Skip to main content

IKHLASKAN HATIMU AGAR DAPAT MENYERAP DAN MEMBUKTIKAN KAROMAH ILMU DAN PIRANTI HIKMAH


IKHLASKAN HATIMU AGAR DAPAT MENYERAP DAN MEMBUKTIKAN KAROMAH ILMU DAN PIRANTI HIKMAH


Setiap manusia pasti pernah merasakan hati gelisah. Demikian juga ketika kamu menjalani tirakat suatu ilmu, dalam hal ini Ilmu Hikmah, banyak di antaranya yang gelisah memikirkan apakah tirakatnya akan berhasil atau tidak.

Pertanyaannya, adakah relasi antara hati gelisah dengan pikiran yang kacau?

Relasi hati gelisah dengan pikiran kacau dan stres seseorang, jelas ada. Bahkan saking berpengaruhnya, terkadang sampai menyalahkan diri sendiri dan Tuhan, atas derita yang dialami.

Demikian juga ketika kamu menirakati atau mengamalkan suatu Ilmu Hikmah. Banyak yang gagal karena hati gelisah dengan pikiran yang kacau dan stress. Bila kamu tengah merasakan stres dengan berbagai tugas-tugas dan beban hidup duniawi, maka janganlah dulu mengamalkan suatu Ilmu Hikmah. Maafkanlah dulu dirimu sendiri dan mohon ampunlah kepada Tuhan.


Orang gelisah hatinya sebaiknya banyak melakukan refreshing dengan memperbanyak ibadah. Menata hati dan menghindari hati yang dendam dan benci berlebihan, adalah rahasia sukses menguasai ilmu.

Ingat, dendam dan benci, kedua hal ini berkontribusi besar melahirkan kegelisahan dan kekacauan pikiranmu.

Coba bayangkan, apabila kamu memelihara kebencian, maka terkadang kebaikan tak akan pernah terlihat oleh matamu, sehingga di sinilah pentingnya menata hati.


Oleh karena itu, jangan ada dendam, jangan ada kebencian, jangan ada dusta. Hadirkan kebersihan hati dan kejujuran. Inilah yang akan mengantarkanmu sukses dalam mengamalkan Ilmu Hikmah.

Apa yang saya uraikan di atas itu ibaratnya adalah investasi utama kalau kamu ingin menguasai dan membuktikan karomah ilmu atau piranti hikmah garapan saya.

Investasi berikutnya yang tidak kalah penting adalah mematuhi nasehat saya. Sebagai pemberi ijazah baik ilmu maupun piranti, maka kamu harus memposisikan diri saya sebagai seorang guru.


Coba kamu camkan, seorang siswa jika tidak mau menuruti nasihat gurunya maka dia bisa tidak naik kelas.

Demikian juga seorang mahasiswa kalau tidak mau menuruti nasihat dosennya maka dia bisa saja tidak lulus, tidak diwisuda, bahkan bisa drop out (DO).

Damikian juga dalam konteks pembelajaran Ilmu Hikmah, seorang murid yang tidak mau mendengar nasihat gurunya, maka dia tidak akan bisa merasakan tuah dari ilmu atau piranti hikmah yang dimaharinya.


Kunci agar berhasil dalam bersyareat keilmuan sebenarnya simpel saja: Kamu harus mau menuruti dan melaksanakan pesan gurumu!

Misalnya, gurumu wanti-wanti agar di saat menirakati ilmu atau piranti hikmah kamu jangan melekat, tetapi niatkan semata-mata hanya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Turutilah nasehat itu. Dengan demikian peluang keberhasilanmu akan jauh lebih besar.

Kalau kamu bandel, tidak melaksanakan titah dan nasehat gurumu, maka kamu sendiri yang akan menyesal. Ilmu atau piranti hikmah yang kamu mahari tidak akan menunjukkan reaksinya. Akhirnya kamu cuma buang-buang uang, waktu dan tenaga.


Kalau hal di atas itu terjadi pada dirimu, maka jangan sekali-kali menyalahkan saya sebagai seorang pengijazah atau guru. Apalagi kalau sampai menyalahkan Allah dan kamu anggap tidak mengabulkan doamu. Sekali lagi, yang salah adalah dirimu sendiri.

Terkadang, saya juga mendapati seseorang yang mau mahari ilmu atau piranti hikmah, belum apa-apa sudah membohongi saya dan dirinya sendiri.

Misalnya begini, pada saat seseorang ingin memahari ilmu atau piranti, saya selalu pertanyakan: Apakah sudah siap lahir batin dengan syarat-syaratnya?


Nah, kalau memang sudah siap lahir batin dengan syarat-syaratnya, maka barulah saya persilahkan untuk memesan. Tapi kalau masih ragu atau belum siap menjalankan syarat-syaratnya, maka sebaiknya jangan pesan dulu.

Tetapi celakanya, banyak yang di awal mengaku sudah siap. Tapi seiring berjalannya waktu, ternyata dia tidak bisa mematuhi syarat-syaratnya. Inilah yang saya maksud membohongi saya dan membohongi dirinya sendiri.


Salah satu persyaratan yang sepertinya paling sulit dilakukan adalah adanya rasa melekat. Ini terjadi akibat hati yang gundah gulana dan pikiran tak tenang, sebagaimana saya uraikan di awal tulisan ini.


Ya, dalam mengamalkan ilmu masih saja banyak yang memikirkan dan menunggu dengan cemas kapan bereaksinya karomah ilmu atau piranti hikmah.

Oleh karena itulah, melalui tulisan kali ini, untuk kesekian kalinya saya tegaskan, kalau memang masih ragu apakah sanggup atau tidak menjalani syarat-syaratnya, maka sebaiknya jangan memahari dulu ilmu atau produk piranti hikmah garapan saya. Nanti kamu menyesal dan akhirnya menggerutu pada Allah SWT.

Saran saya, bagi yang masih ragu atau belum yakin akan mampu menjalani syarat-syarat keilmuan yang saya terapkan, sebaiknya jalankan saja keilmuan yang sudah saya ijazahkan di FB. Artinya, mending kamu "masak" sendiri. Toh, selama ini banyak juga yang berhasil dengan menirakatinya sendiri.


Mengapa saya memberi saran demikian?

Pertimbangannya adalah, apabila kamu melakukan tirakat sendiri kalau ternyata gagal karena masih melekat, maka kamu tidak mengalami kerugian materi. Singkatnya, hal ini bisa meminimalisir kerugianmu.

Memang, memastikan agar tidak melekat ini kalau tekat dan niatnya tidak kuat membaja akan sangat sulit, sebab ini menyangkut masalah hati sebagaimana saya uraikan di awal tulisan ini. Tidak semua orang bisa menerapkannya. Hanya mereka yang sudah bisa menata pikiran dan hatinya sehingga berada pada mode-on Ikhlas yang mampu menancapkan niat litaqarrub ilallah.


Mungkin di kesempatan ini ada pendatang baru atau pembaca pemula tulisan saya yang masih belum paham. Baiklah, saya kasih tahu. Ilmu dan piranti yang isiannya bersumber dari wirid Qur'an, hanya akan berkhasiat jika saat memaharinya niatnya semata-mata hanya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Tanda niatmu sudah benar dan lurus litaqarrub ilallah, adalah ketika hati dan pikiranmu tidak ada rasa melekat. Ciri-cirinya, kamu tidak akan sibuk memikirkan serta menunggu-nunggu kapan bereaksinya ilmu atau piranti hikmah yang kamu mahari.


Sebaliknya, kalau kamu masih menyimpan pikiran dan gelisah menunggu kapan bereaksinya ilmu atau piranti hikmah, maka itu tandanya kamu masih bergantung pada ilmu atau pirantimu. Sesungguhnya, inilah faktor penyebab ilmu dan piranti hikmah jadi tidak berkhasiat, karena kamu bergantung pada ilmu atau piranti hikmah, bukan bergantung pada Allah SWT.

Hanya di tangan orang yang niatnya terpancang lurus, maka efek ilmu dan piranti hikmah akan bereaksi penuh dan efektif.

Maka itu saya ingatkan sekali lagi, sebelum kamu berniat ingin memahari ilmu atau piranti hikmah, tanyakan dulu hatimu: Apakah sudah memiliki niat yang lurus?

Apakah kamu memahari ilmu atau piranti hikmah karena mendambakan khasiat, khodam, karomah, dan mukjizat, atau niatnya semata-mata hanya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah?

Kalau niatmu memahari ilmu atau piranti hikmah karena menginginkan khasiat, khodam, karomah, mukjizat, sebaiknya kamu urungkan saja keinginanmu untuk memahari ilmu atau piranti hikmah. Saya tegaskan, kamu hanya akan buang-buang uang saja. Saya jamin, ilmu atau piranti hikmah yang kamu mahari tidak akan berguna sama sekali.


Selama hati dan pikiran serta niatmu belum terpancang lurus karena Allah, maka jangan pernah mendamba akan dapat menyerap kekuatan ilmu atau membuktikan daya karomah dari piranti hikmah.

Coba saja lihat para guru ilmu hikmah di zaman dulu. Mereka sangat bagus dalam menerapkan filter ketika menerima murid.

Untuk menempa keikhlasan calon muridnya, para guru zaman dulu meminta para calon murid untuk 'ngabdi' terlebih dahulu selama berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun.

Selama dalam masa pengabdian itu, si calon murid membantu pekerjaan rumah tangga gurunya. Misalnya menimba air, mencari kayu bakar, berburu hewan buruan untuk dimakan, bercocok tanam di ladang, dan lain sebagainya.

Bagi calon murid yang jiwanya tidak ikhlasan, tentunya tidak akan sanggup mengabdi sedemikian rupa dengan tanpa digaji. Apalagi sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Para calon murid yang jiwanya tidak ikhlasan, akan terpental dengan sendirinya.

Sedangkan mereka yang jiwanya ikhlas, jangankan cuma berbulan-bulan, bahkan sampai bertahun-tahun pun mereka akan menjalaninya dengan tulus, tanpa ada keluh kesah dan tidak menganggap sebagai masalah.

Setelah si calon murid lulus mengabdi dengan tulus, baru diturunkan kepadanya sebuah ilmu atau ajian.

Akhirnya, ilmu atau ajian yang didapatkan dengan susah payah dari sang guru, oleh si murid tentunya akan sangat bersungguh-sungguh diamalkan.


Terlebih lagi guru zaman dulu sangat pintar menambah keyakinan si murid. Misalnya menurunkan ilmu atau ajian di atas gunung di dalam sebuah goa, atau di tengah lautan. Hal ini bisa menambah keyakinan si murid tentang karomah dari ilmu yang akan ditirakatinya.

Ilmu yang bagus, jika diturunkan kepada murid yang hatinya haqqul yakin, maka ilmu tersebut akan menjadi sangat dahsyat. Itulah kenapa orang-orang zaman dulu ilmunya tidak main-main. Sangat luar biasa. Tentu karena mereka benar-benar ditempa untuk mendapatkannya. Dan para guru juga sangat selektif dalam menerima calon muridnya.


Mengapa bisa demikian?

Karena para guru zaman dulu itu punya falsafah begini: "Ilmu atau ajian itu seperti benih. Bisa tumbuh atau tidak, tergantung tanah persemaiannya. Jika tanahnya subur dan dirawat dengan baik, maka dia akan tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, jika tanah persemaiannya tandus dan tanpa perawatan, maka benih itu merana lalu mati."

Begitulah sekilas perumpamaannya. Dan analogi tanah persemaian itu adalah Qolbu atau hati manusia.

Harus diingat, sejatinya ilmu dan piranti hikmah itu sesuatu yang sangat keramat dan luhur nilainya. Karena itu tidak bisa dimiliki oleh sembarangan orang. Hanya mereka yang jiwanya ikhlas saja yang mampu mendayagunakannya dengan baik.

Apakah hati dan jiwamu masih belum ikhlasan?

Maka, jangan mahari ilmu atau piranti hikmah. Saran saya seperti di atas, sebaiknya 'masak' sendiri saja ilmu itu.

Jangan memaksakan diri. Sebab: "Akan hancurlah seseorang yang tidak tahu kapasitas dirinya sendiri."

Artinya, sudah tahu hati dan jiwanya masih belum ikhlasan, tapi nekat memahari ilmu atau piranti hikmah. Maka hanya kerugian yang kamu dapatkan.


Sayangilah uangmu...!

Sebelum memahari ilmu atau piranti hikmah, kaji dan pelajarilah kapasitas dirimu: “Apakah kamu sudah memiliki jiwa ikhlasan atau belum?”

Kalau belum, maka "masak" sendiri saja, sambil belajar ikhlas. Jadi istilahnya belajar sambil jalan.

Walaupun kamu sekolah di sebuah sekolah favorit dan terbaik, tapi kalau kamu belum siap lahir batin, maka kamu hanya buang-buang waktu, tenaga, dan biaya saja. Karena kamu tidak mau mendengar nasihat gurumu dan tidak mengikuti syarat belajar yang baik, maka kamu bisa tidak naik kelas. Padahal kamu sudah keluar uang banyak.

Sekolah atau kampus, sebaik apa pun sistem dan fasilitas belajarnya, sesungguhnya tidak bisa menjamin seseorang menjadi pintar. Kuncinya ada pada diri si siswa atau mahasiswa itu sendiri!

Kamu butuh ilmu apa dan untuk tujuan apa? Insya Allah, semuanya sudah saya ijazahkan di FB. Selama hatimu belum bisa ikhlas, maka berlatihlah dengan "memasak" sendiri ilmu-ilmu itu.


Salam kesuksesan dalam diri Anda.

Wassalamu'alaikum wr.wb

Comments