Skip to main content

Memahami Adanya Ilmu Laduni

Memahami Adanya Ilmu Laduni


Oleh: Almara Sukma*

Ilmu menurut bahasa berasal dari kata arab “alima” yang berarti mengetahui. Ilmu juga berasal dari bahasa latin “science” yang bermakna pengetahuan, mengetahui, dan memahami.[1]

Ilmu menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) memiliki dua definisi:

Ilmu adalah pengetahuan mengenai suatu bidang yang disusun secara tersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang pengetahuan tersebut.
Ilmu adalah kepandaian masalah duniawi, akhirat, lahir, batin, dll.
Menuntut ilmu hukumnya wajib sebagaimana sabda Rosulullah SAW:

طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة

“Menuntut ilmu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan.”[2]

Bukan hanya menuntut ilmu yang diwajibkan bagi kita, akan tetapi apabila kita sudah mendapatkan ilmu wajib bagi kita untuk mengamalkannya. Sebagaimana dikatakan oleh pepatah bahasa arab yang artinya: “Ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon tidak berbuah.”

Apakah seseorang bisa mendapatkan ilmu hanya dengan cara belajar? Tidak, seorang kekasih Allah mendapatkan ilmu laduni. Lalu, apa yang dimaksud dengan ilmu laduni?

Ilmu laduni adalah ilmu yang diberikan lagsung oleh Allah SWT kepada hamba-Nya yang saleh, bertakwa, dan selalu berusaha membersihkan hatinya dari nafsu dan sifat-sifat tercela. Ilmu laduni diperoleh dengan tanpa usaha belajar. Terkadang ilmu laduni diperoleh sebab barokah guru, memahami Al-Qur’an, sunnah, maupun kitab-kitab ulama saleh. Ilmu laduni dapat di sebut dengan ilmu mukasyafah, ilmu wahbi, ilmu ilham dan ilmu illahi. Sebagaimana di sebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 65:

وعلمناه من لدنا علما

“Dan kami ajarkan padanya (Nabi Khidir) ilmu dari sisi kami.”

Ayat ini menerangkan bahwa Nabi Khidir mendapatkan ilmu laduni langsung dari Allah SWT. Ilmu laduni dalam literatur kitab-kitab salaf tidak hanya diperoleh oleh nabi khidzir saja, seorang wali atau sufi bisa memperolehnya. Dalam keterangan kitab-kitab tafsir di lingkungan ahlussunnah wal jama’ah, ilmu laduni bisa diperoleh oleh seorang hamba yang taat dan hatinya bersih. Dan ketetapan ini sudah sangat masyur banyak wali dan sufi yang mendapatkannya.

Ibnu Hajar al-Haitami menyampaikan bahwa dalam Risalah al-Qusyairiyyah dan Awarif al-Awarif (as-Suhrawardi) tentang wali yang mendapatkan berita ghaib sangatlah banyak. Beliau juga menuturkan bahwa mengetahui ilmu ghaib merupakan sebagian dari karomah. Mereka bisa memperoleh dengan cara dikhitbah-i (sabda) secara langsung, dibukannya hijab (kasyf) dan dibukakannya kepada mereka lauhul mahfudz sehingga dapat mengetahuinya.[3]

Adapun bukti bahwa ilmu tersebut bisa diperoleh oleh hamba yang bersih dan taat adalah Ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 113 tentang nabi Muhammad menerima ilmu berkaitan dengan hukum-hukum dan hal ghaib:

وعلمك مالم تكن تعلم

“Dan (Allah) telah mengajari dirimu ilmu yang engkau tidak mengetahuinya.”

Ayat Al-Qur’an surat Yusuf ayat 68 tentang nabi Ya’qub menerima Ilham dari Allah,

وإنه لذوعلم لما علمناه

“Sesungguhnya Dia (Ya’qub) adalah orang yang mempunyai ilmu, karena kami telah mengajarinya.”

Hadis riwayat Ibnul Jauzi dalam manaqib Umar tentang Sayyidina Umar yang mengetahui bahwa tentaranya sedang berperang padahal beliau sedang dalam kondisi berkhutbah.

Hadis riwayat Abu Nu’aim al-Ashfahani dalam hilyah al-Auliya’ dari Anas:

من عمل بما علم ورثه الله تعالى علم ما لم يعلم

“Barang siapa mengamalkan apa yang ia ketahui, maka Allah akan memberinya ilmu yang dia tidak ketahui.”[4]

Ibnu Hajar al-Haitami pernah di tanya tentang hadis itu dan beliau menjawab, “sesuai apa yang dikatakan Izzudin bin Abdissalam bahwa sesungguhnya orang yang mau mengamalkan apa yang dia ketahui baik wajib syar’i atau sunnah atau menjauhi makruh dan haram, maka Allah akan memberinya ilmu illahi yang sebelumnya dia tidak mengetahuinya.”[5]

Ilmu laduni itu murni dari Allah. Jika Allah membukakan pintu makrifat bagimu, jangan hiraukan mengapa itu terjadi sementara amalmu masih sedikit.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng.

Comments