9 AMALIYAH CIRI KHAS NU

9 AMALIYAH CIRI KHAS NU

NU memang terkenal dengan berbagai amalan yang sering dilakukan secara berjamaah.Tradisi pewarisannya bisa dibilang cukup panjang.Dari generasi
ke gemerassi mungkin.Kadangkala banyak juga yang mempertanyakan keabsahan amaliyah ini.Berikut saya ringkas sembilan amaliyah yang umum dikalangan Nahdlotul Ulama:

"1.TAHLILAN"
Tahlilan
adalah salah satu cirikhas kaum NU.Bahkan untuk mengetahui seseorang NU apa tidak cukup dilihat dari apakah seseorang itu ikut kegiatan tahlilan apa tidak.
Tahlilan sendiri adalah sebuah kegitan yang dilakukan bersama oleh kalangan NU yang berisi pembacaan dzikir,tasbih,ayat quran tahlil,tahmid dan lain sebagainya.Biasanya acara ini diselenggarakan dalam berbagai
momentum kalangan NU.Yang paling jamak adalah ketika mendoakan seseorang
yang sudah meninggal.Biasanya dilakukan pada malam hari pertama sampai ke empat puluh berlanjut terus hari ke 100,1000 dan haul tiap tahunnya.

"2.ZIARAH KUBUR"
Warga NU akrab seklai dengan budaya ziarah kubur.Mendatangi makam para auliya,ulama atau leluhur sembaru membaca berbagai doa disana.Jangan dimaknai kaum NU berdoa kepada kuburan.Tapi melalui para orang orang yang terlebih dahulu mereka merasa lebih dekat dengan yang maha kuasa dan mengingatkan mereka bahwa kehidupan pada hakikatnya adalah fana dan tidak kekal.
Khusus ziarah makam para wali sudah menjadi tradisi dan bahkan sangat ramai seklai pengunjungnya.Ini dilaksanakan biasnya rombongan.Jika ke makam para leluhur hampir tiap hari raya idhul fitri dan hari hari tertentu manjadi budaya yang mapan dikalangan NU.

"3.MAULID NABI"
Untuk menunjukan kecintaannya pada Nabi,paling tidak pada bulan kelahiran Nabi yaitu bulan Robiul Awwal banyak sekali kegiatan bernuansa keagamaan dalam berbagai bentuk.Ada Dibaab.Barzanji,pengajian dlsb dalam
rangka Maulid Nabi.
Kegiatan ini banyak dihujat karen dianggap tidak memiliki dassar yang kukuh yang pernah nabi laksankan pada masa hidup Nabi.

"4.ISTIGHOSAH"
Istighosah memiliki arti memohon pertolongan kepada Alloh SWT.Oleh warga
NU biasnya dilaksanakan bersama-sama dalam satu majlis.Dalam skala besar PBNU pernah menyeleksanakan istighosah dalam skala besar atau istighosah kubro baik tingkat Nasional maupun tingkat daerah.

"5.QUNUT"
Cobalah anda sholat subuh disuatu tempat.Bila jamaah dalam tempat tersebut melakukan qunut dapat dipastikan itu adalah warga NU.Tapi sebenarnya Qunut dibagi menjadi 3:

1.Qunut Shubuh:Imam Syafii menyatakan bahwa qunut subuh dibaca bberdasarkan hadis dari Anas bin Malik.
2.Qunut Nazilah:qunut ini dibaca warga NU ketika sedang menghadai kesudahan baik wabah penyakit,tantangan,bencana dlsb.
3.Quntu Witir : qunut ini dilaksanakan pada rakaat terakhir bulan Romadlon pada malam ke 16-30 bulan Romadhon.

"6.TALQIN"
Adalah amaliyah kaum Nu disaat ada saudaranya yang meningla dunia.Talqin
berasal dari Bahasa Arab yang artinya memahamkan atau mengingatkan.Talqin biasnya dibacakan dalam bahasa arab tapi sering juga dibacakan dalam Bahasa Jawa.
Adapun tatacaranya orang yang menalqin berposisis duduk dihadapan kepala mayyit.Sedangkan para hadirin hendaknya berdiri,Dana salah seorang yang biasanya pemua keagamaan mulai membacakan talqin bagi si mayyit.

"7.ADZAN 2 KALI DALAM SHALAT JUM’AT"
Setiapmenjelang sholat Jumat dimasjid-masjid NU,ada seorang laki-laki yang berdiri sambil memegang tongkat.Setelah membacakan hadis Nabi yang berisi anjuran kepada para Jama’ah dan kemudian dilakukan adzan yang kedua kalinya.
Praktek semcam ini meniru pada zama Shahabat Utsman dan praktik semacam
ini sama dengan yang dipraktikan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

"8.TINGKEPAN"
Acara ini berbentuk pembacaan doa dan pemberian sedekah dalam rangka tujuh bulan kehamilan seorang wanita yang pertama kali hamil.Dan biasanya disela-sela acara dibacakan surat Yusuf dan surat
Maryam,dengan harapan agar anaknya akan lahir seganteng Nabi Yusuf dan secantik Siti Maryam

"9.MERUJUK KITAB KUNING"
Selai pada Alquran dan Alhadist,warga NU selalu berpegangan pada ulama lama baik melalui kyai maupun merujuk pada kitab kunang yang dianggap standar oleh para Ulama NU.
Kitab kuning ini biasanya ditulis dalam bahasa arab dan biasanya berbentuk tulisan arab tanpa harakat(gundul)  Ini tidak lain karena tradisi intelektual NU yang selalu berpegangan pada sanad san karena berhati-hati agar supaya pemahaman agamanya tidak melenceng dari apa yang telah digariskan oleh para Salafuna Assholih yang berpegana pada tradisi Nabi Muhammad SAW.
===================

G. Haul
A. Pengertian
Secara bahasa haul adalah setaun secara istilah adalah peringatan satu tahun meninggalnya seseorang. Dalam acara haul biasanya terdapat beberapa kegiatan diantaranya: ziarah, dzikir, tahlil, halaqah, manaqib, tausyrah, bakti social, dan lain sebagainya
B. Dalil-dalil haul
Ada banyak dalil syar’I tentang haul diantaranya dalam kitab Al-kawakib ad-Durriyah, juzI, hlm 32 diterangkan:

قَالَ اْلوَاقِدِ وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُوْرُ قَتْلَ أُحُدٍ فِىْ كُلِّ حَوْلٍ وَاِذَا لَقَاهُمْ بِالشَعْبِ رَفَعَ صَوْتَهُ يَقُوْلُ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ وَكَانَ اَبُوْ بَكْرٍ يَفْعَلُ مِثْلَ ذَالِكَ وَكَذَالِكَ عُمَرُ بْنُ اْلخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانَ. وَفِى نَهْجِ اْلبَلَاغَةِ – اِلَى اَنْ قَالَ- وَفِى مَنَاقِبِ سَيِّدِ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لِلسَّيِّدِ جَعْفَرِ اْلبَرْزَنْجِْي قَالِ: وَكَانَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالَّسلَامُ  يَأْتِي قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ بِأُحُدٍ عَلَى رَأْسِ كُلِّ حَوْلٍ-الخ.

Al-waqidi berkata: Rosul mengunjungi makam para pahlawan Uhud setiap tahun. Jika telah sampai di Syi’ib ( tempat makam mereka ), Rosul agar keras berucap : Assalamu ‘alaikkum bima sahabartum faniqma ‘uqba ad-dar (semoga kalian selalu beroleh kesejahteraan atas kesabaran yang telah kalian lakukan. Sungguh, akhirat tempat yang paling nikmat . Abu Bakar, Umar, Utsman juga melakukan hal yang serupa. Sampai kata-kata…Dalam Manaqib sayyid as-Syuhada Hamzah bin abi Tholib yang ditulis Sayyid Ja’far al-Barzanjy, dia berkata : Rosululoh mengunjungi makam Syuhada Uhud setiap awal tahun..

Dalil kedua , al-fatawa al-Kubra, juz II hlm, 18 : Ahkam al-fukaha, juz III, hlm. 41-42 :

ذِكْرَ يَوْمِ اْلوَفَاةِ لِبَعْضِ اْلاَوْلِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ مِمَّا لَا يَنْهَاهُ الشَّرِيْعَةُ الْغُرَّاءُ، حَيْثُ اَنَّهَا تَشْتَمُِ غَالِبًا عَلَى ثَلَاثَةِ أُمُوْرٍ مِنْهَا زِيَارَةُ اْلقُبُوْرِ، وَتَصَدُّقُ بِاْلمَأْكُوْلِ  وَاْلمَشَارِبِ وَكِلَاهُمَا غَيْرُ مَنْهِيٍّ عَنْهُ، وَمِنْهَا قِرَاَةُ اْلقُرْآنِ وَاْلوَعْدِ الدِّيْنِي وَقَدْ يُذْكَرُ فِيْهِ مَنَاقِبُ اْلمُتَوَفَّى وَذَالِكَ مَسْتَحْسَنٌ لِلْحَثِّ غَلَى سُلُوْكِ الطَّرِيْقَتِهِ اْلمَحْمُوْدَةِ كَمَا فِى الْجُزْءِ الثَّانِى مِنَ الْفَتَوِى اْلكُبْرَى لِاِبْنِ حَجَرٍ وَنَصَّ عِبَاَرتُهُ:  عِبَارَةُ شَرْحَيِ اْلعُبَابِ: وَيَحْرُمُ النَّدْبُ مَعَ اْلبُكَاءِ كَمَا حَكَاهُ فِى اْلاَذْكَارِ وَجَزَمَ بِهِ فِى اْلمَجْمُوْعِ وَصَوَّبَهُ اْلاَسْنَوِي-اِلَى اَنْ قَالَ-اِلَّا ذِكْرُ مَنَاكِبِ عَالِمٍ وَرَعٍ اَوْ صَالِحٍ لِلْحَثِّ عَلَى سُلُوْكِ طَرِيْقَتِهِ وَحُسْنُ الظَّنِّ بِهِ بَلْ هِيَ حِيْنَئِذٍ بِالطَّاعَةِ أَشْبَهُ لِمَا يَنْشَأُ عَنْهَا مِنَ اْلبِرِّ وَالْخَيْرِ وَمِنْ ثَمَّ مَازَالَ كَثِيْرً مِنَ الصَّحَابَةِ وَغَيْرِهِمْ مِنَ اْلعُلَمَاءِ يَفْعَلُوْنَهَا عَلَى مَمَرِّ اْلاِعْصَارِ مِنْ غَيْرِ اِنْكَارٍ.

Memperingati hari wafat para wali dan para ulama termasuk amal yang tidak dilarang agama. Ini tiada lain karena peringatan itu biasanya mengandung sedikitnya 3 hal : ziarah kubur, sedekah makanan dan minuman dan keduanya tidak dilarang agama. Sedang unsur ketiga adalah karena ada acara baca al’qur’an dan nasehat keagamaan. Kadang dituturkan juga manaqib ( biografi ) orang yang telah meninggal. Cara ini baik baik untuk mendorong orang lain untuk mengikuti jalan terpuji yang telah dilakukan si mayit, sebagaimana telah disebutkan dalam qitab fatawa al-Kubara,juz II, Ibnu Hajar, yang teksnya adalah ungkapan terperinci dari al-Ubab adalah haram meratapi mayit sambil menangis seperti diceritakan dalam kitab al-Azkar dan dipedomani dalam al-Majmu’, al-Asnawi membenarkan cerita ini. Sampai pernyatan …kecuali menuturkan biografi orfang alim yang Wira’i dan sleh guna mendorong orang mengikuti jalannya dan berbaik sangka dengannya. Juga agar orang bisa lagsung berbuat taat, melakukan kebaikan seperti jalan yang telah dilalui almarhum. Inilah sebabnya sebian sahabat dan ulama selalu melakukan hal ini sekian kurun waktu tanpa ada yang mengingkarinya.
Dari dalil-diatas dapat disimpulkan bahwa peringatan haul itu dapat dibenarkan secara syara’
H. Ziarah Kubur

A. Pengertian
Secara bahasa ziarah artinya berkunjung. Secara istilah adalah mengunjungi makam orang yang sudah meninggal untuk mendo’akannya, bertabaruk, I’tibar ataupun mengingat untuk mengingat. Hari akhirat.
Amalan-amalan yang telah dilakukan saat ziarah berbeda-beda yang umum dilakukan yaitu membaca Al-Qur’an, tahlil, solawat dan berdo’a kepada Alloh semata.

B. Dalil-dalil ziarah kubur
Diantara dalil-dalil Sya’i tentang disunahkannya ziarah adalah sebagaimana hadist-hadist berikut.

عَنْ بَرِيْدَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِىْ زِيَارَةِ قَبْرِ اُمَّةِ فَزُوْرُوْهَا فَاِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَةِ.(رواه الترمذي.٩٧٠)

“Dari Buraidah, ia berkata Rosululloh SAW bersabda “Saya pernah melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang Muhammad teah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang berziarahlah! Karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat.
Disebut dalam kitab Kasyf As-Syubuhat, hlm 39 :

عَنْ هِشَامِ بْنِ سَاِلمِ قَالَ: عَاشَتْ فَاطِمَةَ بَعْدَ اَبِيْهَا خَمْسَةَ وَسَبْعِيْنَ يَوْمًا لمَ ْتُرَى-كََاشِرَةٌ وَلَا صَاحِكَةٌ تَأْتِى قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ فِىْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّتَيْنِ اْلاِثْنَيْنِ وَاْلخَمِيْسِ فَتَقُوْلُوْهَا هُنَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ.

Hadist dari Hisyam bin Salim:setelah 75 hari ayahnya ( Nabi Muhammad ) meninggal, Fathimah tidak lagi murung,ia selalu ziarah ke makam para Syuhada dua hari dalam seminggu, yakni setiap Senin dan Kamis, sambil berucap: disini makam Rosululloh.
Dalam Kasyf as-Syubuhat, hlm 39 disebutkan dalam hadist sebagai berikut :

وَرَوَى اَيْضًا الِتْرِمذِي وَالْحَاكِمُ فِي نَوَادِرِ اْلاُصُوْلِ مِنْ حَدِيْثِ عَبْدِ اْلغَفُوْرُِ بْنِ عَبْدِ اْلعَزِيْزِ عَنْ اَبِيْهِ مِنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَعَرَّضَ عَلَى اْلاَنْبِيَاءِ وَعَلَى اْلاَبَاءِ وَاْلاُمَّهَاتِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ فَيَفْرَحُوْنَ بِحَسَانَتِهِمْ وَتُزْدَادُ وُجُوْهُهُمْ بَيَاضًا وَاَشْرَافًا.

Sebuah hadist yang diriwayatkan Tirmidzi dan Hakim dalam kitab Nawadir al-Ushul, hadist dari Abdul Ghafur bin Abdul Aziz, dari ayahnya, dari kakaknya, dia mengatakan bahwa Rosululloh bersabda: Bahwa amal manusia itu dilaporkan kepada Alloh setiap hari Senin dan Kamis, lalu diberitahukan kepada para Nabi, kepada bapak-bapak, ibu-ibu mereka yang lebih dulu meninggal pada hari Jum’at. Mereka gembira bila melihat amal-amal baiknya, sehingga tampak wajahnya bersinar putih berseri.
Dalam kitab Kasyf as-Syubuhat as-Syaikh Mahmud Hasan Rabi hlm. 129 diterangkan tentang ziarah dan amalan-amalannya:

(قَالَ النَّوَاوِيُّ) فِىْ شَرْحِ اْلمُهَذَّبِى يُسْتَحَبُّ يَعْنِى لِزَائِرِ اْلاَمْوَاتِ اَنْ يَقْرَأَ مِنَ اْلقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوْ لَهُمْ عُْبَاهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّفِعِيُّ وَالتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَاب

Dalam Syarh al-Muhadzdzab imam an-Nawawi berkata adalah disunahkan bagi seorang yang berziarah kepada orang mati agar membaca alat-alat Al’quran sekadarnya dan berdo’a untuknya. Keterangan ini diambil dari teks imam Syafi’I dan disepakati oleh para ulama yang lainnya.
Dalam kitab Nahjal al-Balaghah, hlm. 394-396 disebutkan sebuah hadist Nabi :

وَكَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُوْرُ قُبُوْرَ شُهَدَاءِ أُحُدٍ وَقُبُوْرَ اَهْلِ اْلبَقِيْعِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ وَيَدْعُوْ لَهُمْ بِمَا تَقَدَّمَ ( رواه مسلم واحمد وابن ماجه.)

Rosululloh berziarah ke makam Syuhada ( orang-orang mati sahid ) dalam perang uhud dan makam keluarga Baqi’ dia mengucapkan salam dan mendo’akan mereka atas amal-amal yang telah mereka kerjakan (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah).
Disebutkan dalam kitab I’anat at-Thalibin juz II hlm.142:

فَقَدْ رَوَى اْلحَاكِمُ عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ زَارَ قَبْرَ اَبَوَيْهِ اوَ ْاَحَدَهُمَا فِيْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّةً غَفَّرَ اللهُ لَهُ وَكَانَ بَارًّا بِوَالِدَيْهِ.

Hadist riwayat hakim dari Abu Hurairah Rosululloh bersabda: Siapa ziarah kemakam orang tuanya setiap hari Jum’at, Alloh pasti akan mengampuni dosa-dosanya dan mencatatnya sebagai bukti baktinya kepada orang tua.
Kemudian kaitannya dengan hadist Nabi SAW yang secara tegas menyatakan perempuan berziarah kubur:

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ اْلقُبُوْرِ (رواه احمد ٨٠٩٥ )

“Dari Abu Hurairah R.A bahwa sesungguhnya Rosululloh SAW melaknat wanita yang berziarah kubur.” (HR. Ahmad :8095 )

Menyikapi hadist ini ulama menyatakan bahwa larangan itu telah dicabut menjadi sebuah kebolehan berziarah baik bagi laki-laki dan perempuan. Imam al-Tirmidzi menyebutkan dalam kitab as-Sunan: Sebagian ahli ilmu mengaatakan bahwa hadist itu diucapkan sebelum Nabi SAW membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rosulullos SAW membolehkannya laki-laki dan perempuan tercakup dalam kebolehan itu.” ( Sunan at-Thirmidzi :979 )
Ketika berziarah seseorang dianjurkan membaca al’quran atau lainnya,sebagaimana sabda Rosululloh SAW:

عَنْ مُعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِقْرَؤُوْ عَلَى مَوْتَاكُمْ “يس” (رواه ابو داود، ٢٧١٤)

Dari Ma’qilbin Yasar R.A berkata, Rosululloh SAW bersabda; Bacalah surat Yasin pada orang-orang mati diantara kamu,. “ (HR. Abu Dawud :2714 )
Dalil-dalil ini membuktikan bahwa ziarah kubur itu memang dianjurkan. Terlebih jika yang diziarahi itu adalah makam para wali dan orang saleh. Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab berziarah.ke makam para wali adalah ibadah yamg disunahkan. Demikian pula dengan perjalanan kemakam mereka.” (Al-Fatawi al-Kubra, juz II hlm. 24)
Berziarah ke makam para wali dan orang-orang shaleh telah menjadi tradisi para ulama salaf. Diantaranya adalah Imam al-Syafi’I R.A jika ada hajat, setiap hari beliau berziarah ke makam Imam Abu Hanifah. Seperftipengakuan beliau dalam rfiwayat yang shahih.
Dari Ali bin Maimun berkata” Aku mendengar imam al Syafi’i berkata” Aku selalu bertabaruk dengan Abu Hanifah dan berziarah mendatangi makamnya setiap hari. Apabila aku memiliki hajat, maka aku slat dua rakaat, lalu mendatangi makam beliau,dan aku mohon hajat itu kepada Alloh SWT disisi makamnya, sehingga tidak lama kemudian hajatku terkabul.” ( Tarikh Baghdad,juz 1, hal. 123)

I. Tawasul
A. Pengertian
Secara bahasa tawasul artinya mengambil perantara secara istilah diartikan sebagai salah satu cara berdo’a kepada Alloh SWT dan salah satu dari beberapa pintu tawajuh kepada Alloh SWT dengan menggunakan Wasilah (perantara) adapun yang dituju dari tawasul ini adalah Alloh semata.

B. Dalil-dalil tawasul
Ada beberapa daliltentang diperbolehkannya tawasul baik dalil Al’quran, as-sunnah maupun atsar. Diantaranya firman Alloh SWT:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh SWT. Dan carilah perantara untuk sampai kepada Alloh SWT. Berjihadlah kamu di jalan-Nya mudah-mudahan kamu dapat keuntungan.” (QS. Al-Ma’idah:35).
Sayid Muhammad bin Alawi Al-Maliki memberikan komentar tentang ayat ini: Bahwa yang dimaksud dengan الوسيلةdalam ayat ini adalah setiap sesuatu yang dijadikan pendekatan/perantara kepada Alloh SWT lebih lanjut ia menjelaskan :

وَلَفْظُ اْلوَسِيْلَةِ عَامٌ فِى اْلآيَهِ كَمَا تَرَى فَهُوَ شَامِلٌ لِلتَّوَاسُلِ بِاالذَّوَاتِ اْلفَاضِلَةِ مِنَ اْلاَنْبِيَاءِ وَالصَّالحِيِْنَ فِى اْلحَيَاةِ وَبَعْدَ اْلمَمَاتِ وَباِلْاتِيْاَنِ بِاْلاَعْمَالِ الصَّالِحَةِ عَلَى اْلوَجْهِ اْلمَأْمُوْرِ بِهِ وَلِلتَّوَاسُلِ بِهَا بَعْدَ وُقُوْعِهَا.

Seperti yang kamu ketahui bahwa lafal الوسيلة pada ayat diatas bersifat umum yang memungkinkan artinyaberwasilah dengan dzat-dzat yang utama seperti para Nabi, orang-orang soleh,baik dalam masa hidup mereka maupun sudah mati juga memungkinka diartikan berwasilah dengan amal-amal soleh dengan menjalankan amal-amal soleh itu dan dijadikan perantara untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT.
Dalam tafsir sowi dijelaskan:

وَيَصِحُّ اَنَّ اْلمُرَادَ بِالتَّقْوَى اِمْتتَِالُ اْلمَأْمُوْرَاتِ الْوَاجِبَةِ وَتَرْكُ اْلمَنْهِيَّاتِ اْلمُحَرَّمَةِ وّابْتِغَاءِالْوَسِيْلَةَ مَايُقِرُّبِهِ اِلَيْهِ مُطْلَقًا، وَمِنْ جُمْلَةِ ذَلِكَ مَحَبَّةُاَنْبِيَاءِ اللهِ تَعَلَى وَاَوْلِيَائِهِ وَالصَّدَقَاتِ وَزِيَارَةِ اَحْبَابِ اللهِ وَكَشْرَةِ الدُّّعَاءِ وَصِلَةِ الرَّحِمِ وَكَشْرَةِ الذِّكْرِ وَغَيْرِذَلِكَ.فَالْمَعْنَى كُلُّ مَا يُقَرِّ بُكُمْ اِلَى اللهِ فَالْزَمُوْهُ وَاتْرُكُوْامَا يُبْعِدُكُمْ عَنْهُ اِذَاعَلِمْ

Yang dimaksud dwngan taqwa yaitu menjalankan perintah-perintah yang wajib dan menjauhi larangan-larangan yang diharamkan juga mencari perantara untuk mendekatkan kepada Alloh, secara mutlak. Dan termasuk di dalamnya adalah mencari para Nabi, wali-wali Alloh, sodaqoh, menziarahi kekasih-kekasih Alloh, memperbanyak do’a, silaturahim, memperbanyak dzikir dan lain sebagainya. Artinya menjalankan sasuatu yang dapat menjauhkan kita dari Alloh . Maka sesuatu yang dapat mendekatkan kita kepada Alloh dan meninggalkan sesuatu yang dapat menjauhkan kita dari Alloh. Maka suatu kesesatan yang jelas dan kerusakan yang jelas juga bila mengkairkan orang-orang yang berziarah kemakam-makam wali Al;loh dengan menganggap bahwa ziarah adalah sirik. Padahal ziarah itu sebagian bentuk mahabbah kepada Alloh seperti yang Rosululloh sabdakan” tiadakah iman bagi orang yang tidak mempunyai perantara kepada Alloh sp yang Alloh Firmankan: Carilah perantara untuk menuju Alloh.”
Dalam ayat yang lain Alloh SWT berfirman:

“Jika mereka telah berbuat aniaya pada dirinya (berbuat dosa),lalu mereka dating kepadamu (hai Muhammad)dan meminta ampunan kepada Alloh SWT, kemudian Rosul memohonkan ampunan untuk mereka, tentulah Alloh SWT Yang Maha meerima taubat dan yang Maha Penyayang akan menerima tobat mereka .”(QS. Al-Nisa ;64) .

Imam Bukhori juga meriwayatkan hadist tentang tawasulnya sahabat umar bin khatab ketika melakukan shalat istis’qo :

عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ اَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ اِذَاقَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعِبَاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ الَّلَهُمَّ اِنَا كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَاِناَّ نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِعَمَّ نَبِيِّناَ فاَسْقِناَ قاَلَ فَيُسْقَوْنَ (رواه البخارى،٩٥٤)

Dari Anas bin Malik R.A beliu berkata “Apabila terjadi kemarau, sahabat Umar bin alkhathab bertawasul dengan Abbas bin Abdul Muththalib, kemudian berdo’a “Ya Alloh kami pernah berdo’a dan bwertawasul kepada-Mu dengan Nabi SAW, maka engkau turunkan hujan. Dan sekarang kami bertawasul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan.” Anas berkata “Maka turunlah hujan kepada kami.” (HR. al- Bukhori :954)
Menyikapi tawasul sayyidina Umar R.A tersebut Sayyidina Abbas R.A berdo’a;

اَللَّهُمَّ اِنَّهُ لَمْ يَنْزِلُ بَلَاءٌ اِلَّا بِذَنْبِ وَلَا يُكْشَفُ اِلَّا بِتَوْبَةِ قَدْ تَوَ جَّهَ اْلقَوْمُ بِي اِلَيْكَ لِمَكَا نِي… الج اخرجه الز بير بن بكار (التحذ ير من الأغترار١٢٥)

Ya Alloh sesungguhnya malapetaka itu tidak akan turun kecuali karena dosa dan tidak akan sirna melainkan dengan taubat. Kini kaum muslimin bertawasul kepadaku untuk memohon kepada Mu karena kedudukanku disisi NabiMu….diriwatkan oleh al-Zubair bin Bakkar.:”(Al-Tahdzir min al-Ightirar, hlm. 125)
Mengomentari hal ini Syaikh Abdul Hayyi al-amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan, pada hakikat nya tawasul yang dilakukan Sayyidina umar R.A dengan Sayyidina Abas R.A merupakan tawasul dengan Nabi SAW (yang pada waktu itu telah wafat) disebabkan posisi Abbas sebagai paman Nabi SAW dan karena kedudukannya disisi Nabi SAW. (Al-Tahdzir min al-Ightirar
hal:6)

قَلَ ابْنُ تَيْمِيِّ فِي الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ وَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْجَيِّ وَالْمَيِّتِ كَمَازَعَمَ  بَعْضُهُمْ فَقَبدْ صَجَّ عَنْ بَعْضِ الصَّجَابَةِ اَنَّهُ اُمِرَ بَغْضُ الْمُجْتاَ جِيْنَ اَنْ يَتَوَسَّلُوْا بِهِ صَلَّئ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَعْدَ مَوْتِهِ فِئ خِلَا فَتِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَتَوَ سَّلَ بِهِ قَقُضِئَتْ حَاجَتُهُ كَمَا ذَكَرَهُ الطَّبْرَانئِ

Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitabnya Shirath al – Mustaqim : Tak ada perbedaan antara orang hidup dan mati seperti yang diasumsikan sebagian orang. Sebuah hadist sohih menegaskan : Telah diperintahkan kepada orang – orang yang memiliki hajat dimasa khalifah Ustman untuk bertawassul kepada nabi setelah dia wafat. Kemudian, mereka bertawassul kepada Rosul, dan hajat mereka pun terkabul. Demikian diriwayatkan oleh ath – Thabrany.

Dalam kitab 40 masalah agama, jilid 1, hal 137 – 138 disebutkan:
عَنْ اَنَسٍ اَنْ عُمَرَ ابْنِ الْخَطَابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كاَنَ اِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَئ باِلْعَباَّسِ بْنِ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ فَقاَلَ اَللَّهُمَّ كُناَّ نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّناَ فَتُسْقَيْناَ وَاِناَّ نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِعَمِّ بِنَبِيِّناَ فاَسْقِناَ فَيُسْقَوْنَ. (رواه البخارى.
Dari sahabat Annas, ia mengatakan : Pada zaman Umar bin Khaththab mengatakan : pernah terjadi musim peceklik. Ketika melakukan sholat istisqo Umar ber tawassul kepada paman Rosulullah, Abbas bin Abdul Muththlib ; Ya Tuhan, dulu kami mohon kepada – Mu dengan tawassul paman nabi – Mu, turunkanlah hujan kepada kami. Allah pun segera menurunkan hujan kepada mereka. (HR. al – Bukhari).

اِنَّ التَّوَسُّلَ وَالتَّشَفُّعَ بِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِجَاهِهِ وَبَرَكَاتِهِ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسِلِيْنَ وَسِيْرَةِ السَّلَفِ الصَّلِحِيْنَ.

Sesungguhnya tawassul dan minta syafa’at kepada Nabi atau dengan keagungan dan kebesarannya, termasuk diantara sunnah (amal kebiasaan) para Rosul dan orang – orang Salaf Shalihin (para pendahulu yang soleh – soleh).
Adpun kaitannya dengan ayat – ayat Al – Qur’an yang sering digunakan untuk mengharamkan tawassul seperti ayat – ayat dibawah ini :
اَلَا للهِ الدَّيْنِ الْخَالِصُ وَالَّدِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُونِهِ اَوْلِياَءَ مَانَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوناَ اِلىَ اللهِ زُلْفَى (الزمر::٢٣ )
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah – lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang – orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat – dekatnya.” (QS. Al – Zumr: 23).
Setelah memperhatikan ayat tersebut dengan cermat, Syaikh Abdul Hayyi al –‘Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan “Perkataan para penyembah berhala “Kami menyembah mereka (berhala – berhala itu) supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat – dekatnya. Ayat ini menegaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk tujuan tersebut. Sedangkan orang yang bertawassul dengan orang alim atau para Rosul itu tidak menyembah mereka. Tetapi karena dia tau bahwa orang yang di – tawassul – i tersebut memiliki keutamaan dihadapan Allah Swt dengan kedudukannya sebagai Rosul, ilmu yang dimiliki atau kerena kenabiannya. Dan karena kelebihannya itulah kemudian ada orang yang melakukan tawassul dengan mereka.” (Al – Tahdzir min al – Ightitar, hal : 113).
Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al Maliki juga memberikan komentarnya tentang ayat – ayat yang digunakan dalil untuk mengharamkan tawassul. Ayat – ayat itu diantaranya :
فَلاَ تَدْعُوْا مَعَ اللهِ اَحَدً.الاية,لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِ وَالَّدِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ لَا يَسْتَجِيْبُوْنَ لَهُمْ بِشَيْئٍ. الاية
Bahwa ayat – ayat ini ditujukan bagi orang – orang musyik yang menyembah berhala, tentunya berbeda dengan orang yang bertawassul yang hanya menjadikan sesuatu sebagai perantara menuju Allah Swt.

J. Tabaruk
A. Pengertian
Tabaruk secara bahasa artinya mengharap berkah. Secara istilah diartikan sebagai menjadikan seseorang, tempat atau sesuatu yang diharapkan berkahnya perantara menuju Alloh SWT.
B. Dalil-dalil tabaruk
Tabaruk sebenarnya sudah dilakukan oleh para sahabat damana mereka bertabaruk dengan Rambut Nabi seperti Khalid bin Walid dengan sisa air wudhu Nabi, keringat Nabi, bahkan dengan ludah Nabi. Dalam beberapa hadist dikisahkan bahwa Khalifah Kholid bin Walid kehilangan Mahkota sorbannya ketika perang Yarmuk kemudian dicarinya sampai ketemu, Kholid bin Walid pun mengisahkan asal mula Mahkota Sorbannya:
فَقَالَ خَالِدٌ :اِعْتَمَدَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَلَقَ رَأْسَهُ فاَبْتَدَرَ النَّاسُ جَوَانِبِ شَعْرِهِ-فَسَبَقْتُهُمْ اِلَى ناَصِيَتِهِ فَجَعَلْتُهاَ فِي هَذِهِ الْقَلَنْسَوَةَ,فَلَمْ اَشْهَدُ قِتاَلاً وَهِيَ مَعِيْ اِلَّا رُزِقْتُ النَّصْرَ.
Berkata Kholid bin Walid : Rosululloh SAW berumroh kemudian ia mencukur kepalanya maka para sahabat berebutan rambut Rosululloh SAW dan akulah pemenangnya dan aku taruh Rambut Rosululloh itu didalam Mahkota Sorbanku, maka aku tidak berperang dengan memakai Mahkota Sorbanku itu kecuali aku diberikan kemenangan;
عَنْ زَارِعٍ وَكاَنَ فِي وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قاَلَ لمَاَّ قَدِمْناَ الْمَدِنَةَ فَجَعَلْنَا نَتَباَدَرُ مِنْ رَوَاحِلِناَ فَنُقَبَلَ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَهُ (رواه ابو داود , ٤٥٤٨)
Dari Zari R. ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, Beliau berkata,” Ketika Beliau berkata, Ketika sampai di Madinah, kami segera turun dari kendaraan kita, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi SAW.” (HR.Abu Dawud :4548).
Atas dasar hadist ini, para ulama mensunahkan mencium tangan Guru,Ulama, orang Soleh, serta orang-orang yang kita hormati. Kata Imam al-Nawawi dalam salah satu kitab karangannya menjelaskan bahwa mencium tangan orang salih dan ulama yang utama itu disunnahkan. Sedangkan mencium tangan selain itu hukumnya makruh.” (Fatawi al-Imam al-Nawawi, hal 79).
Dari dalil-dalil diatas maka jelaslah bahwa bertabaruk itu boleh dan bukanlah sesuatu yang syirik.
K. Manaqib
A. Pengertian
Secara bahasa manaqib berarti meneliti, menggali secara istilah diartikan sebagai riwayat hidup seseorang yang berisikan tentang budi pekertinya yang terpuji ahhlaknya yang baik karomahny dan sebagainya yang patut dijadikan suri tauladan. Maksud dari menjalankan manaqib diantarnya untuk beertawasul, untuk memperoleh berkah, untuk lebih mengenal orang sholih dan lebih mencintanya.
B. Dalil-dalil manaqib

Sebenarnya manaqib itu ada dalam Al’quran seperti manaqib, ashabul kahfi, Manaqib Raja Dzul Qur’nain, Manaqib Lukman dan lain sebagainya. Adapun dalil yang digunakan hujjah untuk memperbolehkan praktek manaqib yaitu dalam kitab Bughyat al_Mustarsyidin, hlm. 97.
وَقَدْ وَرَدَ فِي اْلَاثَرِ عَنْ سَيِِّدِ الْبَشَرِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قاَلَ :مَنْ وَرَّخَ مُؤْمِناَ فَكَأَنمَّاَ اَحْياَهُ وَمَنْ قَرَأَ تاَرِيْخَهُ فَكَأَنمَّاَ زَارَهُ فَقَدْ اسْتًوْجَبَ رِضْوَانَ اللهِ فيِ حُزُوْرِ الْجَنَّةِ.
Tersebut dalam surat atsar: Rosululloh pernah bersabda: Siapa membuat sejarah orang mukmin( yang sudah meninggal ) sama saja menghidupkan kembali; siapa memmbacakan sejarahnya seolah-olah ia sedang, siapa yang mengunjunginya, Alloh akan memberikan surga.
Dalam kitab Jalauzh Zhulam ‘ala’Aqidatul awam dijelaskan
اِعْلَمْ يَنْبَغيِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ طاَلِبُ الْفَضْلِ وَالْخَيْرَاتِ اَنْ يَلْتَمِسَ الْبَرَكاَتِ وَالنَّفَحَاتِ وَاسْتِجاَبَةِ الدُّعاَءِ وَنُزُوْلِ الرَّحْماَتِ فِي حَضَرَاتِ اْلأَوْلِياَءِ فِي مَجاَلِسِهِمْ وَجَمْعِهِمْ اَحْيَاءً وَأَمْوَاتاً وَعِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَحَالَ ذِكْرِهِمْ وَعِنْدَ كَثْرَةِ الْجُمُوْعِ فِي زِياَرَاتِهِمْ وَعِنْدَ مَذَاكَرَاتِ فَضْلِهِمْ وَنَشْرِ مَناَقِبِهِمْ . (جلاء الظلام على عقيدة العوام)
Ketahuilah seyogyanya bagi setiap muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan, agar ia mencari berkah dan anugrah, terkabulnya do’a dan turunnya rahmat didepan para wali, di majelis-majelis dan kumpulan mereka, baik masih hidup ataupun sudah mati, dikuburan mereka ketika mengingat mereka, dan ketika orang banyak berkumpul dalam berziarah kepada mereka, dan pembacaan riwayat hidup mereka.
L. Tahlil
A. Pengertian
Secara bahasa tahlil diartikan sebagai ucapan kalimat “laailaha illalloh”. Secara istilah adalah tradisi do’a bersama untuk mendo’akan orang yang telah meninggal atau karena hajat lain, dengan membaca Al Qur’an, kalimat tayyibah, istighfar, takbir, tahmid, tasbih, sholawat dan pahalanya diberikan kepada orang yang sudah meninggal atau orang yang punya hajat sesuatu.
Dalam acara tahlilan biasanya dibarengi dengan jamuan makanan dari keluarga yang sudah meninggal atau yang mempunyai hajat sebagai shodaqoh.
B. Dalil-dalil Tahlil
Banyak dalil Al Qur’an, hadits maupun keterangan ulama yang menjelaskan tentang diperbolehkannya tahlil dan do’a atau pahala yang ditujukan kepada orang yang sudah meninggal bisa sampai dan bermanfaat bagi orang yang meninggal tersebut, di antaranya:
1. QS. Muhammad ayat 19
وَ إسْتََغْفِرْ لِذَ نْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ (محمد:۱۹)
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”. (Muhammad:19)

وَ إسْتََغْفِرْ لِذَ نْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ (محمد:۱۹)
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”. (Muhammad:19)
Ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan mendapatkan manfaat dari istighfar orang mukmin lainnya. Dalam Tafsir Al-Khazin dijelaskan:
فِيْ مَعْنَي اْلَآيَةِ إِسْتَغْفِرْ لِذَ نْبِكَ أَيْ لِذًنُوْبِ أَهْلِ بَيْتِكَ ( وللمؤمنين والمؤمنات) يَعْنِيْ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ بَيْتِكَ وَهَذَا إِكْرَامٌ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لِهَذِهِ اْلأًمَّةِ حَيْثُ أَمَرَ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ أَنْ يَسْتَغْفِرَلِذُنُوْبِهِمْ وَهُوَ الشَّفِيْعُ اْلمُجَابُ فِيْهِمْ(تفسير الخازن,ج: ۶,ص:۱۸۰)
“Makna ayat إستغفر لذنبكadalah mohonlah ampunan bagi dosa-dosa keluargamu dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan,a rtinya selain keluargamu. Ini adalah penghormatan dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada umat Muhammad, dimana Dia memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampun bagi dosa-dosa mereka, sedangkan Nabi SAW adalah orang yang dapat memberikan syafa’at dan do’anya diterima” (Tafsir Al-Khazin, Juz VI, hal 180)
2. QS. Al-Hasyr 10
وَالَّذِيْنَ جَاؤُا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا وَلِإحْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا  بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًا لِلَّذِيْنَ أَمَنُوْا رَبنَا إِنَّكَ رَؤوْفٌ رَحِيْمٌ ( الحسر:۱۰ )
“Dan orang-orang yang beriman, serta anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”
Mengenai ayat ini Syekh ‘Alaudin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi memberikan penjelasan:
يَعْنِيْ أَلْحَقْنَا إَوْلَادَهُمْ الصِّغَارَ وَاْلكِبَارَ بِإِيْمَا نِهِمْ وَاْلكِبَارُ بِإِيْمَا نِهِمْ بِأَنْفُسِهِمْ وَالصِّغَارُ بِإِيمَا نِ آبَائِهِمْ فَأِنَّ الوَلَدَ الصَّغِيْرَ يُحْكَمُ بِإِسْلَامِهِ تَبْعًا لِأَحَدِ أَبَوَيْهِ ( أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّاتِهِمْ ) يَعْنِيْ المُؤْمِنِيْنَ فِي اْلجَنَّةِ بِدَرَجَاتِ آبَائِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَبْلُغُوْا بِاَعْمَالِهِمْ دَرَجَاتِ آبَائِهِمْ تَكْرِمَةً لِاَبَائِهِمْ لِتَقَرّ َاَعْيُنُهُمْ هَذِهِ رِوَايَةً عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ( تفسير الخازن,ج:۶, ص:  ۲۵۰)
“Artinya Kami menyamakan anak-anak mereka yang kecil dan yang dewasa dengan keimanan orang tua mereka. Yang dewasa dengan keimanan mereka sendiri, sementara yang kecil dengan keimanan orang tuanya. Keislaman seorang anak yang masih kecil diikutkan pada salah satu dari kedua orang tuanya. (Kami menyamakan kepada mereka keturunan mereka) artinya menyamakan orang-orang mukmin di surga sesuai dengan derajat orang tua mereka, meskipun amal-amal mereka tidak sampai pada derajat amal orang tua mereka. Hal itu sebagai penghormatan kepada orang tua mereka agar mereka senang. Keterangan ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA.” (Tafsir Al-Khazin, Juz VI, hal 250)
Penjelasan yang sama dapat dilihat dalam Tafsir Jami’ Al-Bayan karya Ibnu Jarir Al-Thabari Juz 28 hal. 15.
Beberapa ayat dan penafsiran tersebut menjadi bukti nyata bahwa orang yang beriman tidak hanya memperoleh pahala dari perbuatannya sendiri. Mereka juga dapat merasakan manfaat amaliyah orang lain.
Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani mengatakan bahwa hukum mengadakan pertemuan atau perkumpulan untuk membaca tahlil adalah boleh sebagaimana pendapatnya dalam kitab Al Rasa’il al Salafiyah.

ااَلْعَادَةُ اْلجَارِيَةُ فِي بَعْضِ اْلبُلْدَانِ مِنَ اْلإِجْتِمَاعِ فِي اْلمَسْجِدِ لِتِلاَوَةِ اْلقُرْأَنِ عَلَى اْلأَمْوَاتِ.وَكَذَالِكَ فِي اْلبُيُوْتِ وَسَا ئِرِ اْلإِجْتِمَاعَاتِ الَّتِي لَمْ تَرِدْ فِي الشَّرِيْعَةِ ,لاَشَكَّ إِنْ كَانَتْ خَالِيَةً عَنْ مَعْصِيَةٍ سَلِيْمَةٍ مِنَ اْلمُنْكَرَاتِ فَهِيَ جَائِزَةٌ لِاَءنَّ اْلإِجْتِمَاعَ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ بِنَفْسِهِ لاَسِيَمَا إِذَا كَا نَ لِتَحْصِيْلِ طَاعَةٍ كَالتِّلاَوَةِ وَنَحْوِهَا وَلاَ يُقْدَحُ فِي ذَلِكَ كَوْنُ تِلْكَ التِّلاَوَةِ مَجْعُوْلَةً لِلْمَيِّتِ فَقَدْ وَرَدَ جِنْسُ التِّلاَوَةِ مِنَ اْلجَمَاعَةِ اْلمُجْتَمِعِيْنَ كَمَافِي حَدِيْثِ إِقْرَؤُوْا “يَس” عَلَى مَوْتَاكُمْ وَهُوَ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ وَلاَ فَرَقَ بَيْنَ تِلاَوَةِ “يس” مِنَ اْلجَمَاعَةِ الحَاضِرِيْنَ عِنْدَ اْلمَيِّتِ أَوْ عَلَى قَبْرِهِ وَبَيْنَ تِلاَوَةِ جَمِيْعِ اْلقُرْآنِ أَوْ بَعْضِهِ لِمَيِّتٍ فِي مَسْجِدِهِ أَوْ بَيْتِهِ ( الرسائل السلفية: ۴۶)
“Kebiasaan di sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di Masjid, rumah, di atas kubur, untuk membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (jaiz) jika didalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari syari’at. Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram (muharram fi nafsih), apalagi jika di dalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca Al-Qur’an atau lainnya. Dan tidaklah tercela menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti إقرؤوا “يس” على موتاكم (bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu). Tidak ada bedanya apakah pembacaan Surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburannya, dan membaca Al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di Masjid atau di rumah.” (Al-Rasa’il Al-Salafiyah, 46).
Kesimpulan al-Syaukani ini memang didukung oleh banyak hadits Nabi SAW. Diantaranya adalah:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيِّ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ اْلمَلَائِكَةُ وَغَشِيَهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ ( رواه مسلم, ۴۸۶۸)
“Dari Abi Sa’id al-Khudri RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah SWT, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat, dan Allah SWT akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (HR. Al-Muslim, 4868)
Kesimpulan Al Syaukani ini bersumber dari Hadits yang shahih:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَرَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ اْلمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ ( سنن ابن ما جه : ۲۲۱)

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَرَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ اْلمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ ( سنن ابن ما جه : ۲۲۱)

“Dari Abi Hurairah RA ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam salah satu rumah Allah SWT, sambil membaca Al-Qur’an bersama-sama, kecuali Allah SWT akan menurunkan kepada mereka ketenangan hati, meliputi mereka dengan rahmat, dikelilingi para malaikat, dan Allah SWT memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (Sunan Ibn Majah, 221)
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abi Sa’id Al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيِّ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ اْلمَلَائِكَةُ وَغَشِيَهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ ( رواه مسلم, ۴۸۶۸)
“Dari Abi Sa’id al-Khudri RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah SWT, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat, dan Allah SWT akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (HR. Al-Muslim, 4868)
Pada ulama juga sepakat bahwa pahala sampai dan bermanfaat bagi orang yang telah meninggal tersebut.
Ibnu Taimiyah menyatakan:
قَالَ شَيْخُ تَقِيُ الدِّيْنِ أَحْمَدُ بْنُ تَيْمِيَّةِ فِيْ فَتَاوِيْهِ, اَلصَّحِيْحُ أَنَّ اْلمَيِّتَ يَنْتَفِعُ بِجَمِيْعِ اْلعِبَادَاتِ اْلبَدَنِيَّةِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَاْلقِرَاءَةِ كَمَا يَنْتَفِعُ بِااْلعِبَادَاتِ اْلمَالِيَّةِ مِنَ الصَّدَقَةِ وَنَحْوِهَا بِاتِّفَاقِ اْلأَئِمَّةِ وَكَمَا لَوْ دُعِيَ لَهُ وَاسْتُغْفِرَ لَهُ( حكم الشريعة الإسلامية في مأتم الأربعين:۳۶)
“Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad bin Taymiyah dalam kitab Fatwanya berkata, “pendapat yang benar dan sesuai dengan kesepakatan para imam, bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari semua ibadah, baik ibadah badaniyah (ibadah fisik) seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, atau ibadah maliyah (ibadah materiil) seperti sedekah dan lain-lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk berdo’a dan membaca istighfar bagi mayit.” (Hukm Al-Syariah Al-Islamiyah fi Ma’tamil Arba’in, 36)
Dalam kitab Nihayah al-Zain disebutkan:
قَالَ ابْنُ حَجَرٍ نَقْلًا عَنْ شَرْحِ اْلمحُتْاَرِ:مَذْهَبَ أَهْلِ السُّنَّةِ أَنَّ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ وَصَلَاتِهِ لِلْمَيِّةِ وَيَصِلُهُ ( نهاية الزين: ۱۹۳)
“Ibnu Hajar dengan mengutip Syarh Al-Mukhtar berkata, “Madzhab Ahlussunnah berpendapat bahwa seseorang dapat menghadiahkan pahala amal dan do’anya kepada orang yang telah meninggal dunia. Dan pahalanya akan sampai kepadanya.” (Nihayah Al-Zain, 193)
Ibnu Al-Qayyim berpendapat:
قَالَ ابْنُ قَيِّمِ اْلجَوْزِيَّةِ فَأَفْضَلُ مَا يُهْدَى إِلَى اْلمَيِّتِ أَلْعِتْقُ وَالصَّدَقَةُ وَاْلإِسْتِغْفَارُ لَهُ وَاْلحَجُّ عَنْهُ وَأَمَا قِرَاءَةُ اْلقُرْآنِ وَإِهْدَاءُهَا لَهُ تَطَوُّعًا بِغَيْرِ أُجْرَةٍ فَهَذَا يَصِلُ إِلَيْهِ كَمَا يَصِلُ ثَوَابُ الصَّوْمِ وَالْحَجِّ (الروح:۱۴۲)


“Ibnu Qayyim Al-Jauziah berkata, “Sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istighfar, do’a, dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur’an secara suka rela (tanpa mengambil upah) yang dihadiahkan kepada mayit, juga sampai kepadanya. Sebagaimana pahala puasa dan haji” (Al-Ruh, 142).
Dari beberapa dalil hadits, Al Qur’an, hadits dari keterangan para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa hukum tahlilan bukanlah bid’ah dan pahala yang ditujukan kepada mayit bisa sampai dan bermanfaat bagi mereka.
M. Dua Adzan Dalam Jum’ah
Dalil dua adzan dalam Jum’ah
Dalam kitab Tanwirul Qulub disebutkan:
فَلَمَّا كَثُرَ النَّاسُ فِيْ عَهْدِ عُثْمَانَ أَمَرَهُمُ بِأَذَانَانِ آخَرَ عَلَى الزَّوْرَآءِ وَاسْتَمَّرَ اْلأَمْرُ إِلَى زَمَنِنَا هَذَا.وَهَذَا اْلأَذَانُ لَيْسَ مِنَ اْلبِدْعَةِ لِأَنَّهُ فِي زَمَانِ اْلخُلَفَاءِ الرَّشِدِيْنَ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِاْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ ( تنويرالقلوب)
Ketika orang-orang sudah semakin banyak pada masa Khalifah Utsman, maka beliau memerintahkan untuk mengumandangkan adzan lagi di kota Madinah. Hal yang demikian itu (adzan dua kali) tetap berlangsung sampai sekarang. Adzan yang kedua tersebut tidak termasuk bid’ah karena telah terjadi di masa Khulafaur Rasyidin, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Kalian harus berpegang teguh dengan sunnah (ajaran)ku dan sunnah Khulafaur Rasyidin”.
Syekh Jalaluddin bin Abdil Ajiz berpendapat bahwa hukum mengumandangkan adzan yang kedua hukumnya sunat sebagaimana pendapatnya dalam kitab Fathul Mu’in:
وَأَذَانَانِ لِلْجُمْعَةِ أَحَدُهُمَا بَعْدَ صُعُوْدِ اْلخَطِيْبِ أَلْمِنْبَرَ وَاْلأَخَرُ اَلَّذِيْ قَبْلَهُ إِنَّمَا أَحْدَثَهُ عُثْمَانُ رضي الله عنه لَمَّا كَثُرَالنَّاسُ فَاسْتِحْبَابُهُ عِنْدَالْحَاجَةِكَأَنْ تَوَقَّفَ حُضُوْرُهُمْ عَلَيْهِ وَإِلَّا لَكَانَ اْلِإقْتِصَارُ عَلَى اْلِإتْبَاعِ أَفْضَلُ
“Begitu juga dihukumi sunat dua adzan dalam Jum’ah. Salah satunya sesudah khotib naik mimbar dan yang satunya lagi adzan sebelumnya, adzan kedua ini sebagai mana perintah sahabat ‘Ustman RA, dalam atsar kan tetapi hukum kesunatannya dikala hajat (butuh). Seperti jika orang-orang muslim belum hadir ke masjid setelah adzan pertama, jika tidak butuh maka lebih baik mengikuti (ittiba’) kepada Nabi (satu adzan).

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Next

نموذج الاتصال