab di atas adalah minimal dan harus diketahui dan dilaksanakan oleh anak. Semakin dewasa usia seorang anak, semakin besar tuntutan kepadanya untuk memperhatikan dan mengamalkan ketujuh adab itu. Intinya seorang anak tidak bebas bersikap apa saja kepada orang tua.

Demikiamlah Imam Al Ghazali memberikan petunjuk tentang tujuh adab anak kepada orang tua untuk diamalkan dengan sebaik-baiknya. Adab Seorang Anak Kepada Orang Tua Menurut Imam Al Ghazali. Sebagai seorang anak, berbakti kepada orang tua sudah menjadi hal yang wajib. Hal ini juga sudah diperintahkan dalam Al Qur’an dan Hadits. Salah satu bentuk berbakti kepada orang tua adalah dengan memperhatikan etika dan adab antara anak kepada orang tuanya.

Mengenai adab seorang anak kepada orang tuanya juga pernah dibahas oleh Imam Al Ghazali dalam risalah yang berjudul Al-Adab fid Diin yang terdapat dalam buku Majmu’ah Rasail. Dalam tulisan tersebut disebutkan beberapa adab seorang anak kepada orang tua yang perlu diperhatikan, yaitu: Mendengarkan kata-kata orang tua. Seorang anak perlu mendengar dengan baik saat orang tua berbicara. Khususnya jika pembicaraan tersebut adalah pembicaraan serius atau nasihat. Jika seorang anak berencana untuk memotong omongan orang tua, akan lebih baik jika anak meminta izin terlebih dahulu. Berdiri ketika orang tua berdiri. Selain sebagai bentuk sopan santun, hal ini juga menunjukkan kesigapan anak untuk membantu. Jika sewaktu-waktu orang tua memberi bantuan. Sebaliknya, jika orang tua sudah duduk, maka sebaiknya anak juga ikut duduk, kecuali jika tidak lagi ada kursi yang tersedia. Mematuhi perintah orang tua. Selama orang tua memberikan perintah yang tidak bertentangan dengan aturan Allah, maka wajib untuk mengikutinya. Selain itu, jika perintah orang tua melebihi kemampuan anak, maka seorang anak perlu berusaha semampunya atau menolak dengan cara yang baik jika memang benar-benar terpaksa harus menolak.

Memenuhi panggilan orang tua. Begitu anak mendengar orang tua memanggilnya, maka ia harus segera datang. Bahkan jika ia sedang melaksanakan shalat sunnah, tidak menjadi kesalahan jika membatalkan shalat tersebut untuk memenuhi panggilan orang tua. Merendah dengan penuh sayang dan tidak menyusahkan. Kerendahan hati kepada orang tua tetap harus dijaga meskipun sang anak sudah lebih alim dan pintar dari orang tuanya. Selain itu, rasa hormat ini tetap harus ada meskipun dahulu orang tua tidak selalu bisa memenuhi kebutuhan anak. Dan seorang anak juga harus memahami keterbatasan dan kemampuan orang tua, sehingga tidak menuntut sesuatu yang dapat menyusahkan orang tuanya. Tidak mudah merasa capek dalam berbuat baik kepada orang tua. Seorang anak harus memahami bahwa orang tua sudah mengasuh dan membesarkannya tanpa lelah. Sehingga, seorang anak wajib berbuat baik dan berusaha menyenangkan hati orang tua dengan melakukan apa yang orang tua minta. Tidak memandang dengan rasa curiga. Seorang anak juga harus selalu menjaga prasangka baik kepada orang tua. Jika ada sesuatu yang ingin diketahui dari orang tua, jangan bertanya dengan pertanyaan yang terkesan curiga. Usahakan pertanyaan yang disampaikan tetap baik dan tidak menyakiti hati. Itulah adab-adab yang perlu dimiliki oleh anak terhadap orang tuanya. Adab-adab ini perlu diketahui dan dipahami oleh seorang anak. Selain itu, adab ini juga perlu diajarkan oleh orang tua kepada anaknya. Sehingga, anak akan terbiasa dan memahami dengan baik mengenai adab-adab tersebut hingga ia dewasa dan orang tua sudah berusia lanjut. Memperlakukan orang tua dengan baik atau berbuat baik dengan orang tua adalah suatu kewajiban bagi seorang anak. Tetapi permasalahan yang terjadi di masyarakat pada umumnya saat ini adalah kurangnya hormat dan rasa patuh kepada orang tua, bahkan ada sebahagian anak tidak sanggup mengurus dan merawat orang tuanya. Berdasarkan permasalahan tersebut maka peneliti akan melakukan penelitian yang berjudul “Konsep Ikhsan Terhadap Orang Tua Menurut Imam Al Ghazali”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep ikhsan terhadap orang tua menurut Imam Al Ghazali. Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian yang bersifat kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif, naratif dan eksploratif. 

Dengan teknik pengumpulan data menggunakan studi pustaka. Teknik analisis data menggunakan metode content analisis, interpretasi dan metode analisis deskriptif, naratif dan eksploratif yang selanjutnya akan dilakukan reduksi data, penyajian data dan verifikasi data untuk menganalisis data. Hasil penelitian menunjukan bahwa Konsep Ikhsan Terhadap Orang Tua Menurut Imam Al Ghazali Ihsan kepada orang tua adalah yang lebih utama, meski tidak mengesampingkan ihsan kepada orang lain. Ihsan pada orang tua dilakukan dalam bentuk bakti terhadap orang tua. Dan Akhlak anak terhadap kedua orang tua menurut Al Ghazali masih relevan bagi pemuda Islam pada masa sekarang, karena berdasarkan atas Al Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu orang tua dan anak harus sama-sama memperhatikan tanggung jawab dan hak-haknya masing-masing, antara hak-hak orang tua terhadap anak dan sebaliknya, supaya akhlak atau etika anak terhadap kedua orang tua berjalan dengan baik. 

Sehingga dapat disarankan bahwa anak harus menjaga hak-hak orang tua dan menjaga akhlak sebagai bekal dalam menjalankan ikhsan terhadap orang tua. Adapun konsep ikhsan terhadap orang tua menurut Imam Al Ghazali, yang akan jelaskan dalam uraian berikut sesuai dengan hasil yang diperoleh: Kedua orang tua adalah manusia yang paling berjasa dan utama bagi diri seseorang. Allah SWT telah memerintahkan dalam berbagai tempat di dalam Al Qur’an agar berbakti kepada kedua orang tua. Allah SWT menyebutkannya berbarengan dengan pentauhidan-Nya Azza wa Jalla dan memerintahkan para hamba-Nya untuk melaksanakannya sebagaimana akan disebutkan kemudian. Hak kedua orang tua merupakan hak terbesar yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim. Antara lain hak yang wajib dilakukan semasa kedua orang tua hidup dan setelah meninggal. Dalam pandangan Al Ghazali melatih anak untuk berakhlak yang baik, pada dasarnya adalah tanggung jawab orang tua. Berawal dari tauladan orang tua maka dengan sendirinya akanter bentuk pribadi anak yang berakhlak mulia, anak tidak akan mengetahui bagaimana berinteraksi terhadap kedua orang tua dengan baik, kalau anak tidak dibimbing dan dididik dengan baik. Al Ghazali juga menjelaskan sebagaimana dikutip fadhilah Suralaga dalam bukunya Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam, bahwa, “Anak kecil tumbuh dalam keadaan jiwa yang kosong dari semua lukisan dan gambaran”.

10 Apabila jiwa anak dibiasakan dengan akhlak yang baik, maka jiwanya akan tumbuh berdasarkan kebiasaan dan akhlak yang baik, sebab anak kecil dengan subtansinya diciptakan untuk siap menerima semua nilai baik dan nilai buruk, akan tetapi kedua orang tua yang membuatnya condong kesalah satu dari keduanya, oleh karena itu orang tua harus memberi contoh dan tauladan yang baik kepada anaknya. Dalam hal ini Al Ghazali menitik beratkan etika atau akhlak anak terhadap kedua orang tua, karena Ghazali bisa dijadikan landasan bagi anak, bagaimana seharusnya anak bersikap hormat, memuliakan orang tua dan terhindar dari dosa durhaka kepada kedua orang tua. Apabila hal ini dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka akan terwujudlah norma-norma dan nilainilai yang positif yang akan mempengaruhi keberhasilan dalam proses pendidikan dalam keluarga, antara lain: 

1. Memperhatikan kemuliaan, kehormatan dan kewibawaan orang tua, sehingga hubungan antara keduanya (anak dan orang tua) berjalan dengan harmonis. 

2. Sopan, santun dan tatakrama dalam kehidupan sehari-hari. Dari sini dapat dilihat dengan jelas bahwa ada hubungan yang erat sekali diantara mereka berdua, yang mana anak tidak akan berakhlak baik, tanpa adanya orang tua yang membimbing dan mendidik, sehingga keduanya saling membutuhkan. Berbuat baik, berbakti, menghormati, dan menghargai merupakan aspek utama dalam membina hubungan yang harmonis dalam keluarga. Relevansi akhlak anak terhadap kedua orang tua menurut Al Ghazali, penulis akan menganalisis tentang akhlak sebagai bentuk ikhsan anak terhadap kedua orang tua menurut Al Ghazali, sebagaimana berikut: 

1. Mendengar pembicaraan kedua orang tua dan tidak mengangkat suara di atas suara keduanya. Pendapat Al Ghazali dalam poin ini dikuatkan oleh Fuad Kauma, bahwa, bila orang tua sedang berbicara, jangan anda memutuskan pembicaraannya sebelum ia selesai berbicara. Karena memutus pembicaraan orang tua sama dengan tidak menghormati orang tua, sebagaimana pendapat M. Thalib, bahwa, anak tidak diperkenankan bersuara lantang dari pada suara orang tua.12 Nada suara tinggi atau keras melebihi suara keduanya hampir sama dengan membentak-bentak. Allah SWT juga menjelaskan dalam Surat Al-Isra‟ ayat 23: Artinya : ”Sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (Q. S. AlIsra‟: 23) Dari penjelasan di atas dapat kita lihat, Di antara bakti terhadap kedua orang tua adalah menjauhkan ucapan dan perbuatan yang dapat menyakiti kedua orang tua, walaupun dengan isyarat atau dengan ucapan 'ah'. seorang anak harus selalu bersikap lemah lembut ketika berbicara dengan orang tua dan mendengarkan semua pembicaraan orang tua, baik berupa nasehat maupun cacian kepada anak dan anak tidak boleh membalas cacian orang tua meskipun menyakitkan bagi anak. Dalam pembicaraan antara orang tua terhadap anak, sebaiknya orang tua memberi kesempatan bagi anak untuk berbicara menyampaikan maksud hatinya, dengan adanya komunikasi yang timbal balik antara anak dengan orang tua, maka akan membuat anak merasa lebih dihormati dan membuat anak lebih menghormati orang tua. 

2. Merendahkan diri di hadapan kedua orang tua Dalam poin ini Al Ghazali menjelaskan bahwa, untuk menunjukkan rasa hormat kepada kedua orang tua diantaranya dengan berdiri keduanya berdiri dan tidak berjalan di hadapan orang tua. Tidak boleh juga berjalan didepan mereka, masuk dan keluar mendahului mereka, atau mendahului urusan mereka berdua. Rendahkanlah diri di hadapan mereka berdua dengan cara mendahulukan segala urusan mereka, membentangkan didepan untuk mereka, mempersilakan mereka duduk di tempat yang empuk, menyodorkan bantal, janganlah mendului makan dan minum, dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah SWT, sebagai berikut: Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang sombong lagi membanggakan diri.(Q.S. Luqman: 18). Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa, manusia tidak boleh bersikap sombong dan angkuh kepada yang lain, berdiri ketika orang lain berdiri dan tidak berjalan di hadapannya, merupakan sebuah bukti penghormatan kepada orang lain, terutama kepada kedua orang tua, karena menghormati dan menjaga kehormatan kedua orang tua adalah wajib bagi seorang anak. 

3. Meminta Izin Kepada Mereka sebelum Berjihad dan Pergi Untuk Urusan Lainya. Pendapat Al Ghazali anak harus selalu mendapatkan izin dari orang tua dalam bepergian. Izin atau keridhaan orang tua sangat penting bagi anak, karena dengan restu atau keridhaan orang tua, akan membuat seseorang dalam melakukan sesuatu menjadi lebih mudah, karena keridhaan kedua orang tua merupakan sebuah do‟a bagi seorang anak. Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan bertanya: "Ya, Rasullah, apakah aku boleh ikut berjihad?" Beliau balik bertanya: "Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua?" Laki-laki itu menjawab: "Masih." Beliau bersabda: "Berjihadlah (dengan cara berbakti) kepada keduanya." Seorang laki-laki berkata kepada beliau: "Aku membai'at anda untuk berhijrah dan berjihad semata-mata hanya mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala." Beliau bersabda kepada laki-laki tersebut: "Apakah salah satu kedua orang tuamu masih hidup?" Laki-laki itu menjawab: "Masih, bahkan keduanya masih hidup." Beliau kembali bersabda: "Apakah kamu ingin mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala?" Laki laki itu menjawab: "Ya." Kemudian, Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: "Kembalilah kamu kepada kedua orang tuamudan berbaktilah kepada keduanya." 

4. Tidak Mencela Orang Tua atau Tidak Menyebabkan Mereka Dicela Orang Lain Mencela orang tua dan menyebabkan mereka dicela orang lain termasuk salah satu dosa besar. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela orangtuanya." Para Sahabat bertanya: "Ya, Rasulullah, apa ada orang yang mencela orang tuanya?" Beliau menjawab: "Ada. Ia mencela ayah orang lain kemudian orang itu membalas mencela orang tuanya. Ia mencela ibu orang lain lalu orang itu membalas mencela ibunya." Dalam pendapat Al Ghazali menjelaskan bahwa perbuatan ini merupakan perbuatan dosa yang paling buruk. Orang-orang sering bergurau dan bercanda dengan melakukan perbuatan yang sangat tercela ini. 

5. Mematuhi peritah dan panggilan keduanya Pendapat Al Ghazali ini diperkuat oleh pendapat al-faqih Nashr, bahwa, apabila orang tua memanggil anaknya, maka anak harus menjawab dan datang kepadanya dan apabila orang tua memerintahkan sesuatu, maka anak harus mematuhinya selama tidak memerintahkan untuk berbuat maksiat dan menggunjing. Orang tua merupakan pemimpin keluarga dan mempunyai hak untuk dipatuhi ketentuan-ketentuannya oleh semua anggota keluarga. Dengan demikian, maka seorang anak yang menjadi bagian dari keluarga berkewajiban untuk mengikuti perintah-perintah orang tua selama tidak bertentangan dengan agama,selain ditaati semua perintahnya, sebaiknya dalam memberikan perintah atau tugas kepada anak orang tua memperhatikan kondisi kejiwaan seorang anak. 6. Memberikan Harta Kepada Orang Tua Menurut Jumlah Yang mereka Inginkan. Rasulullah SAW pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata: "Ayahku ingin mengambil hartaku." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kamu dan hartamu milik ayahmu."18 Oleh sebab itu, hendaknya seseorang jangan bersikap bakhil (kikir) terhadap orang yang menyebabkan keberadaan dirinya, memeliharanya ketika kecil dan lemah, serta telah berbuat baik kepadanya. Rasulullah SAW bersabda, “Seorang anak tidak dapat memenuhi kewajiban membalas jasa kebaikan terhadap ayahnya. Akan tetapi, ia dapat memenuhi sebagian darinya apabila ia mendapati ayahnya sebagai budak dari orang lain lalu memerdekakannya.” Rasulullah SAW juga bersabda, “Berbuat baik kepada orangtua lebih baik daripada shalat, puasa, haji, zakat, umrah dan jihad fi sabilillah.” Rasulullah SAW bersabda, “ Siapa saja yang pada pagi hari membuat kedua orangtuanya senang, maka dibukakan baginya dua pintu surga. 

Apabila ia melakukan hal demikian pada sore hari, maka ia akan memperoleh pahala kebaikan yang sama. Apabila ia menyenangkan hati salah satu dari keduanya, maka satu pintu surga dibukakan baginya walaupun orangtuanya berbuat zhalim kepadanya (diulangi tiga kali). Apabila seseorang pada pagi hari membuat kemarahan kedua orangtuanya, maka dua pintu neraka akan dibukakan baginya. Apabila ia membuat salah satu darinya marah, maka satu pintu neraka dibukakan baginya sekalipun mereka berdua berlaku zhalim kepadanya (diulangi tiga kali).” Berbuat ihsan kepada kedua orang tua ini memerlukan komitmen yang kuat dalam hati setiap anak. Hal ini, seperti yang diungkapkan Al Ghazali bahwa pesan al-Qur‟an yang mewajibkan seorang anak berbuat ihsan pada orang tuanya pada dasarnya membutuhkan komitmen yang kuat. Anak perlu berkomitmen untuk senantiasa menyayangi kedua orangtua dengan tulus. 

Komitmen menjadi hal yang teramat penting karena kebanyakan anak justru lebih banyak mencurahkan perhatian dan kebaikannya pada orang-orang yang hidup bersamanya di kemudian hari saat dewasa. Orang-orang tersebut seperti istri, anak atau generasi penerusnya. Karena perhatian dan kebaikannya terpusat pada orang-orang baru inilah, kemudian banyak yang dengan mudah melupakan asalusulnya atau bapak ibunya sendiri. Padahal, jasa dan pengorbanan orang tua sungguhlah besar. Ibu dan dengan bantuan ayah merasakan perjuangan yang besar dalam menghidupi dan membesarkan anak, seperti dengan mengandung, melahirkan, menyusui, menyuapi, mendidik, melindungi, memberi fasilitas kehidupan yang jumlahnya tidak terbatas. Karenanya, sudah selayaknya kalau orang tua mendapatkan perhatian dan kebaikan yang lebih banyak dari anak-anaknya. Allah memberikan tempat yang lebih istimewa dan memerintahkan anak -anak agar berihsan kepada kedua orang tua kandungnya. 

Orang tua kandung ini dapat dikatakan berada pada posisi sebagai wasilah bagi wujud seseorang di dalam kehidupan. Atas dasar ini, Allah SWT memberikan apresiasi melalui perintah berihsan kepada keduanya. Al Ghazali juga menjelaskan bahwa perbuatan baik yang ditujukan kepada kedua orang tua ini bisa diwujudkan dalam berbagai wujud, seperti mengurus dan memelihara skedua orang tua dengan baik; tidak melontarkan ucapan; tidak membentak, tetapi yang diharuskan adalah bersikap rendah hati, bersikap rendah diri, mendo‟akan keduanya dengan tulus hati, dan berterima kasih.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Next

نموذج الاتصال